Gaji Marketing di RI Cukup Besar
Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Boediarso Teguh Widodo mengatakan pengelolaan anggaran di daerah masih jauh dari efektif dan efisien itu.
JAKARTA, NusaBali
Hal tersebut bisa dilihat dari alokasi belanja pegawai yang jauh lebih besar dari porsi belanja modal. Bahkan, realiasasi belanja modal juga terbilang lambat lantaran simpanan uang Pemda di perbankan tercatat dari tahun ke tahun semakin meningkat.
"Realisasi belanja modal lambat dan simpanan Pemda di bank makin tahun makin meningkat. Diperparah lagi terdapat ketimpangan dalam layanan publik antar daerah. Pada akses air bersih di Balikpapan misalnya, mencapai 98%. Kalau kita lihat sebaliknya di Papua baru 4%. Di kesehatan, untuk Aceh telah terdapat 15 berbanding 100 ribu tenaga kesehatan. Di Kupang, baru 1,4 per 100 ribu yang dilayani tenaga kesehatan," ujar Boediarso dalam acara Budget Day di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (22/11).
Hal ini diperparah dengan fakta adanya mark-up atau korupsi pejabat di daerah terhadap anggaran yang ada. 361 Kepala Daerah yang terdiri dari 18 Gubernur dan 343 Bupati dan Wali Kota yang korupsi. "Korupsi terbesar ada pada pelaksanaan dari pengadaan konstruksi bangunan," terang Boediarso, seperti dilansir detikfinance.
Dia menambahkan, anggaran transfer ke daerah dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dari alokasi Rp 81 triliun pada saat launching program desentralisasi fiskal di awal 2000, hingga saat ini sudah menjadi Rp 766 triliun.
Begitu pula alokasi anggaran belanja di APBD dalam kurun waktu yang sama, juga meningkat hampir 12 kali lipat dari Rp 93 triliun kini menjadi Rp 1.097 triliun.
"Kenaikan dari belanja APBD dan transfer tadi ternyata tidak diikuti dengan pengelolaan anggaran yang efektif dan efisien," jelas Boediarso. "Transformasi pengelolaan keuangan negara merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan krusial. Perlu untuk segera dilakukan transformasi tersebut, mengingat pengelolaan APBN dan APBD masih terdapat celah-celah yang masih bisa diperbaiki agar bisa lebih efektif, efisien, optimal dan produktif," lanjut Boediarso. *
Hal tersebut bisa dilihat dari alokasi belanja pegawai yang jauh lebih besar dari porsi belanja modal. Bahkan, realiasasi belanja modal juga terbilang lambat lantaran simpanan uang Pemda di perbankan tercatat dari tahun ke tahun semakin meningkat.
"Realisasi belanja modal lambat dan simpanan Pemda di bank makin tahun makin meningkat. Diperparah lagi terdapat ketimpangan dalam layanan publik antar daerah. Pada akses air bersih di Balikpapan misalnya, mencapai 98%. Kalau kita lihat sebaliknya di Papua baru 4%. Di kesehatan, untuk Aceh telah terdapat 15 berbanding 100 ribu tenaga kesehatan. Di Kupang, baru 1,4 per 100 ribu yang dilayani tenaga kesehatan," ujar Boediarso dalam acara Budget Day di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (22/11).
Hal ini diperparah dengan fakta adanya mark-up atau korupsi pejabat di daerah terhadap anggaran yang ada. 361 Kepala Daerah yang terdiri dari 18 Gubernur dan 343 Bupati dan Wali Kota yang korupsi. "Korupsi terbesar ada pada pelaksanaan dari pengadaan konstruksi bangunan," terang Boediarso, seperti dilansir detikfinance.
Dia menambahkan, anggaran transfer ke daerah dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dari alokasi Rp 81 triliun pada saat launching program desentralisasi fiskal di awal 2000, hingga saat ini sudah menjadi Rp 766 triliun.
Begitu pula alokasi anggaran belanja di APBD dalam kurun waktu yang sama, juga meningkat hampir 12 kali lipat dari Rp 93 triliun kini menjadi Rp 1.097 triliun.
"Kenaikan dari belanja APBD dan transfer tadi ternyata tidak diikuti dengan pengelolaan anggaran yang efektif dan efisien," jelas Boediarso. "Transformasi pengelolaan keuangan negara merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan krusial. Perlu untuk segera dilakukan transformasi tersebut, mengingat pengelolaan APBN dan APBD masih terdapat celah-celah yang masih bisa diperbaiki agar bisa lebih efektif, efisien, optimal dan produktif," lanjut Boediarso. *
Komentar