Dalam Kondisi Trance, Penari Injak-injak Bara Api Tanpa Terluka
Sang Hyang Jaran merupakan tarian sakral kenang-kenangan dan warisan Ida Pedanda Gede Punia, sulinggih yang dibuang Raja Bangli tahun 1894 karena dituduh berperilaku ugik
Tarian Sakral Sang Hyang Jaran Pentas pada Hari Pertama Nusa Penida Festival IV di Pantai Mahagiri
SEMARAPURA, NusaBali
Selain Tari Rejang Dewa 1.500 Penari, hari pertama Nusa Penida Festival (NPF) IV 2017 yang digelar di Pantai Mahagiri, Desa Jungutbatu, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung, Rabu (6/12), juga ditandai dengan pementasan tarian sakral Sang Hyang Jaran. Namanya juga tarian sakral, para penari menginjak-injak bara api dalam kondisi tranxe, tanpa luka sedikit pun.
Tarian sakral Sang Hyang Jaran yang ditampilkan, Rabu malam itu, merupakan persembahan sekaa kesenian dari Desa Jungutbatu, Kecamatan Nusa Penida. Tarian sakral Sang Hyang Jaran dibawakan 10 penari, yang 2 di antaranya merupakan orang-orang pilihan yang sudah mendapat mandat secara niskala.
Dari 10 penari sakral yang semuanya laki-laki tersebut, 5 orang di antaranya krama mengenakan busana serba merah, sementara 5 penari lagi berbusana serba putih. Hal ini menyesuaikan dengan simbol dari tarian Sang Hyang Jaran itu sendiri, yakni Nala Sanda (merah) yang melambangkan laki-laki dan Once Srawa (putih) sebagai simbol perempuan. Saat pentas, 2 dari 10 penari mengalami trance (kesurupan), sedangkan 8 penari lainnya yang masih tergolong siswa SMP hanya sebagai pelengkap.
Pergelaran tarian sakral Sang Hyang Jaran di Pantai Mahagiri malam itu dimulai pukul 19.00 Wita. Diawali dengan ritual mengaturkan aci banten dengan menggunakan sanggah berbentuk Arda Candra. Saat itulah, 10 penari duduk berbaris. Dua (2) penari yang memang pilihan secara niskala dan sudah diwinten, duduk posisi paling depan.
Setelah baten dihaturkan, dilanjut dengan melantunkan kidung khas tarian sakral Sang Hyang Jaran. Sekitar 10 menit kemudian, 2 penari pilihan niskala mulai trance. Mereka menggoyang-goyangkan Sang Hyang Jaran yang bentuknya menyerupai kuda lumping. Gerakan ini diikuti 8 penari lainnya. Dengan mata tertutup, mereka terus menari-nari mengitari arena pentas. Bagitu lantunan kidung dijeda dengan ucapan makebles (keluar), semua penari langsung berpencar ke luar pentas dengan menembus barisan penonton. Sontak hal ini membuat penonton berlarian agar mereka tidak terinjak.
Tak lama berselang, 2 penari pilihan kembali memasuki arena pentas, masih dalam kondisi trance dengan mata terpejam. Kemudian, terjadi adegan menginjak-nginjak bara api dari bakaran serabut kepala, dengan kaki telanjang. Ajaibnya, mereka sama sekali tidak mengerang kesakitan, juga tanpa mengalami luka bakar.
Rangkaian prosesi ini melalui 10 tahapan tahapan. Termasuk tahapan membuat trance 2 penari pilihan lewat melantunkan kidung sakral. Sesudah trance, ada tahapan membujuk agar kekuatan niskala bangun, selanjutnya kedua penari pilihan masolah (menari) dan menunggangi Sang Hyang Jaran. Setelah selesai masolah, dilanjut dengan ritual memerciki tirta kepada sang penari hingga mereka sadar kembali.
“Masing-masing tahapan memiliki pada (bab) kidung tersendiri,” ujar Kordinator Kesenian Desa Pakraman Jungutbatu, I Made Subitra alias Guru Mirah Maharani, kepada NusaBali seusai pentas tarian sakral Sang Hyang Jaran di Pantai Mahagiri, Rabu malam.
Made Subrita menjelaskan, tidak sembarang orang bisa ngigel (menari) Sang Hyang Jarang. Hanya orang-orang terpilih secara niskala yang bisa masolah Sang Hyang Jaran hingga trance dan tidak terluka bakar saat menginjak-injak bara api. Mereka sudah diupacarai pawintenan.
