Galungan Sama, Galungan Beda
Usia Wayan Lunga 60 tahun, sudah ratusan kali ia menikmati Galungan.
Aryantha Soethama
Pengarang
Yang ia rasa Galungan itu bisa beda, bisa pula sama, padahal intinya tetap satu: ada sesaji dihaturkan, makanan lebih banyak dibanding hari-hari biasa, dan penjor menjulang berseri-seri di depan rumah. Ketika Lunga mulai masuk SD, samar-samar ia mengingat alangkah senang dengan baju baru, ibu sangat sibuk di dapur, nenek genting mempersiapkan sesaji seakan kalau ada banten yang kurang leluhur akan mengutuknya. Ayah dan paman minum tuak dengan lawar yang dikukus, tum babi, dan sayur nangka balung berkuah pekat. Mereka duduk melingkar sangat bahagia.
Ketika di SMP ia mepatung daging babi, bangun dinihari ke tempat pemotongan babi, ramai sekali, senang bersua teman-teman sebaya. Di hari penampahan suasana sangat meriah, orang-orang sangat sibuk, wajah-wajah sumringah, tak ada petani ke sawah pagi itu.
Itu contoh Galungan yang diisi oleh kesibukan-kesibukan yang sama. Dan orang-orang tak pernah merasa bosan melakoninya. “Mungkin karena orang baru makan daging di hari Galungan, sehingga mereka selalu menunggu hari raya,” pikir Lunga.
Lalu, kapan Galungan berubah? Ketika Lunga kuliah, ketika itulah ia merasakan Galungan tak lagi sama satu dengan Galungan lain. Ia mulai mandiri, hidup di rantau. Tak lagi ia mepatung, tidak ikut sibuk membantu ibu di dapur atau menolong ayah membuat penjor. Ia menikmati Galungan sendiri di kamar kos. Kadang berkunjung ke kontrakan teman, berangkat bersama ke pura. Beberapa kali Galungan ia tidak pulang kampung, tidak lagi merasakan suasana Galungan yang asli, yang meriah.
Tatkala ia mulai pacaran, ia merasakan Galungan yang mulai khas, menjadi hanya miliknya. Ia mengajak pacar ke kampung, memperkenalkan calon pasangan hidup kepada keluarga. Si ibu bertanya, “Memang ini pilihanmu?”
Lunga diam, beberapa saat tak sanggup menjawab. Si ayah gak peduli, asyik minum arak-brem sembari mengunyah sosis.
“Memangnya kenapa, Bu?”
“Cantik dan segar, tapi apakah ia akan sudi kita ajak megalung?”
Lunga teringat bagaimana ia mengajak seorang gadis di tempat kerjanya menonton bioskop. Ketika itu pas Galungan. Sepulang nonton mereka berciuman di bawah pohon akasia dekat alun-alun. “Di Bali hari ini hari suci,” ujar Lunga. Si gadis tersipu bahagia. “Kita memulai pacaran di hari yang sakral,” jelas Lunga.
Ketika Lunga menceritakan bagaimana ia menemukan gadis yang ia perkenalkan di Galungan itu kepada ibunya, si ibu tertawa terkekeh-kekeh. Perempuan itu senang dan yakin, gadis itu akan jadi menantu yang baik, dan sudi diajak megalung.
Setelah Lunga berumahtangga, ia mulai merasakan Galungan semakin beda dengan sekian Galungan lain yang ia nikmati semasa kanak-kanak. Dulu ia tak terlalu berperan jika Galungan, seperti ikut-ikut begitu saja. Sekarang ia menjadi suami dan ayah yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan Galungan di keluarganya. Jauh hari ia sudah berpesan pada istri untuk membelikan baju pada anak-anaknya. Kepada putranya yang kuliah di luar pulau ia berharap agar bisa pulang jika Galungan.
Beberapa kali Galungan Lunga bisa berkumpul dengan keluarga inti, lengkap: istri, anak, menantu, cucu. Tapi kali lain tidak. Ia mengingat-ingat beberapa kali menikmati Galungan sendiri ketika harus tugas ke luar kota. Pada Galungan lain, ia pulang ke rumah asal, merayakan Galungan bersama ibu, ayah, yang sudah renta. Galungan tetap terasa kental, tapi tidak semeriah dulu, ketika ia masih di SD dan SMP.
Lunga merasa Galungan mulai hambar ketika pertama kali merayakan Galungan di kampung halaman tanpa kehadiran ibu yang sangat ia kasihi, yang meninggal dua bulan lalu. Ayah di hari suci itu duduk termangu di sanggah, menatap jauh dengan pandangan hampa. Lunga mulai merasakan, apakah lagi yang bisa dinikmati bagi orang-orang yang sudah menikmati Galungan ratusan kali? Hari suci ini menjadi sesuatu yang rutin, terasa begitu cepat datang saban 210 hari sekali. Lunga merasakan, di zaman modern kemeriahan Galungan tidak sedalam, tidak sekhusuk dulu. Jika dulu masakan sangat nikmat terasa karena dinikmati cuma saat Galungan, kini kuliner itu sudah bisa dinikmati kapan saja, dijual di warung-warung.
