Pasupati Gelar Diskusi Politik Sesuai Weda
Sameton Pasek yang tergabung dalam Pamikukuh Swadarmaning Pasek Sujati (Pasupati) menggelar diskusi ‘Politik di Kacamatam Weda (Soroh)’.
SEMARAPURA, NusaBali
Diskusi digelar di wantilan Pura Penataran Agung Catur Prahyangan Ratu Pasek Linggih Ida Bhatara Mpu Gana, Banjar Pundukdawa, Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung, bertepatan Purnama Kanem, Minggu (3/12) siang.
Tampil tiga narasumber yakni Ida Pandita Mpu Acharya Jaya Daksa Vedananda (nama walaka Prof Dr I Made Titib Ph D, mantan Rektor IHDN Denpasar dan Pengurus PHDI Pusat). Panglingsir Pasemetonan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Nyoman Adi Wiryatama yang Ketua DPRD Bali, dan politisi I Wayan Sukla Arnata.
Diskusi dipandu I Gede M. Arsana ini dihadiri Ketua MGPPSR Bali Wisnu Bawa Temaja, didampingi Sekretaris I Made Adi Jaya, Ketua Pasupati Pandu Prapanca Lagosa, dan lainnya. Pemaparan diawali oleh Ida Pandita Mpu Acharya Jaya Daksa Vedananda dengan materi ‘Politik Perspektif Veda dan Susastra Hindu’. “Politik dalam arti yang murni (pure) adalah sangat luhur dan netral. Sangat tergantung pada pelaku-pelaku politik. Politik itu alat, bukan tujuan untuk mewujudkan cita-cita hidup mencapai kebahagiaan,” ujar Ida Mpu Acarya Vedananda.
Lebih lanjut disampaikan, adapun sumber ajaran politik dalam Hindu dapat dijumpai dalam kitab suci Veda, terutama Rgveda dan Atharvaveda. Kitab-kitab Itihasa dan Purana, terdiri dari Ramayana dan Mahabharata. “Pada kedua epos ini ditemukan cukup banyak ajaran tentang politik, penyelenggaraan pemerintahan, tentang pembayaran pajak dan sebagainya,” ujarnya.
Di samping itu, kitab Dharmasastra seperti Manavadharmasastra, Parasara Dharmasastra, dan Tantra. Dalam Mahabharata, tepatnya Anusasanaparva digambarkan tentang ilmu politik dalam agama Hindu. “Bila politisi mengimplementasikan ajaran agama secara sungguh-sungguh, maka politik sehat dan santun akan diwujudnyatakan,” ujarnya.
Panglingsir Pasemetonan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Nyoman Adi Wiryatama membawakan materi ‘Politik, Trah dan Pemimpin Dalam Kontek Kekinian’. Disebutkan, zaman dulu trah dipakai alat politik oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Ada istilah jabe-menak, ojowere, ile-ile dahat, jeroan-jabe, dan lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep Tat Twam Asi (aku adalah engkau) karena setiap individu punya hak sama. “Trah Pasek dengan bhisamanya telah mempunyai ideologi pemersatu, kelompok ini sangat besar anggotanya di Bali, hampir 70 persen,” ujarnya.
Kini trah Pasek sudah ada di dalam keanggotaan bermacam-macam partai politik. “Untuk mencari yang terbaik kita harus mulat sarira, mengukur kemampuan diri untuk menjadi yang terbaik, untuk memenangkan trah, bukan pribadi masing-masing. Apalah artinya perbedaan partai, yang penting kita bisa merebut kekuasaan di bawah Bhisama kawitan,” ujarnya. Dia mengakui MGPSSR tidak berpolitik sesuai ADRT-nya. Tetapi anggotanya boleh berpartai politik karena diatur oleh undang-undang.
Politisi I Wayan Sukla Arnata membawakan materi ‘Perspektif Politik Berbasis Weda Dalam Membangun Bali Yang Jagadhita’. Setelah penyampaian materi dilanjutkan acara dikusi yang beralangsung hangat.
