Tiga Pejuang Buleleng Diajukan Jadi Pahlawan Nasional
Tiga tokoh pejuang asal Buleleng diajukan menjadi pahlawan nasional, yakni Mayor I Nengah Metra (yang namanya telah diabadikan jadi GOR Mayor Metra Singaraja), Letkol I Gusti Putu Wisnu (telah diabadikan jadi Lapangan Terbang Letkol Wisnu di Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak), dan Kapten I Gede Muka Pandan (telah diabadikan jadi nama Jalan Kapten Muka).
SINGARAJA, NusaBali
Mereka diharapkan bisa ikuti jejak Mr I Goesti Ketut Pudja, yang telah dikukuhkan menjadi pahlawan nasional, 8 November 2011 silam. Kepala Dinas Sosial Buleleng, Gede Komang, mengatakan saat ini pihaknya sedang mempersiapkan administrasi terkait jejak kepahlawan ketiga pejuang kemerdekaan yang diusulkan jadi pahlawan nasional ini. Pemerintah harus menyusun biodata, menemukan ahli waris, dan menyusun sejarah perjuangan pahlawan yang diusulkan secara komprehensif.
“Administrasi jejak kepahlawanan beliau-beliau ini sedang kami siapkan, agar segera bisa kami ajukan ke pemerintah pusat dan diakui sebagai pahlawan nasional,” ujar Gede Komang di sela-sela peringatan Hari Pahlawan di Taman Kota Singaraja, Jumat (10/11) pagi.
Gede Komang menyatakan, penyusunan kisah jejak kepahlawan ketiga tokoh pejuang ini cukup sulit dibuat. Sebab, pemerintah bukan hanya menyusun kisah berdasarkan tutur lisan, namun juga sebisa mungkin harus dilengkapi dengan fakta-fakta jejak perjuangan para pahlawan.
Bukan hanya itu, pemerintah juga wajib mengabadikan nama ketiganya sebagai nama jalan atau nama gedung. Untuk masalah ini, pemerintah tidak kesulitan. Pasalnya, ketiga nama pejuang ini sudah diabadikan dalam bentuk monumen. Selain itu, pemerintah juga telah mengabadikan nama ketiganya sebagai nama jalan, lapangan terbang, dan stadion.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa ketiga pejuang ini, pemerintah sudah mendirikan Monumen Tri Yudha Sakti di Terminal Sangket, Kelurahan Sukasada, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Monumen Tri Yudha Sakti berisi patung Mayor I Nengah Metra, Letkol I Gusti Putu Wisnu, dan Kapten I Gede Muka Pandan.
Letkol Wisnu sendiri merupakan putra dari I Gusti Nyoman Oka. Letkol Wisnu dilahirkan di kawasan Kelungkung tahun 1919. Kemudian, Letkol Wisnu masuk ‘Sekolah Dasar’ Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Klungkung tahun 1926. Setelah lulus HIS pada 1933, Letkol Wisnu melanjutkan sekolah tingkat SMP ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Malang.
Pada zaman pendudukan Jepang, Letkol Wisnu mengikuti pendidikan militer PETA di Ring Sai Tai Singaraja. Setelah lulus, Letkol Wisnu diangkat menjadi Cudanco (Kapten Jepang). Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Letkol Wisnu diangkat menjadi Komandan Batalion I Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil yang dibentuk Letkol I Gusti Ngurah Rai (pahlawan nasional asal Puri Carangsari, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung).
Bersama I Gusti Ngurah Rai dan seluruh pasukan pejuang ‘Ciung Wanara’, Letkol Wisnu ikut mempertahankan bumi pertiwi Indonesia tercinta dalam perang di kebun jagung Margarana, Kecamatan Marga, Tabanan sampai titik darah penghabisan---yang dikenal sebagai Puputan Margarana. Letkol Wisnu dinyatakan gugur sebagai Pahlawan Kemerdekaan tanggal 20 Nopember 1946.
Sedangkan Mayor Metra lahir di Kelurahan Beratan, Singaraja, Buleleng, 5 Mei 1902. Setelah menanamatkan pendidikan HIS di Purworejo (Jawa Tengah), Mayor metra diangakat menjadi guru HIS Singaraja tahun 1925. Selain itu, Mayor Metra juga sebagai anggota Partai Indonesia Raya (Parindra) di Singaraja dan menjabat Ketua Perkumpulan Soerjakanta.
Pada 1934, Mayor Metra kembali terpilih menjadi ‘Lid Volksraad’ (Kepala Perwakilan Rakyat) untuk menggantikan Tjokorda Raka Sukawati di Jakarta. Tapi, karena ada ketidaksetujuan dari Anak Agung Putu Djelantik, maka pencalonan Mayor Metra dibatalkan. Pada 1935, Mayor Metra dipindahkan ke Mataram (Lombok) untuk menjadi Kepala Sekolah HIS.
