nusabali

Bermakna Bersihkan Pikiran, Wong Samar Diyakini Ikut Ngerebeg

  • www.nusabali.com-bermakna-bersihkan-pikiran-wong-samar-diyakini-ikut-ngerebeg

Kalangan anak-anak dengan hisasan tubuh menyeramkan dilibatkan dalam prosesi ritual Ngerebeg, karena mereka diyakini dapat ngayah menghalau kekuatan jahat (bhutakala)

Desa Pakraman Tegallalang Gelar Tradisi Ritual Ngerebeg Rangkaian Pujawali di Pura Duur Bingin


GIANYAR, NusaBali
Krama Desa Pakraman Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Gianyar kembali melangsungkan tradisi ritual Ngerebeg pada Budha Kliwon Pahang, Rabu (6/12). Ritual yang digelar serangkaian karya pujawali di Pura Duur Bingin, Desa Pakraman Tegallalang ini melibatkan ratusan krama lanang (lelaki) dari 5 banjar adat, yang semuanya menghias wajah mereka dengan aneka motif menyeramkan saat prosesi arak-arakan keliling desa.

Prosesi ritual Ngerebeg, yang bermakna membersihkan pikiran dalam bhuwana alit (tubuh manusia) dan bhuwana agung (alam semesta) secara niskala, diikuti kalangan anak-anak, remaja, hingga teruna (pemuda). Mereka berasal dari 5 banjar pengemong Pura Duur Bingin, yakni Banjar Penusuan, Banjar Tegal, Banjar Tengah, Banjar Tegallalang, dan Banjar Triwangsa.

Dengan dandanan menyeramkan, ratusan peserta Ngerebeg yang didominasi ABG lanang (laki-laki) ini berjalan kaki keliling desa sejauh 6 kilometer, sambil membawa pelbagai hi-asan dari pelepah busung (janur) dan pelepah daun Jaka (aren), juga lelontek, kober (bendera sakral), dan penjor. Bahkan, ada pula penjor yang terbuat dari batang pohon salak ikut diarak.

Prosesi ritual Ngerebeg diawali dengan upacara pecaruan di Pura Duur Bingin. Setelah upacara pecaruan, dilanjut menghaturkan paica alit yakni krama nunas ajengan berupa nasi berisi lawar yang langsung dinikmati bersama di halaman Pura Duur Bingin. Setelah itu, krama melanjutkan ritual Ngamedalang Ida Sasuhunan Pura Duur Bingin.

Barulah kemudian peserta Ngerebeg melakukan ritual jalan kaki keliling desa dengan payas aeng (hiasan tubuh menyeramkan), tepat pukul 12.30 Wita. Rute yang ditempuh dalam ritual Ngerebeg ini diawali dari Pura Duur Bingin menuju arah selatan ke Pura Prajapati, Desa Pakraman Tegallalang. Setibanya di Pura Prajapati, krama lanang yang ikut Ngerebeg langsung melakukan persembahyangan, dengan tujuan agar merka dilindungi selama tradisi berlangsung.

Dari Pura Prajapati, iring-iringan Ngerebeg berlanjut menuju arah utara sampai batas akhir di Objek Wisata Ceking. Selanjutnya, melewati arah turunan melalui Banjar Gagah, hingga kembali ke Pura Duura Bingin. Pada saat bersamaan, kalangan krama dewasa menghaturkan sesaji di setiap pura dan setra (kuburan) yang dilewati dalam prosesi Ngerebeg.

Prosesi ritual Ngerebeg kemarin berlangsung hingga sore sekitar pukul 15.00 wita. Setelah ritual Ngerebeg selesai, barulah krama Desa Pakraman Tegallalang

mempersiapkan upacara karya pujawali di Pura Duur Bingin yang jatuh pada Wraspati Umanis Pahang, Kamis (7/12) ini. Tradisi ritul Ngerebeg itu sendiri digelar 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pas saat rahina Pegat Uakan pada Buda Kliwon

Pahang, atau sehari sebelum karya Pujawali di Pura Duur Bingin.

Peserta Ngerebeg yang didominasi anak-anak selalu menghias sekujur tubuhnya dengan dandanan seram. Dari zaman ke zaman, hiasan tubuh para peserta ritual Ngerebeg tetap sama, yakni motif menyeramkan. Kalangan anak-anak dan ABG dengan hisasan tubuh menyeramkan dilibatkan dalam prosesi ritual Ngerebeg ini, karena mereka diyakini dapat ngayah menghalau kekuatan jahat (bhutakala). Agar bhutakala tidak mengganggu prosesi upacara, maka harus diberi kesempatan untuk melampiaskan keinginannya melalui ritual Ngerebeg ini.

Prosesi ritual Ngerebeg sehari jelang puncak karya pujawali di Pura Duur Bingin ini juga dipercaya sebagai upaya untuk menetralkan sifat negatif manusia yang disebut Sad Ripu (enam musuh dalam diri). Enam jenis musuh dalam diri manusia yang harus dinetralkan itu terwakili dalam kreasi hiasan wajah menyeramkan para peserta ritual Ngerebeg. Nah, hiasan bermotif menyeramkan pada tubuh peserta ritual Ngerebeg itu sendiri sebagai simbol sifat buruk manusia.

Ada pun enam musuh dalam diri manusia yang disebut Sad Ripu itu terdiri dari pertama, Kama (hawa nafsu yang tidak terkendali), yang diekspresikan dengan gadis hamil. Kedua, Loba (rakus) yang digambarkan dengan selalu ingin memiliki lebih dari haknya). Ketiga, Kroda (pemarah) yang diekspresikan dengan wajah yang babak belur sebagai akibat orang yang suka terlibat perkelahian).

Keempat, Moha (bingung), yang digambarkan dengan perwajahan mirip orang meninggal lantaran bunuh diri). Kelima, Mada (mabuk) yang digambarkan dengan tampilan wajah buruk akibat suka mabuk-mabukan dan suka mengkonsumsi narkoba. Keenam, Matsarya (iri hati), yang disimbolkan pada perwajahan seorang penjahat dengan pakaian berdasi.

Menurut Bendesa Pakraman Tegallalang, Made Jaya Kusuma, wong samar (makhluk halus) yang jumlahnya ratusan diyakini ikut serta membaur dalam arak-arakan Ngerebeg keliling desa ini. Karena keikutsertaan wong samar, kata Bendesa Jaya Kusuma, ritual Ngerebeg ini pantang untuk diganggu. “Kalau berani menggangu, misal mengambil penjor yang dibawa peserta Ngerebeg, siap-siap saja menghadapi bahaya,” ujar Jaya Kusuma yang ditemui NusaBali di Pura Duur Bingin, Rabu kemarin.

Jaya Kusuma mengatakan, keberadaan wong samar di wewidangan Desa Pakraman Tegallalang terus bertambah dari waktu ke waktu. Bahkan, wong samar ini memiliki perkampungan khusus di tukad (sungai) yang berada di sebelah barat Pura Duur Bingin. “Makanya, kalau lewat di atas tukad itu, minimal harus hidupkan klaskson sambil mohon izin secara niskala untuk melintas. Jika tidak, bisa celaka,” terang Jaya Kusuma yang notabene mantan Kepala Sekolah (Kasek) SMPN 2 Singapadu dan SMPN 1 Sukawati. *nvi

Komentar