Menurut Made Subrita, tarian sakral Sang Hyang Jaran sudah empat kali secara beruntun dipentaskan dalam event tahunan NPF sejak gelaran pertama pada 2014 silam. Karena merupakan tarian sakral, maka sarana upacaranya tetap sama seperti halnya saat dipentaskan mengiringi karya pujawali di pura-pura. “Pentas di Nusa penida Festival ini semata hanya untuk memperkenalkan seni dan budaya yang kita punya,” papar Made Subrita.
Dari sisi niskala, pementasan tarian sakral Sang Hyang Jaran dipercaya bisa menetralisasi energi-energi negatif, seperi mala dan kegeringan (penyakit). Setelah pentas, dua simbolik Sang Hyang Jaran yang berupa kuda lumping langsung distanakan di Pura Desa Pakraman Jungutbatu. “Simbol Sang Hyang Jaran berwarna putih disebut Once Srawa, sementara yang merah adalah Nala Sanda,” katanya.
Tarian sakral Sang Hyang Jaran di Desa Jungutbatu merupakan warisan budaya secara turun-temurun. Keberadaan tarian sakral ini memiliki sejarah yang panjang yang dibalut kisah dramatis. Sesuai Lontar Kacacar dan Lontar Tantu Pagelaran, semua terkait dengan kisah Ida Pedanda Gede Punia, sulinggih dari salah satu griya di kawasan Bangli yang dituduh berperilaku ugik (buruk) di lingkungannya.
Karena dituduh berperilaku ugik, Ida Pedanda Gede Punia dijatuhi hukuman keselong (dibuang) dari tempat tinggalnya oleh Raja Bangli yang berkuasa kala itu, sekitar tahun 1894. Nah, dalam perjalanannya yang tanpa tujuan tersebut, tidak seorang pun penguasa wilayah yang bersedia menerima kehadiran Ida Pedanda Gede Punia, karena takut akan risiko yang dihadapi.
Singkat cerita, tibalah Ida Pedanda Gede Punia di sebuah desa terpencil di kawasan sebeerang Nusa Penida, yang kini bernama Desa Jungutbatu. Kala itu, Desa Jungutbatu berada di bawah pemerintahan Jro Mekel I Nyoman Jungut dan wakilnya, I Wayan Batu. Jro Mekel Jungut dan Wayan Batu adalah sosok pemimpin yang pemberani dan sigap dalam perilakunya, meski sadar akan risiko yang dihadapi dengan kedatangan Ida Pedanda Gede Punia. Nama Jro Mekel Jungut dan Wayan batu kemudian diabadkan menjadi Desa Jungutbatu.
“Sejak saat itulah Ida Pedanda Gede Punia tinggal dan berbaur dengan masyarakat di Desa Jungut Batu ini,” ungkap Made Subrita. Setelah Ida Pedanda Gede Punia 6 tahun tinggal di Desa Jungutbatu, turun titah dari Raja Bangli bahwa sulinggih berperilaku ugik ini harus dimusnahkan dari muka bumi. Mendengar titah tersebut, Ida Pedanda Gede Punia hanya bisa pasrah dan siap menjalani hukuman.
Sebelum menjalani eksekusi berupa ditenggelamkan di tengah laut dalam kondisi kaki diikat karung beras, Ida Pendanda Gede Punia memberikan semacam kenang-kenangan kepada krama Desa Jungutbatu. Salah satunya, berupa tarian sakral Sang Hyang Jaran yang diadopsi dari Bangli. “Kisah ini juga masih tercacat di Lontar Kacacar dan Lontar Tantu Pagelaran,” kenang Made Subrita.
Menurut Made Subrita, untuk menghormati pemberian kenang-kenangan dari Ida Pedanda Gede Punia, maka krama Desa Jungutbatu mewariskan tarian sakral Sang Hyang Jaran secara turun temurun hingga saat iini. Tarian sakral ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan yang sudah mendapat mandat secara niskala. Pernah dicoba menggunakan orang dari luar pilihan secarea niskala untuk menarin, namun tidak mau trance di atas pentas. *wan
SEMARAPURA, NusaBali
Selain Tari Rejang Dewa 1.500 Penari, hari pertama Nusa Penida Festival (NPF) IV 2017 yang digelar di Pantai Mahagiri, Desa Jungutbatu, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung, Rabu (6/12), juga ditandai dengan pementasan tarian sakral Sang Hyang Jaran. Namanya juga tarian sakral, para penari menginjak-injak bara api dalam kondisi tranxe, tanpa luka sedikit pun.
