nusabali

'Novanto Kembali Jadi Tersangka e-KTP'

  • www.nusabali.com-novanto-kembali-jadi-tersangka-e-ktp

Ketua DPR Setya Novanto dikabarkan kembali ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun.

JAKARTA, NusaBali

Penetapan ini dilakukan KPK per 30 Oktober 2017, hanya berselang sebulan pasca Novanto memenangkan gugatan praperadilan untuk menggugurkan status tersangka sebelumnya dalam kasus yang sama.

Penetapan kembali status tersangka Setya Novanto ini terkonfirmasi dalam Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang beredar di kalangan wartawan, Senin (6/11). Seorang pejabat di KPK pun membenarkan kebenaran Sprindik tersebut.

"Dengan ini diberitahukan bahwa hari Selasa tanggal 31 Oktober, telah dimulai penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP elektronik) tahun 2011 sampai dengan 2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang diduga dilakukan oleh Setya Novanto," demikian bunyi penggalan Sprindik yang diterima detikcom, Senin kemarin.

"Bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudihardjo, Andi Agustius alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dan Ir Sugiharto MM selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dan kawan-kawan," sambungan penggalan Sprindik tersebut.

Hingga tadi malam, belum ada tanggapan dari Novanto yang notabene Ketua Umum DPP Golkar terkait penetapan kembali sebagai tersangka kasus e-KTP. Sedangkan Sekjen DPP Golkar, Idrus Marham, mengaku belum tahu menahu soal penetapan ini.

"Saya nggak bisa menanggapi, kalau saya belum tahu. Saya tidak bisa. Saya nggak menanggapi, saya nggak memahami itu. Tapi, kalau ada proses-proses seperti itu, kita hargai proses itu, namun saya belum tahu sampai sekarang," ujar Idrus di Gedung DPR Senayan, Senin kemarin.

Secara terpisah, pengacara Novanto, Fredrich Yunadi, juga mengaku belum tahu soal penetapan kembali kliennya sebagai tersangka e-KTP oleh KPK. Fredrich mengaku belum menerima surat dari KPK. "Saya tidak tahu menahu, karena kita tidak terima. Kalau kita terima pun masa kita edarkan ke wartawan, kan nggak make sense. Berarti ini kan permainan oknum KPK sendiri, yang sengaja membikin isu bikin heboh masyarakat, kan mereka selalu ingin jadi pemain sinetron," kata Fredrich.

Fredrich tuding ada oknum di KPK yang sengaja menyebarkan isu tersebut. Dia menyebut bila surat dimulainya penyidikan atas Novanto itu hoax. "Saya belum terima, apa yang harus saya ambil langkah? Ini kan hoax, isu, kan saya belum tahu," imbuhnya.

Menurut Fredrich, pihaknya belum akan mengambil langkah hukum apa pun. Namun bila dia telah menerima surat resmi, maka langkah hukum pasti akan diambil. "Kalau terima kan kita ambil langkah hukum. Kalau belum terima, mau ngambil apa, masa saya berdasar photocopy WA (Whatsapp), terus saya bisa tuntut orang. Ya, nggak luculah," katanya.

Setya Novanto sendiri sebelumnya sempat ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus e-KTP, 17 Juli 2017 lalu. Ketua Umum DPP Golkar ini diduga berperan mengkondisikan pengadaan barang dan jasa e-KTP saat menjadi Ketua Fraksi Golkar DPR 2009-2014. Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi proyek e-KTP diumumkan langsung Ketua KPK, Agus Rahardjo, dalam konferensi pers di kantornya kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Namun, status tersangka Novanto akhirnya gugur setelah politisi kawakan Golkar ini memenangkan gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan, 29 September 2017. Kala itu, hakim tunggl Cepi Iskandar mengabulkan permohonan praperadilan Novanto dalam sidang putusan di PN Jakarta Selatan. "Mengabulkan permohonan pemohon (Setya Novanto) untuk sebagian," ujar ha-kim Cepi Iskandar saat membacakan amar putusan praperadilan.

Hakim Cepi menilai penetapan tersangka harus dilakukan di akhir tahap penyi-dikan suatu perkara. Hal tersebut mesti dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.  Selain itu, hakim Cepi mengatakan bukti yang digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa dipakai untuk menangani perkara selanjutnya. *

Komentar