Ketua Pasupati Pandu Prapanca mengatakan diskusi ini untuk memberikan jawaban atas adanya pro dan kontra apakah soroh dibolehkan atau tidak terjun dalam politik praktis. “Ada pertanyaan yang menggema seperti ini di masyarakat, sehingga kita akumulasikan dalam sebuah diskusi,” ujarnya. *wan
Tampil tiga narasumber yakni Ida Pandita Mpu Acharya Jaya Daksa Vedananda (nama walaka Prof Dr I Made Titib Ph D, mantan Rektor IHDN Denpasar dan Pengurus PHDI Pusat). Panglingsir Pasemetonan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Nyoman Adi Wiryatama yang Ketua DPRD Bali, dan politisi I Wayan Sukla Arnata.
Diskusi dipandu I Gede M. Arsana ini dihadiri Ketua MGPPSR Bali Wisnu Bawa Temaja, didampingi Sekretaris I Made Adi Jaya, Ketua Pasupati Pandu Prapanca Lagosa, dan lainnya. Pemaparan diawali oleh Ida Pandita Mpu Acharya Jaya Daksa Vedananda dengan materi ‘Politik Perspektif Veda dan Susastra Hindu’. “Politik dalam arti yang murni (pure) adalah sangat luhur dan netral. Sangat tergantung pada pelaku-pelaku politik. Politik itu alat, bukan tujuan untuk mewujudkan cita-cita hidup mencapai kebahagiaan,” ujar Ida Mpu Acarya Vedananda.
Lebih lanjut disampaikan, adapun sumber ajaran politik dalam Hindu dapat dijumpai dalam kitab suci Veda, terutama Rgveda dan Atharvaveda. Kitab-kitab Itihasa dan Purana, terdiri dari Ramayana dan Mahabharata. “Pada kedua epos ini ditemukan cukup banyak ajaran tentang politik, penyelenggaraan pemerintahan, tentang pembayaran pajak dan sebagainya,” ujarnya.
Di samping itu, kitab Dharmasastra seperti Manavadharmasastra, Parasara Dharmasastra, dan Tantra. Dalam Mahabharata, tepatnya Anusasanaparva digambarkan tentang ilmu politik dalam agama Hindu. “Bila politisi mengimplementasikan ajaran agama secara sungguh-sungguh, maka politik sehat dan santun akan diwujudnyatakan,” ujarnya.
Panglingsir Pasemetonan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) Nyoman Adi Wiryatama membawakan materi ‘Politik, Trah dan Pemimpin Dalam Kontek Kekinian’. Disebutkan, zaman dulu trah dipakai alat politik oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Ada istilah jabe-menak, ojowere, ile-ile dahat, jeroan-jabe, dan lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep Tat Twam Asi (aku adalah engkau) karena setiap individu punya hak sama. “Trah Pasek dengan bhisamanya telah mempunyai ideologi pemersatu, kelompok ini sangat besar anggotanya di Bali, hampir 70 persen,” ujarnya.
Kini trah Pasek sudah ada di dalam keanggotaan bermacam-macam partai politik. “Untuk mencari yang terbaik kita harus mulat sarira, mengukur kemampuan diri untuk menjadi yang terbaik, untuk memenangkan trah, bukan pribadi masing-masing. Apalah artinya perbedaan partai, yang penting kita bisa merebut kekuasaan di bawah Bhisama kawitan,” ujarnya. Dia mengakui MGPSSR tidak berpolitik sesuai ADRT-nya. Tetapi anggotanya boleh berpartai politik karena diatur oleh undang-undang.
Politisi I Wayan Sukla Arnata membawakan materi ‘Perspektif Politik Berbasis Weda Dalam Membangun Bali Yang Jagadhita’. Setelah penyampaian materi dilanjutkan acara dikusi yang beralangsung hangat.
Ketua Pasupati Pandu Prapanca mengatakan diskusi ini untuk memberikan jawaban atas adanya pro dan kontra apakah soroh dibolehkan atau tidak terjun dalam politik praktis. “Ada pertanyaan yang menggema seperti ini di masyarakat, sehingga kita akumulasikan dalam sebuah diskusi,” ujarnya. *wan
Komentar