Bagi Wayan Lunga yang ratusan kali merayakan Galungan, sangat terasa ada yang sama saat Galungan, banyak pula yang beda. Setelah Lunga beranak-pinak, ia rindu Galungan yang dulu, ketika penjor dibuat sederhana, bikin sendiri, tidak membeli, tidak jor-joran seperti penjor masa kini. *
Yang ia rasa Galungan itu bisa beda, bisa pula sama, padahal intinya tetap satu: ada sesaji dihaturkan, makanan lebih banyak dibanding hari-hari biasa, dan penjor menjulang berseri-seri di depan rumah. Ketika Lunga mulai masuk SD, samar-samar ia mengingat alangkah senang dengan baju baru, ibu sangat sibuk di dapur, nenek genting mempersiapkan sesaji seakan kalau ada banten yang kurang leluhur akan mengutuknya. Ayah dan paman minum tuak dengan lawar yang dikukus, tum babi, dan sayur nangka balung berkuah pekat. Mereka duduk melingkar sangat bahagia.
Ketika di SMP ia mepatung daging babi, bangun dinihari ke tempat pemotongan babi, ramai sekali, senang bersua teman-teman sebaya. Di hari penampahan suasana sangat meriah, orang-orang sangat sibuk, wajah-wajah sumringah, tak ada petani ke sawah pagi itu.
Itu contoh Galungan yang diisi oleh kesibukan-kesibukan yang sama. Dan orang-orang tak pernah merasa bosan melakoninya. “Mungkin karena orang baru makan daging di hari Galungan, sehingga mereka selalu menunggu hari raya,” pikir Lunga.
Lalu, kapan Galungan berubah? Ketika Lunga kuliah, ketika itulah ia merasakan Galungan tak lagi sama satu dengan Galungan lain. Ia mulai mandiri, hidup di rantau. Tak lagi ia mepatung, tidak ikut sibuk membantu ibu di dapur atau menolong ayah membuat penjor. Ia menikmati Galungan sendiri di kamar kos. Kadang berkunjung ke kontrakan teman, berangkat bersama ke pura. Beberapa kali Galungan ia tidak pulang kampung, tidak lagi merasakan suasana Galungan yang asli, yang meriah.
Tatkala ia mulai pacaran, ia merasakan Galungan yang mulai khas, menjadi hanya miliknya. Ia mengajak pacar ke kampung, memperkenalkan calon pasangan hidup kepada keluarga. Si ibu bertanya, “Memang ini pilihanmu?”
Lunga diam, beberapa saat tak sanggup menjawab. Si ayah gak peduli, asyik minum arak-brem sembari mengunyah sosis.
“Memangnya kenapa, Bu?”
“Cantik dan segar, tapi apakah ia akan sudi kita ajak megalung?”
Lunga teringat bagaimana ia mengajak seorang gadis di tempat kerjanya menonton bioskop. Ketika itu pas Galungan. Sepulang nonton mereka berciuman di bawah pohon akasia dekat alun-alun. “Di Bali hari ini hari suci,” ujar Lunga. Si gadis tersipu bahagia. “Kita memulai pacaran di hari yang sakral,” jelas Lunga.
Ketika Lunga menceritakan bagaimana ia menemukan gadis yang ia perkenalkan di Galungan itu kepada ibunya, si ibu tertawa terkekeh-kekeh. Perempuan itu senang dan yakin, gadis itu akan jadi menantu yang baik, dan sudi diajak megalung.
Setelah Lunga berumahtangga, ia mulai merasakan Galungan semakin beda dengan sekian Galungan lain yang ia nikmati semasa kanak-kanak. Dulu ia tak terlalu berperan jika Galungan, seperti ikut-ikut begitu saja. Sekarang ia menjadi suami dan ayah yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan Galungan di keluarganya. Jauh hari ia sudah berpesan pada istri untuk membelikan baju pada anak-anaknya. Kepada putranya yang kuliah di luar pulau ia berharap agar bisa pulang jika Galungan.
Beberapa kali Galungan Lunga bisa berkumpul dengan keluarga inti, lengkap: istri, anak, menantu, cucu. Tapi kali lain tidak. Ia mengingat-ingat beberapa kali menikmati Galungan sendiri ketika harus tugas ke luar kota. Pada Galungan lain, ia pulang ke rumah asal, merayakan Galungan bersama ibu, ayah, yang sudah renta. Galungan tetap terasa kental, tapi tidak semeriah dulu, ketika ia masih di SD dan SMP.
Lunga merasa Galungan mulai hambar ketika pertama kali merayakan Galungan di kampung halaman tanpa kehadiran ibu yang sangat ia kasihi, yang meninggal dua bulan lalu. Ayah di hari suci itu duduk termangu di sanggah, menatap jauh dengan pandangan hampa. Lunga mulai merasakan, apakah lagi yang bisa dinikmati bagi orang-orang yang sudah menikmati Galungan ratusan kali? Hari suci ini menjadi sesuatu yang rutin, terasa begitu cepat datang saban 210 hari sekali. Lunga merasakan, di zaman modern kemeriahan Galungan tidak sedalam, tidak sekhusuk dulu. Jika dulu masakan sangat nikmat terasa karena dinikmati cuma saat Galungan, kini kuliner itu sudah bisa dinikmati kapan saja, dijual di warung-warung.
Bagi Wayan Lunga yang ratusan kali merayakan Galungan, sangat terasa ada yang sama saat Galungan, banyak pula yang beda. Setelah Lunga beranak-pinak, ia rindu Galungan yang dulu, ketika penjor dibuat sederhana, bikin sendiri, tidak membeli, tidak jor-joran seperti penjor masa kini. *
1
Komentar