Seni Kejujuran vs Kejujuran Seni
Seni adalah kejujuran yang indah, tidak ada keindahan seni tanpa kejujuran perilaku sang pelaku. Pelaku seni adalah peniup terompet moralitas etika dalam wilayah estetika. Berkesenian bukanlah bebas nilai. Seni bukan juga topeng manipulasi materialistik.
Berkesenian berarti menempa jiwa menuju kemuliaan. Jiwa seni adalah kemuliaan hakiki. Bali terkenal bukan karena alamnya yang indah. Bukan juga karena agamanya Hindu atau budayanya yang unik. Bali mewujud dalam realita, karena ada aktor di balik semua itu. Aktor hebat itu adalah kesenian itu sendiri. Orang Bali amat kental jiwa berkeseniannya. Secara turun temurun, orang Bali selalu dalam usungan kehidupan berbudaya dan berkesenian. Mereka selalu bersikap jujur dalam berkesenian. Kalau tidak demikian, maka kesenian yang diperankan tidak memiliki taksu. Jika sifat unggul ini sirna, maka sinar kemilau Bali akan redup. Sulit rasanya untuk merestorasi Bali yang terlanjur redup. Walau ribuan pura dibangun atau jutaan upakara agama dilakukan, Bali akan tetap kehilangan kejujuran. Kemajuan pariwisata dan pernak pernik Bali itu hanyalah aksesoris eksternal yang bersifat sementara.
Di lain ranah, kejujuran adalah sebuah seni, an art and not a science. Seorang pedagang di pasar tradisional berkata polos menawarkan dagangannya. Ia berkata yang hitam dimerahkan, yang kecut dimaniskan, yang bengkok diluruskan. Tujuannya jelas agar pelanggannya terbujuk untuk membeli. Ketika seorang calon pembeli bertanya polos, apa mangga ini rasanya manis? Jawab spontan, manis sekali dan boleh dicicip, matang di pohon, rasanya harum manis. Memastikan calon pembeli merupakan sebuah seni.
Kejujuran adalah sebuah kata yang indah didengar. Kejujuran tidak semudah mengaplikasikan dalam keseharian. Tidak berlebihan bila ada yang mengatakan kejujuran semakin langka dan semakin. Apa yang akan terjadi ketika penjual mangga berkata jujur?
Dewasa ini, banyak krama Bali yang tidak tertarik pada kejujuran. Walau kadang ia paham akan maknanya, tetapi ia begitu mudah untuk mengabaikan dengan berbagai ada alasannya. Sikap yang lebih berbahaya adalah berpura-pura jujur. Sesungguhnya, kejujuran tidak dimulai dari warung kopi. Kejujuran adalah sebuah nilai abstrak, sumbernya hati, tidak bersandar pada omongan. Jadi kejujuran merupakan sebuah kesadaran. Ia dimulai dari suara hati, bukan dari warung keinginan. Kualitas sraddha yang dapat mengantarkan pada kejujuran asali. Secara harfiah, jujur adalah kata yang digunakan untuk menyatakan sikap. Jika ada seseorang berhadapan dengan sesuatu atau fenomena, maka orang itu akan memperoleh gambaran tentang fenomena tersebut. Jika seorang menceritakan sesuatu kepada orang lain apa adanya, sikap demikian disebut dengan jujur. Jadi, seseorang dikatakan jujur apabila ucapannya sejalan dengan perbuatannya.
Kejujuran orang Bali harus diartikan bisa menjaga bhisama leluhur. Jujur merupakan salah satu karakter manusia mulia. Orang yang memiliki sifat jujur biasanya mendapat kepercayaan. Berbohong adalah lawan kata dari jujur. Manakala karakter jujur krama Bali menipis, maka roh Tri Hita Karana juga akan hilang. Konsekuensinya, Bali akan kabur maknanya. Ketika roh Tri Hita Karana hilang, maka akan tergantikan oleh yang bukan Bali. Pada masa mendatang yang tersisa dan hidup di Bali bukanlah orang Bali. Walau mereka yang tinggal mengaku keturunan orang Bali, tetapi sebenarnya karakter orang Bali telah tidak dimiliki lagi.
Kejujuran adalah harta yang tidak ternilai yang dimiliki krama Bali. Semestinya, kejujuran kepada Yang Maha Kuasa, dengan sesama dan alam lingkungan harus terpelihara.
Kejujuran ini adalah modal dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kehidupan krama Bali sekarang dan di masa depan. Kejujuran tidak boleh digantikan apalagi dimarginalkan. Pemarginalan kejujuran akan menggoyahkan sendi-sendi yang menopang bangunan Bali. Semoga tidak terbersit pikiran, perasaan, dan tindakan yang menafikan kejujuran Bali. 7
Komentar