Rayakan Galungan Secara Sederhana
Karena situasi tidak bisa membuat sarana upacara yang lengkap seperti keadaan normal di rumah, disarankan masyarakat yang mengungsi membuat sarana cukup sesidan-sidan, artinya sesederhana mungkin.
Saran dari Parisadha Hindu Dharma Provinsi Bali
DENPASAR, NusaBali
Umat Hindu yang berada di pengungsian disarankan membuat sarana upacara sesederhana mungkin dalam merayakan Hari Raya Galungan, pada Buda Kliwon Wuku Dungulan, Rabu (1/11) mendatang.
Demikian hasil rapat untuk memedomani pelaksanaan Galungan di pengungsian oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali bersama Kantor Wilayah (Kanwil) Agama Provinsi Bali di Kantor PHDI Bali, Jalan Ratna, Denpasar, Jumat (20/10). Rapat dihadiri Sabha Walaka, Sabha Pandita, dan Kanwil Agama Provinsi Bali.
Sekretaris PHDI Bali, Putu Wirata Dwikora, mengatakan, rapat ini digelar sehubungan dengan situasi tanggap bencana Gunung Agung, dimana cukup banyak umat Hindu yang mengungsi, di ratusan titik yang tersebar di tempat-tempat yang dianggap aman. Sehingga kemungkinan mereka yang banyak dari daerah rawan tidak bisa balik ke kampungnya untuk merayakan Galungan. “Karena situasi tidak bisa membuat sarana upacara yang lengkap seperti keadaan normal di rumah, disarankan masyarakat yang mengungsi membuat sarana cukup sesidan-sidan, artinya sesederhana mungkin,” ujar Dwikora usai rapat.
Menurut keyakinan Hindu, Tuhan ada dimana-mana dan bisa dipuja di manapun. Sehingga, masyarakat yang tidak bisa pulang, dipersilahkan sembahayang dari tempat pengungsian. Mengenai tempat, kata Dwikora, karena umumnya pada saat Galungan juga memuja leluhur, yang dalam hal ini antar pengungsi kemungkinan memiliki soroh atau klan berbeda, PHDI Bali menyarankan melaksanakan pengayatan atau ngacep (berdoa dari jarak jauh, red). Disarankan, pengayatan dilakukan secara bersama-sama sesuai kesepakatan bersama.
“Di pengungsian itu mungkin berbeda-beda sorohnya, klannya. Jika ada pura kawitan dekat dengan pengungsian, bisa sembahyang di sana. Itu lebih bagus. Tetapi kalau tidak, disarankan pengayatannya bersama di tempat pengungsian,” katanya. “Tidak dibedakan sorohnya. Sebaiknya begitu. Tapi nanti ketika muspa, ada pandita atau pamangku yang ngenter atau memimpin persembahyangan. Pada saat itulah dijelaskan tetuwek (makna, red) pangubakti (persembahyangan) kepada leluhur masing-masing. Tapi, perlu pengayatan secara fisik supaya ada jalan pikiran itu ditempatkan,” imbuhnya.
Mengenai pelaksana, PHDI Bali memohon bantuan agar difasilitasi oleh pemerintah daerah, yang dalam hal ini pemerintah setempat dimana warga ngungsi. “Kita meminta kesediaan pemerintah daerah yang menjadi tempat ngungsi warga untuk memfasilitasi pelaksanaan upacara ini. Untuk pemuput dipersilahkan situasional, apakah pamangku atau pandita ada di sana, atau beberapa pamangku bersama-sama ngenter upacara,” terangnya.
Selain itu, PHDI Bali menghimbau kepada umat Hindu lain yang tidak berada di pengungsian supaya bersama-sama mendoakan saudara yang sedang manghadapi musibah. “Mereka (pengungsi, red) tidak bisa sebahagia situasi normal. Karena ada keprihatinan ini, mari kita bersama-sama mendoakan mereka supaya selamat, sehat dan kuat dalam menghadapi semua ini,” ajak Dwikora. *in
Komentar