Waspadai 'Pembajakan' Kuliner Bali
Pariwisata berbasis budaya di Bali juga membuat kuliner Bali mendunia. Kekhasan kuliner itu pula yang perlu mendapat perlindungan hukum.
DENPASAR, NusaBali
Aneka kuliner Bali yang kian berkembang perlu mendapat perlindungan hukum, terkait hak kekayaan intelektual. Demikian ungkap Putu Aras Samsithawrati dalam seminar ‘Kepariwisataan Berbasis Budaya Kuliner dalam Perspektif Hukum Kekayaan Intelektual’ di Aula Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) Denpasar, Kamis (19/10).
Aras menyebut kekayaan kuliner Bali yang makin digemari masyarakat global, memiliki potensi diambilalih pihak lain lantaran aneka kuliner Bali tersebut tidak mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual. “Perkembangan budaya kuliner yang juga dikenal dengan istilah food culture atau culinary cultural, relevan dilindungi melalui rezime hukum hak kekayaan intelektual,” kata Aras di depan peserta seminar dari kalangan mahasiswa Fakultas Hukum Unud tersebut.
Potensi ‘dibajaknya’ kuliner Bali ini bukan mengada-ada, melihat gonjang-ganjing yang terjadi sebelumnya saat masakan rendang dari Sumatera Barat ‘diklaim’ Malaysia, atau beberapa tahun lalu saat tari pendet dan reog Ponorogo juga ‘diklaim’ Malaysia.
Perlindungan hukum ini dinilai Aras sangat penting seiring dengan perkembangan pariwisata. “Kepariwisataan di Bali adalah pariwisata yang berbasis budaya, sehingga saat ini pun mulai dikembangkan hingga budaya kuliner,” kata Aras yang juga dosen Fakultas Hukum Unud tersebut.
Soal kuliner saat ini boleh dibilang sebagai globalisasi dunia. Semua informasi dapat dengan cepat diterima melalui media, baik channel TV soal kuliner maupun media sosial,” kata Aras yang dalam penelitiannya juga melibatkan Ni Ketut Supasti Dharmawan, Desak Putu Dewi Kasih dan I Nyoman Darmadha.
Perkembangan kuliner disebutnya juga seirama dengan perkembangan pariwisata. Pasalnya wisatawan yang berwisata menikmati keindahan alam, ujung-ujungnya juga pasti akan menikmati kuliner setempat. Di Bali misalnya, ayam betutu atau sate lilit menjadi makanan khas Pulau Dewata. “Perkembangan pesat informasi teknologi mempengaruhi semua ini, termasuk tentang keberadaan kuliner yang bersumber dari budaya tradisional,” kata Aras.
Food culture inilah yang kemudian oleh para chef profesional dijadikan sebagai karya seni yang elegan atau biasa disebut food art. “Untuk sate lilit misalnya, Chef Mariska mengemas dengan sangat cantik dalam sebuah gelas,” kata Aras menunjuk karya chef kondang tersebut.
Namun khusus untuk food art, Aras mengaku agak pesimistis bisa mendapatkan perlindungan hukum. “Perlindungan seni penyajian makanan (food art) berbasis hak cipta diragukan karena tidak terpenuhinya persyaratan perwujudan (fixation),” urai Aras.
Selain menampilkan pokok bahasan soal kuliner, seminar kemarin juga secara khusus membahas soal ‘Penggunaan Terminologi Bahasa Inggris Hukum dalam Abstrak’ serta bahasan ‘Perlindungan Investasi Terkait Obligasi Pemerintah Daerah’ yang dipresentasikan oleh Dewi Kasih. *mao
Aneka kuliner Bali yang kian berkembang perlu mendapat perlindungan hukum, terkait hak kekayaan intelektual. Demikian ungkap Putu Aras Samsithawrati dalam seminar ‘Kepariwisataan Berbasis Budaya Kuliner dalam Perspektif Hukum Kekayaan Intelektual’ di Aula Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) Denpasar, Kamis (19/10).
Aras menyebut kekayaan kuliner Bali yang makin digemari masyarakat global, memiliki potensi diambilalih pihak lain lantaran aneka kuliner Bali tersebut tidak mendapatkan perlindungan hak kekayaan intelektual. “Perkembangan budaya kuliner yang juga dikenal dengan istilah food culture atau culinary cultural, relevan dilindungi melalui rezime hukum hak kekayaan intelektual,” kata Aras di depan peserta seminar dari kalangan mahasiswa Fakultas Hukum Unud tersebut.
Potensi ‘dibajaknya’ kuliner Bali ini bukan mengada-ada, melihat gonjang-ganjing yang terjadi sebelumnya saat masakan rendang dari Sumatera Barat ‘diklaim’ Malaysia, atau beberapa tahun lalu saat tari pendet dan reog Ponorogo juga ‘diklaim’ Malaysia.
Perlindungan hukum ini dinilai Aras sangat penting seiring dengan perkembangan pariwisata. “Kepariwisataan di Bali adalah pariwisata yang berbasis budaya, sehingga saat ini pun mulai dikembangkan hingga budaya kuliner,” kata Aras yang juga dosen Fakultas Hukum Unud tersebut.
Soal kuliner saat ini boleh dibilang sebagai globalisasi dunia. Semua informasi dapat dengan cepat diterima melalui media, baik channel TV soal kuliner maupun media sosial,” kata Aras yang dalam penelitiannya juga melibatkan Ni Ketut Supasti Dharmawan, Desak Putu Dewi Kasih dan I Nyoman Darmadha.
Perkembangan kuliner disebutnya juga seirama dengan perkembangan pariwisata. Pasalnya wisatawan yang berwisata menikmati keindahan alam, ujung-ujungnya juga pasti akan menikmati kuliner setempat. Di Bali misalnya, ayam betutu atau sate lilit menjadi makanan khas Pulau Dewata. “Perkembangan pesat informasi teknologi mempengaruhi semua ini, termasuk tentang keberadaan kuliner yang bersumber dari budaya tradisional,” kata Aras.
Food culture inilah yang kemudian oleh para chef profesional dijadikan sebagai karya seni yang elegan atau biasa disebut food art. “Untuk sate lilit misalnya, Chef Mariska mengemas dengan sangat cantik dalam sebuah gelas,” kata Aras menunjuk karya chef kondang tersebut.
Namun khusus untuk food art, Aras mengaku agak pesimistis bisa mendapatkan perlindungan hukum. “Perlindungan seni penyajian makanan (food art) berbasis hak cipta diragukan karena tidak terpenuhinya persyaratan perwujudan (fixation),” urai Aras.
Selain menampilkan pokok bahasan soal kuliner, seminar kemarin juga secara khusus membahas soal ‘Penggunaan Terminologi Bahasa Inggris Hukum dalam Abstrak’ serta bahasan ‘Perlindungan Investasi Terkait Obligasi Pemerintah Daerah’ yang dipresentasikan oleh Dewi Kasih. *mao
1
Komentar