nusabali

Membicarakan dan Memikirkan

  • www.nusabali.com-membicarakan-dan-memikirkan

Berita hangat cepat menyebar dan dibicarakan tanpa dpikirkan ekses lebih luasnya.

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD

Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Menurut Muhammad Hatta dan Langeveld, lebih baik memikirkan pengertian ketimbang membicarakan tanpa arah. Misalnya, sekelompok orang berbicara tentang filsafat, tetapi tidak mengerti apa filsafat itu yang sebenarnya. Demikian halnya dengan berbicara tentang agama, tanpa memahami makna agama lebih dalam. Membicarakan tanpa memikirkan makna dan efek pembicaraan akan dapat menciptakan suasana gaduh.

Membicarakan tanpa memahami makna analog dengan mengatakan apa yang tidak diperbuat, dan berbuat apa yang tidak dikatakan. Kebiasaan ini merupakan suatu kebiasaan buruk. Kebiasaan buruk demikian akan dapat mengakhiri suatu relasi atau interaksi. Cara mengatakan akan membentuk situasi selanjutnya. Keterlangsungan interaksi positif amat tergantung pada cara penyampaian, your speech shapes your life.  Diksi merupakan refleksi diri. Atau bahkan, kata-kata yang digunakan dapat mendorong diri ke sudut kesulitan tertentu. Cara berbicara menunjukkan bagian penting diri. Karena cara bicara, orang lain bisa menilai Anda kurang waras, ceroboh atau menyakitkan.

Membicarakan dengan kata-kata negatif akan memeroleh tanggapan atau reaksi negatif. Sebaliknya, membicarakan dengan santun akan memeroleh tanggapan positif. Bahasa mencerminkan kepribadian pembicaranya. Kadang penolakan dimengerti sebagai penerimaan, hanya karena caranya yang halus dan santun. Sebaliknya ajakan dapat menimbulkan ketersinggungan, kalua ajakan tersebut dipersepsi sebagai godaan. Jadi, bahasa menggarisbawahi pikiran. Kata-kata kasar, negatif, tidak santun, menuduh atau sejenisnya akan memeroleh perlawanan. Oleh karena itu, pikir dulu sebelum berbicara, Dapatkah hal tersebut dilatih?        

Ada tiga  latihan agar dapat menguasai pikiran sebelum membicarakan. Pertama, mengendalikan lidah dengan bersikap bertanggungjawab apa yang dikatakan. Sikap tanggung jawab terbentuk apabila seseorang memikirkan efek atau dampak dari perkataannya. Dengan kesadaran tersebut, seseorang akan berhati-hati. Latihan kedua adalah menutup mulut secepat membukanya. Artinya, mereaksi terhadap situasi dengan memikirkan akibat dari perkataan. Akankah orang yang diajak berbicara tersinggung, marah, atau sejenisnya? Dengan pertanyaan tersebut akan muncul kehati-hatian dalam berbicara. Sesungguhnya, menutup mulut adalah penghentian pola kebiasaan buruk. Jeda waktu merupakan kesempatan untuk memilih pola yang lebih konstruktif dan komunikatif.

Latihan ketiga adalah berbicara tentang yang sebenarnya dipikirkan, bukan asal mengatakan. Latihan ketiga ini amat kritis dan penting. Misalnya, minta maaf sebelum hal negatif timbul adalah strategi untuk mengurangi ketegangan. Dengan kesantunan, maka kerusakan komunikasi terhindarkan. Permohonan maaf akan bermakna apabila disertai dengan perubahan cara berbicara. Kalau tidak demikian, maka kerusakan komunikasi tidak dapat dihindarkan. Latihan-latihan di atas seharusnya dibiasakan lewat permainan edukatif sejak usia dini, di rumah, di sekolah maupun di masyarakat.

Anak-anak usia dini hendaknya dibiasakan dengan rekreasi bermain edukatif tentang berbagai kultur peradaban adiluhung. Di Jepang, anak-anak usia dini dididik dan dibudayakan agar menjadi orang Jepang, bukan orang lain. Anak-anak dididik menjadi pekerja yang ulet, tangguh, dan rajin, bukan pekerja tukang mencari nafkah. Mereka yang sudah dan sedang bekerja ditanamkan motto sederhana tetapi bermakna, jadilah pekerja untuk kesejahteraan dirimu sendiri. Kecerdasan, sikap, dan kepribadian lebih difokuskan pada pembentukan sosok atau diri yang berkarakter. Dengan cara-cara tersebut, maka lahirlah generasi yang berkarakter, berpikir lokal tetapi bertindak global. *

Komentar