Dewan Tersangka Reklamasi Liar Diserahkan ke Jaksa
Hampir tiga pekan pasca ditahan, anggota Fraksi Gerindra DPRD Badung, I Made Wijaya alias Yonda, 47, yang jadi tersangka kasus dugaan reklamasi liar dan pembabatan hutan di pesisir barat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung dilimpahkan penyidik Polda Bali ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar, Jumat (13/10).
DENPASAR, NusaBali
Pelimpahan tersangka yang notabene Bendesa Pakraman Tanjung Benoa kemarin dikawal ketat 200 polisi bersenjata lengkap.
Pantauan NusaBali, Jumat kemarin, 200 personel kepolisian bersenjata lengkap sudah berjaga di sekitar Kejari Denpasar, Jalan PB Sudirman Denpasar, sejak pagi. Satu unit mobil water cannon tampak diparkir tepat di pintu masuk Kejari Denpasar. Ada juga mobil Rantis dan mobil Dalmas parkir di halaman maupun di jalan depan Kejari Denpasar.
Sekitar pukul 09.00 Wita, Made Wijaya bersama lima tersangka lainnya dalam kasus yang sama, tiba di Kejari Denpasar dengan menggunakan mobil tahanan yang dikawal 12 polisi yang mengendarai motor bersenjata lengkap. Lima tersangka lainnya itu notabene merupakan prajuru Desa Pakraman Tanjung Benoa, yakni I Made Marna, I Ketut Sukada, I Made Mentra, I Made Dwi Widnyana, dan I Made Suartha
Tersangka Made Wijaya cs yang didampingi tim kuasa hukumnya, Agus Nahak cs, kemudian dibawa masuk ke Ruang Pidana Umum (Pidum) Kejari Denpasar untuk menjalani proses administrasi pelimpahan tahap II. Setelah proses administrasi selesai, para tersangka yang semula ditahan di Rutan Polda Bali, dijebloskan ke LP Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung sebagai tahanan titipa kejaksaan.
Namun, sebelum dibawa ke LP Kertobokan, anggota DPRD Badung terangka reklamasi liar bersama lima rekannya ini sempat meminjam salah satu ruangan jaksa di Kejari Denpasar, untuk berkoordinasi dengan tim kuasa hukumnya. Siang sekitar pukul 12.00 Wita, barulah para terangka digiring keluar dari Ruangan Pidum Kejari Denpasar menuju mobil tahanan Polda Bali, yang akan mengantarnya LP Kero-bokan. Tim Sabhara Polda Bali dengan senjata laras panjang, yang naik motor berboncengan, mengawal di depan dan belakang mobil tahanan.
Aspidum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Nurni Parayanthi, yang ditemui di Kejari Denpasar, mengatakan tersangka Made Wijaya sudah menjalani tahap II (tersangka berikut garang buktinya diserahkan polisi ke kejaksaan, Red). “Tadi proses pelimpahan tahap II sudah selesaii dan keenam tersangka dititipkan di LP Kerobokan sampai menunggu persidangan,” jelas Nurni Parayanthi.
Tersangka Wijaya dan lima rekannya disangkakan melakukan tindak pidana pemanfaatan Taman Hutan Rakyat (Tahura) dengan tidak mengantongi izin dari pihak yang berwewenang. Mereka dijerat Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, serta Pasal 12 huruf c jo Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya, 5 tahun penjara.
Sementara, kuasa hukum tersangka Made wijaya, Agus Nahak, menyayangkan tindakan Dit Reskrimsus Polda Bali, yang dianggap terlalu memaksakan perkara ini terutama dalam hal penahanan. "Saya nilai ini kasus spesial. Dari tiga hari rencana pelimpahan, tapi terus batal. Jadwalnya dibilang kemarin (Kamis), kami sudah siap di Kejati pagi-pagi, tiba-tiba batal," papar Agus Nahak.
Menurut Agus Nahak, pelimpahan ini dipaksakan ketika waktu penahanan tersangka yang sudah mau habis. "Jika sampai hari Minggu (15/10) tidak dilimpahkan, maka klien kami bebas secara hukum, karena sudah melampaui masa penahanan," sebut pengacara muda ini.
Agus Nahak juga menegaskan, sangkaan pasal KSDA-E masih prematur. Soalnya, apa yang dilakukan para tersangka, terutama Made Wijaya di Desa Adat Tanjung Benoa, sebagai bentuk penataan hutan Mangrove. Penataan ini pula sudah mendapat persetujuan desa, berdasarkan hasil paruman (rapat).
"Penataan ini juga tidak ada menggunakan uang negara, murni dari swadaya masyarakat. Setelah ada teguran dari pihak Dinas Kehutanan, areal yang sudah ditata itu kemudian dikembalikan sesuai kondisi awal. Tapi, setelah ada laporan LSM, Yonda (Made Wijaya) dan lima lainnya ditetapkan sebagai tersangka," protes Agus Nahak.