Tahun 1937, Mayor Metra bersama kawan-kawannya membantu sebuah perkumpulan bernama ‘CLUBHUIS EKATJITA’ di Mataram yang memiliki semboyan ‘Bersatu Tujuan ke Arah Ketinggian Martabat Bangsa’. Kemudian, Mayor Metra gugur dalam medan pertempuran di Banjar Gintungan, Desa Selat, Kecamatan Sukasada, 5 Mei 1946. Mayor Metra saat itu gugur bersama lima pejuang lainnya: I Ketut Nada, I Nengah Sada, Wayan Dista, I Made Kertadana, dan I Putu Sedana. Merela kemudian dikenang dengan dibangunnya Monumen Ayodya Pura oleh keluarga Mayor Metra.
Pihak keluarga Mayor Metra telah menghibahkan areal Monumen Ayodya Pura seluas 6 are di Desa Selat tersebut untuk dikelola Pemkab Buleleng sejak tahun 2016. Hal ini juga diakui Gede Komang. “Tahun ini baru bisa kita lakukan penataan, seperti penyertifikatan tanah seluas 6 are, termasuk pemagaran, dan rencana untuk dijadikan destinasi wisata spiritual,” kata Gede Komang.
Sementara itu, I Gede Muka Pandan yang dikenal sebagai Kapten Muka dilahirkan di Singaraja tahun 1923. Dia masuk PETA dalam Kesatuan Militer Jepang di Banyumala, Singaraja. Setelah lulus PETA, Kapten Muka diangkat menjadi Chudancho di Jembrana. Di sana, dia mengadakan gerakan bawah tanah bersama para pejuang seperti I Gusti Ngurah Rai, Wijaya Kusuma, Kapten Sugianyar, dan lainnya. Pada 31 Agustus 1945, Kapten Muka menjadi anggota Badan Keaman Rakyat (BKR)---kini TNI---bersama Mayor I Made Putu, Kapten I Dewa Made Suwija, dan Anang Ramli.
Kapten Muka juga ikut melatih para pejuang kemerdekaan yang bermarkas di Asrama Nagio (Pertanian) Beratan, Singaraja. Dia ikut memimpin pertemuan dalam peristiwa ‘Penurunan Bendera Belanda’ di Pelabuhan Buleleng di Singaraja, 27 Oktober 1945. Kapten Muka juga tercatat ikut dalam penyerangan tentara Jepang di Tangsi Banyumala, 31 Desember 1945. Kapten Muka akhirnya gugur dalam pertempuran tak seimbang melawan tentara NICA di Lorong Melati, Kelurahan Ban-jar Jawa, Singaraja, 3 April 1946. Lorong Melati kini diabadikan menjadi nama Jalan Kapten Muka. *k19,k23
“Administrasi jejak kepahlawanan beliau-beliau ini sedang kami siapkan, agar segera bisa kami ajukan ke pemerintah pusat dan diakui sebagai pahlawan nasional,” ujar Gede Komang di sela-sela peringatan Hari Pahlawan di Taman Kota Singaraja, Jumat (10/11) pagi.
Gede Komang menyatakan, penyusunan kisah jejak kepahlawan ketiga tokoh pejuang ini cukup sulit dibuat. Sebab, pemerintah bukan hanya menyusun kisah berdasarkan tutur lisan, namun juga sebisa mungkin harus dilengkapi dengan fakta-fakta jejak perjuangan para pahlawan.
Bukan hanya itu, pemerintah juga wajib mengabadikan nama ketiganya sebagai nama jalan atau nama gedung. Untuk masalah ini, pemerintah tidak kesulitan. Pasalnya, ketiga nama pejuang ini sudah diabadikan dalam bentuk monumen. Selain itu, pemerintah juga telah mengabadikan nama ketiganya sebagai nama jalan, lapangan terbang, dan stadion.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa ketiga pejuang ini, pemerintah sudah mendirikan Monumen Tri Yudha Sakti di Terminal Sangket, Kelurahan Sukasada, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Monumen Tri Yudha Sakti berisi patung Mayor I Nengah Metra, Letkol I Gusti Putu Wisnu, dan Kapten I Gede Muka Pandan.
Letkol Wisnu sendiri merupakan putra dari I Gusti Nyoman Oka. Letkol Wisnu dilahirkan di kawasan Kelungkung tahun 1919. Kemudian, Letkol Wisnu masuk ‘Sekolah Dasar’ Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Klungkung tahun 1926. Setelah lulus HIS pada 1933, Letkol Wisnu melanjutkan sekolah tingkat SMP ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Malang.
