Mendag: Penyebabnya Perubahan Gaya Hidup
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kembali angkat bicara soal banyaknya toko ritel yang tutup.
Ritel Rontok Bukan Karena Daya Beli Lesu
JAKARTA, NusaBali
Bukan karena daya beli lesu, Enggar berpendapat, tutupnya sejumlah toko pakaian seperti Ramayana, Matahari, Lotus hingga Debenhams lebih dikarenakan adanya perubahan gaya hidup di masyarakat. Menurutnya, peralihan gaya belanja masyarakat yang beralih ke online sedikit banyak mempengaruhi tutupnya sejumlah gerai ritel tersebut.
"Anak muda sekarang, yang merupakan spending terbesar secara kategori umur, mereka sekarang lebih spending untuk makan, leissure, nongkrong dibanding dengan dia beli baju banyak-banyak. Tidak mau nambah lagi. Hal itu yang menjadi perubahan. Kaitannya apakah daya beli turun? Tidak," katanya saat ditemui di sela acara pertemuan bilateral yang dihadirinya di Furama Ressort, Da Nang, Vietnam, Kamis (9/11/2017) seperti dilansir detik.
Secara bersamaan, toko-toko tersebut juga tak bisa menyesuaikan dengan selera belanja masyarakat saat ini sehingga penjualannya tak laku dan terpaksa ditutup dibanding harus terus mempertahankan di tengah biaya operasional yang semakin tinggi.
"Mereka (masyarakat) ini sudah tidak lagi suka pergi ke departement store, dia pilih-pilih semua naik turun lantai, mencari di rak untuk membeli sesuatu. Mereka langsung datang ke spesial store yang brand-nya kuat. Tetapi yang brand-nya tidak kuat, maka mereka pembelian online. Tapi kita belum bisa menyatakan pembeliannya berapa persen. Tetapi kita bisa menduga itu dari logistik," ucap Enggar.
Peralihan belanja konsumen ke toko-toko pakaian yang lebih spesifik tersebut kata dia bisa dilihat dari pendapatan perusahaan yang menjual produk tersebut. Enggar mencontohkan Zara yang merupakan produk dari perusahaan Mitra Adiperkasa (MAP).
"Perusahaan-perusahaan itu adalah public listed company (perusahaan terbuka) sebagian besar. Kita lihat di MAP, bagaimana kenaikan revenue dan rugi labanya? Naik semuanya. Tetapi terbagi. Tidak dari Lotus atau Debenhams yang dia punya, tetapi dari Zaranya. Artinya dari special store, dia akan ekspansi di satu mal, akan perbesar gerai untuk special storenya itu. Tetapi untuk departement storenya dia tutup karena polanya sudah berubah," ujar Enggar.
"Belum lagi ada jarak antara satu mal dengan mal lain yang terlalu dekat kata dia juga berpotensi menciptakan persaingan yang tidak sehat lantaran marketnya pun terbatas," tambahnya.
Catatan lainnya, dana pihak ketiga di perbankan juga terbilang meningkat. Hal ini menurut Enggar menunjukkan perubahan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat yang lebih ingin menghabiskan uangnya untuk berlibur.
"Kenapa? Karena mereka nanti spending untuk liburan, spending untuk berbagai keperluan yang lain, yang beli sesuatu itu seperlunya sekarang. Jadi perlambatan konsumsi itu dari pola belanja, untuk beberapa jenis. Tapi tidak digeneralisir untuk semua jenis. Tapi kalau sekarang bicara food and beverages, secara rata-rata semua meningkat kecuali makanannnya enggak enak," ucapnya.
"Coba tanya berapa peningkatan Jatim Park misalnya? Berapa peningkatan length of stay di sana? Itu perubahan yang terjadi. Kita pergi ke Lembang, mau macet kayak apapun didatangi. Saya pun enggak habis pikir. Apa sih yang terjadi di Lembang, dan saya saksikan ini orang kenapa mau saja di sana dan enggak mau balik. Karena dia mau nongkrong di sana," sambung dia.
Kecenderungan perubahan gaya hidup ini kata dia juga sedikit banyak dipengaruhi oleh zaman yang saat ini serba digital. Masyarakat dianggap lebih suka mencoba sesuatu yang baru yang dianggap tren pada saat itu, termasuk gaya hidup nongkrong di kedai kopi. "Kalau saya tidak salah, transaksi food saja yang dikirim melalui Go-Food itu lebih dari Rp 1 triliun dalam satu bulan untuk Indonesia. Lihat betapa besarnya transaksi yang terjadi itu," tukasnya. *
1
Komentar