Sebelum pelimpahan ini, kata Agus Nahak, pihaknya juga telah tiga kali mengajukan upaya penangguhan penahanan. Dua permohonan diajukan ke Polda Bali dan satu lagi ke Kejati Bali. Namun, seolah sudah janjian, kedua institusi penegak hukum tersebut kompak tak gubris pengajuan penangguhan itu.
Sementara itu, Wadir Reskrimsus Polda Bali, AKBP Ruddi Setiawan, mengatakan pihaknya menghabiskan waktu empat bulan hingga kasus reklamasi yang menyeret anggota DPRD Badung ini memasuki pelimpahan tahap II. Menurut AKBP Ruddi, kasus ini berawal dari pengaduan Forum Peduli Mangrove (FPM) Bali pada 18 Februari 2017 soal adanya dugaan kegiatan illegal di kawasan Tahura Tanjung Benoa.
Selanjutnya, 22 Februari 2017, polisi melakukan penyelidikan dengan mengecek ke TKP dan melalukan klarifikasi terhadap saksi-saksi dan dinas terkait. Kemudian, 8 Maret 2017, dilakukan gelar perkara pertama dengan kesimpulan perkaranya ditingkatkan ke tahap penyidikan. “Dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi sebanyak lima orang, yaitu ahli pemetaan, ahli KSDA, ahli hukum pidana, ahli hukum adat, dan ahli kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup-Kehutanan RI,” jelas AKBP Ruddi, Jumat kemarin.
Dari keterangan para saksi ahli tersebut, polisi kembali melakukan gelar perkara dengan kesimpulan Made Wijaya beserta lima prajuru desa lainnya ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. Selanjutnya, dilakukan tahap satu berkas perkara ke Kejati Bali. Pada 7 September 2017, berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21).
Tersangka Made Wijaya sendiri akhirnya dijebloskan ke sel tahanan Polda Bali, 25 September 2017 malam sekitar pukul 21.00 Wita. Anggota Dewan yang juga Bendesa Pakraman Tanjung Benoa ini gerah atas penahanannya. Politisi Gerindra kelahiran 24 Oktober 1970 ini bahkan minta polisi untuk menembak mati dirinya.
"Ada berapa peluru itu, silakan tembak saya semuanya. Karena ini tidak adil, saya membela tanah Bali, tapi saya dikriminalisasi. Ada enam orang tersangka, tapi kenapa tidak semuanya ditahan dan hanya saya sendiri? Silakan tembak saja saya," teriak tersangka Wijaya kala itu. *rez,dar
Pantauan NusaBali, Jumat kemarin, 200 personel kepolisian bersenjata lengkap sudah berjaga di sekitar Kejari Denpasar, Jalan PB Sudirman Denpasar, sejak pagi. Satu unit mobil water cannon tampak diparkir tepat di pintu masuk Kejari Denpasar. Ada juga mobil Rantis dan mobil Dalmas parkir di halaman maupun di jalan depan Kejari Denpasar.
Sekitar pukul 09.00 Wita, Made Wijaya bersama lima tersangka lainnya dalam kasus yang sama, tiba di Kejari Denpasar dengan menggunakan mobil tahanan yang dikawal 12 polisi yang mengendarai motor bersenjata lengkap. Lima tersangka lainnya itu notabene merupakan prajuru Desa Pakraman Tanjung Benoa, yakni I Made Marna, I Ketut Sukada, I Made Mentra, I Made Dwi Widnyana, dan I Made Suartha
Tersangka Made Wijaya cs yang didampingi tim kuasa hukumnya, Agus Nahak cs, kemudian dibawa masuk ke Ruang Pidana Umum (Pidum) Kejari Denpasar untuk menjalani proses administrasi pelimpahan tahap II. Setelah proses administrasi selesai, para tersangka yang semula ditahan di Rutan Polda Bali, dijebloskan ke LP Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung sebagai tahanan titipa kejaksaan.
Namun, sebelum dibawa ke LP Kertobokan, anggota DPRD Badung terangka reklamasi liar bersama lima rekannya ini sempat meminjam salah satu ruangan jaksa di Kejari Denpasar, untuk berkoordinasi dengan tim kuasa hukumnya. Siang sekitar pukul 12.00 Wita, barulah para terangka digiring keluar dari Ruangan Pidum Kejari Denpasar menuju mobil tahanan Polda Bali, yang akan mengantarnya LP Kero-bokan. Tim Sabhara Polda Bali dengan senjata laras panjang, yang naik motor berboncengan, mengawal di depan dan belakang mobil tahanan.