Pada zaman pendudukan Jepang, Letkol Wisnu mengikuti pendidikan militer PETA di Ring Sai Tai Singaraja. Setelah lulus, Letkol Wisnu diangkat menjadi Cudanco (Kapten Jepang). Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Letkol Wisnu diangkat menjadi Komandan Batalion I Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil yang dibentuk Letkol I Gusti Ngurah Rai (pahlawan nasional asal Puri Carangsari, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Badung).
Bersama I Gusti Ngurah Rai dan seluruh pasukan pejuang ‘Ciung Wanara’, Letkol Wisnu ikut mempertahankan bumi pertiwi Indonesia tercinta dalam perang di kebun jagung Margarana, Kecamatan Marga, Tabanan sampai titik darah penghabisan---yang dikenal sebagai Puputan Margarana. Letkol Wisnu dinyatakan gugur sebagai Pahlawan Kemerdekaan tanggal 20 Nopember 1946.
Sedangkan Mayor Metra lahir di Kelurahan Beratan, Singaraja, Buleleng, 5 Mei 1902. Setelah menanamatkan pendidikan HIS di Purworejo (Jawa Tengah), Mayor metra diangakat menjadi guru HIS Singaraja tahun 1925. Selain itu, Mayor Metra juga sebagai anggota Partai Indonesia Raya (Parindra) di Singaraja dan menjabat Ketua Perkumpulan Soerjakanta.
Pada 1934, Mayor Metra kembali terpilih menjadi ‘Lid Volksraad’ (Kepala Perwakilan Rakyat) untuk menggantikan Tjokorda Raka Sukawati di Jakarta. Tapi, karena ada ketidaksetujuan dari Anak Agung Putu Djelantik, maka pencalonan Mayor Metra dibatalkan. Pada 1935, Mayor Metra dipindahkan ke Mataram (Lombok) untuk menjadi Kepala Sekolah HIS.
Tahun 1937, Mayor Metra bersama kawan-kawannya membantu sebuah perkumpulan bernama ‘CLUBHUIS EKATJITA’ di Mataram yang memiliki semboyan ‘Bersatu Tujuan ke Arah Ketinggian Martabat Bangsa’. Kemudian, Mayor Metra gugur dalam medan pertempuran di Banjar Gintungan, Desa Selat, Kecamatan Sukasada, 5 Mei 1946. Mayor Metra saat itu gugur bersama lima pejuang lainnya: I Ketut Nada, I Nengah Sada, Wayan Dista, I Made Kertadana, dan I Putu Sedana. Merela kemudian dikenang dengan dibangunnya Monumen Ayodya Pura oleh keluarga Mayor Metra.
Pihak keluarga Mayor Metra telah menghibahkan areal Monumen Ayodya Pura seluas 6 are di Desa Selat tersebut untuk dikelola Pemkab Buleleng sejak tahun 2016. Hal ini juga diakui Gede Komang. “Tahun ini baru bisa kita lakukan penataan, seperti penyertifikatan tanah seluas 6 are, termasuk pemagaran, dan rencana untuk dijadikan destinasi wisata spiritual,” kata Gede Komang.
Sementara itu, I Gede Muka Pandan yang dikenal sebagai Kapten Muka dilahirkan di Singaraja tahun 1923. Dia masuk PETA dalam Kesatuan Militer Jepang di Banyumala, Singaraja. Setelah lulus PETA, Kapten Muka diangkat menjadi Chudancho di Jembrana. Di sana, dia mengadakan gerakan bawah tanah bersama para pejuang seperti I Gusti Ngurah Rai, Wijaya Kusuma, Kapten Sugianyar, dan lainnya. Pada 31 Agustus 1945, Kapten Muka menjadi anggota Badan Keaman Rakyat (BKR)---kini TNI---bersama Mayor I Made Putu, Kapten I Dewa Made Suwija, dan Anang Ramli.
Kapten Muka juga ikut melatih para pejuang kemerdekaan yang bermarkas di Asrama Nagio (Pertanian) Beratan, Singaraja. Dia ikut memimpin pertemuan dalam peristiwa ‘Penurunan Bendera Belanda’ di Pelabuhan Buleleng di Singaraja, 27 Oktober 1945. Kapten Muka juga tercatat ikut dalam penyerangan tentara Jepang di Tangsi Banyumala, 31 Desember 1945. Kapten Muka akhirnya gugur dalam pertempuran tak seimbang melawan tentara NICA di Lorong Melati, Kelurahan Ban-jar Jawa, Singaraja, 3 April 1946. Lorong Melati kini diabadikan menjadi nama Jalan Kapten Muka. *k19,k23
Komentar