Rizal Ramli Usul Sistem Kuota Diganti
Skema tarif membuat pemerintah bisa mengendalikan harga pangan lebih efektif.
JAKARTA, NusaBali
Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli menyebut, tak kunjung tuntasnya benang kusut tingginya harga pangan di Indonesia, terjadi akibat pola kebijakan impor pangan yang menggunakan skema kuota.
Sistem kuota, menurut Rizal, hanya menguntungkan segelintir pemain, karena akhirnya pemain-pemain besar itu juga yang akhirnya mengendalikan harga. Dia meminta, impor pangan lewat kuota segera ditinggalkan.
"Kami akan mendorong supaya sistem yang mengatur selama ini ribet, dan digunakan untuk alat mendapatkan keuntungan luar biasa besar kita gantikan dengan sistem tarif," ujar Rizal ditemui di kantornya, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (21/1).
Diungkapkannya, sistem kuota yang awalnya ditujukan untuk melindungi petani dan peternak dalam negeri malah akhirnya dipakai segelintir pemain mengendalikan harga.
Menurut Rizal, ketidakwajaran harga paling kentara ada pada import daging sapi. Dari pengamatannya, meski jumlah importir sapi banyak, hal tersebut tak menunjukan ada persaingan yang sehat dalam penetapan harga.
" Niatnya baik, kita atur impornya pakai peraturan, pakai kouta atau semi kuota, dengan harapan melindungi produsen dalam negeri. Importir semu atau ecek-eceknya banyak. Misalnya di daging barangkali terdaftar 40 (importir), tapi riilnya hanya 6-7. Seolah-olah ramai, kompetitif, tapi dalam praktiknya hanya 6-7 saja," ungkapnya.
Rizal menuturkan, berbeda dengan sistem kuota, kebijakan impor lewat skema tarif membuat pemerintah bisa mengendalikan harga dengan efektif. Importir pun bisa dilakukan siapa pun dan oleh banyak pemain sehingga persaingan harga lebih fair.
"Kita kan ingin melindungi pertanian kita, kita lindungi dengan tarif. Sehingga kalau kekurangan pasok, banyak yang bisa jadi importir, tidak yang itu-itu saja. Yang penting dia bayar tarif, negara dapat penerimaan tarif, petani dilindungi, sistem transparan dan fair," ujarnya dilansir detik.
Kejanggalan lain dalam penetapan kebijakan impor pangan, sambung Rizal, adalah penunjukan importir yang juga memiliki peran lain sebagai produsen. Hal ini membuat importir menjadi pengendali harga bahan pangan yang beredar di masyarakat.
"Dan lebih aneh lagi, importir yang main ini juga produsen. Mereka sudah punya kekuatan pasar, ditambah lagi (impor). Sehingga malah mereka menentukan harga, dan keuntungannya luar biasa besarnya. Itulah yang dipakai buat nyogok pejabat, petaninya tidak dapat apa-apa. Kedua, rakyat harus membeli pangan impor sangat mahal," tegas mantan Menko Ekonomi era Presiden Abdurahman Wahid ini.
Sapi Indukan Bebas PPN
Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 267 Tahun 2015 tentang Kriteria dan/atau Rincian Ternak, Bahan Pakan untuk Pembuatan Pakan Ternak, dan Pakan Ikan yang Atas Impor dan/atau Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Dalam Pasal 1 PMK ini disebutkan, bahwa ternak, bahan pakan untuk pembuatan pakan ternak dan pakan ikan, tidak termasuk imbuhan pakan, merupakan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis atas impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN.
Pasal 2 ayat 2 menambahkan, bahwa pemenuhan persyaratan sapi indukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibuktikan dengan sertifikat kesehatan hewan (health certificate) yang diterbitkan oleh otoritas vetereiner negara asal sebagai pemenuhan persyaratan kesehatan hewan (health requirement), dan sertifikat asal ternak (certificate of origin) yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara asal.
Kemudian Pasal 7 menyatakan, bahwa Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada 8 Januari 2016. Aturan ini sendiri telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada 31 Desember 2015.7
Komentar