Aspidum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Nurni Parayanthi, yang ditemui di Kejari Denpasar, mengatakan tersangka Made Wijaya sudah menjalani tahap II (tersangka berikut garang buktinya diserahkan polisi ke kejaksaan, Red). “Tadi proses pelimpahan tahap II sudah selesaii dan keenam tersangka dititipkan di LP Kerobokan sampai menunggu persidangan,” jelas Nurni Parayanthi.
Tersangka Wijaya dan lima rekannya disangkakan melakukan tindak pidana pemanfaatan Taman Hutan Rakyat (Tahura) dengan tidak mengantongi izin dari pihak yang berwewenang. Mereka dijerat Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, serta Pasal 12 huruf c jo Pasal 82 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya, 5 tahun penjara.
Sementara, kuasa hukum tersangka Made wijaya, Agus Nahak, menyayangkan tindakan Dit Reskrimsus Polda Bali, yang dianggap terlalu memaksakan perkara ini terutama dalam hal penahanan. "Saya nilai ini kasus spesial. Dari tiga hari rencana pelimpahan, tapi terus batal. Jadwalnya dibilang kemarin (Kamis), kami sudah siap di Kejati pagi-pagi, tiba-tiba batal," papar Agus Nahak.
Menurut Agus Nahak, pelimpahan ini dipaksakan ketika waktu penahanan tersangka yang sudah mau habis. "Jika sampai hari Minggu (15/10) tidak dilimpahkan, maka klien kami bebas secara hukum, karena sudah melampaui masa penahanan," sebut pengacara muda ini.
Agus Nahak juga menegaskan, sangkaan pasal KSDA-E masih prematur. Soalnya, apa yang dilakukan para tersangka, terutama Made Wijaya di Desa Adat Tanjung Benoa, sebagai bentuk penataan hutan Mangrove. Penataan ini pula sudah mendapat persetujuan desa, berdasarkan hasil paruman (rapat).
"Penataan ini juga tidak ada menggunakan uang negara, murni dari swadaya masyarakat. Setelah ada teguran dari pihak Dinas Kehutanan, areal yang sudah ditata itu kemudian dikembalikan sesuai kondisi awal. Tapi, setelah ada laporan LSM, Yonda (Made Wijaya) dan lima lainnya ditetapkan sebagai tersangka," protes Agus Nahak.
Sebelum pelimpahan ini, kata Agus Nahak, pihaknya juga telah tiga kali mengajukan upaya penangguhan penahanan. Dua permohonan diajukan ke Polda Bali dan satu lagi ke Kejati Bali. Namun, seolah sudah janjian, kedua institusi penegak hukum tersebut kompak tak gubris pengajuan penangguhan itu.
Sementara itu, Wadir Reskrimsus Polda Bali, AKBP Ruddi Setiawan, mengatakan pihaknya menghabiskan waktu empat bulan hingga kasus reklamasi yang menyeret anggota DPRD Badung ini memasuki pelimpahan tahap II. Menurut AKBP Ruddi, kasus ini berawal dari pengaduan Forum Peduli Mangrove (FPM) Bali pada 18 Februari 2017 soal adanya dugaan kegiatan illegal di kawasan Tahura Tanjung Benoa.
Selanjutnya, 22 Februari 2017, polisi melakukan penyelidikan dengan mengecek ke TKP dan melalukan klarifikasi terhadap saksi-saksi dan dinas terkait. Kemudian, 8 Maret 2017, dilakukan gelar perkara pertama dengan kesimpulan perkaranya ditingkatkan ke tahap penyidikan. “Dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi sebanyak lima orang, yaitu ahli pemetaan, ahli KSDA, ahli hukum pidana, ahli hukum adat, dan ahli kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup-Kehutanan RI,” jelas AKBP Ruddi, Jumat kemarin.
Dari keterangan para saksi ahli tersebut, polisi kembali melakukan gelar perkara dengan kesimpulan Made Wijaya beserta lima prajuru desa lainnya ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. Selanjutnya, dilakukan tahap satu berkas perkara ke Kejati Bali. Pada 7 September 2017, berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21).
Tersangka Made Wijaya sendiri akhirnya dijebloskan ke sel tahanan Polda Bali, 25 September 2017 malam sekitar pukul 21.00 Wita. Anggota Dewan yang juga Bendesa Pakraman Tanjung Benoa ini gerah atas penahanannya. Politisi Gerindra kelahiran 24 Oktober 1970 ini bahkan minta polisi untuk menembak mati dirinya.
"Ada berapa peluru itu, silakan tembak saya semuanya. Karena ini tidak adil, saya membela tanah Bali, tapi saya dikriminalisasi. Ada enam orang tersangka, tapi kenapa tidak semuanya ditahan dan hanya saya sendiri? Silakan tembak saja saya," teriak tersangka Wijaya kala itu. *rez,dar
Komentar