Tarian sakral Sang Hyang Jaran yang ditampilkan, Rabu malam itu, merupakan persembahan sekaa kesenian dari Desa Jungutbatu, Kecamatan Nusa Penida. Tarian sakral Sang Hyang Jaran dibawakan 10 penari, yang 2 di antaranya merupakan orang-orang pilihan yang sudah mendapat mandat secara niskala.
Dari 10 penari sakral yang semuanya laki-laki tersebut, 5 orang di antaranya krama mengenakan busana serba merah, sementara 5 penari lagi berbusana serba putih. Hal ini menyesuaikan dengan simbol dari tarian Sang Hyang Jaran itu sendiri, yakni Nala Sanda (merah) yang melambangkan laki-laki dan Once Srawa (putih) sebagai simbol perempuan. Saat pentas, 2 dari 10 penari mengalami trance (kesurupan), sedangkan 8 penari lainnya yang masih tergolong siswa SMP hanya sebagai pelengkap.
Pergelaran tarian sakral Sang Hyang Jaran di Pantai Mahagiri malam itu dimulai pukul 19.00 Wita. Diawali dengan ritual mengaturkan aci banten dengan menggunakan sanggah berbentuk Arda Candra. Saat itulah, 10 penari duduk berbaris. Dua (2) penari yang memang pilihan secara niskala dan sudah diwinten, duduk posisi paling depan.
Setelah baten dihaturkan, dilanjut dengan melantunkan kidung khas tarian sakral Sang Hyang Jaran. Sekitar 10 menit kemudian, 2 penari pilihan niskala mulai trance. Mereka menggoyang-goyangkan Sang Hyang Jaran yang bentuknya menyerupai kuda lumping. Gerakan ini diikuti 8 penari lainnya. Dengan mata tertutup, mereka terus menari-nari mengitari arena pentas. Bagitu lantunan kidung dijeda dengan ucapan makebles (keluar), semua penari langsung berpencar ke luar pentas dengan menembus barisan penonton. Sontak hal ini membuat penonton berlarian agar mereka tidak terinjak.
Tak lama berselang, 2 penari pilihan kembali memasuki arena pentas, masih dalam kondisi trance dengan mata terpejam. Kemudian, terjadi adegan menginjak-nginjak bara api dari bakaran serabut kepala, dengan kaki telanjang. Ajaibnya, mereka sama sekali tidak mengerang kesakitan, juga tanpa mengalami luka bakar.
Rangkaian prosesi ini melalui 10 tahapan tahapan. Termasuk tahapan membuat trance 2 penari pilihan lewat melantunkan kidung sakral. Sesudah trance, ada tahapan membujuk agar kekuatan niskala bangun, selanjutnya kedua penari pilihan masolah (menari) dan menunggangi Sang Hyang Jaran. Setelah selesai masolah, dilanjut dengan ritual memerciki tirta kepada sang penari hingga mereka sadar kembali.
“Masing-masing tahapan memiliki pada (bab) kidung tersendiri,” ujar Kordinator Kesenian Desa Pakraman Jungutbatu, I Made Subitra alias Guru Mirah Maharani, kepada NusaBali seusai pentas tarian sakral Sang Hyang Jaran di Pantai Mahagiri, Rabu malam.
Made Subrita menjelaskan, tidak sembarang orang bisa ngigel (menari) Sang Hyang Jarang. Hanya orang-orang terpilih secara niskala yang bisa masolah Sang Hyang Jaran hingga trance dan tidak terluka bakar saat menginjak-injak bara api. Mereka sudah diupacarai pawintenan.
Menurut Made Subrita, tarian sakral Sang Hyang Jaran sudah empat kali secara beruntun dipentaskan dalam event tahunan NPF sejak gelaran pertama pada 2014 silam. Karena merupakan tarian sakral, maka sarana upacaranya tetap sama seperti halnya saat dipentaskan mengiringi karya pujawali di pura-pura. “Pentas di Nusa penida Festival ini semata hanya untuk memperkenalkan seni dan budaya yang kita punya,” papar Made Subrita.
Dari sisi niskala, pementasan tarian sakral Sang Hyang Jaran dipercaya bisa menetralisasi energi-energi negatif, seperi mala dan kegeringan (penyakit). Setelah pentas, dua simbolik Sang Hyang Jaran yang berupa kuda lumping langsung distanakan di Pura Desa Pakraman Jungutbatu. “Simbol Sang Hyang Jaran berwarna putih disebut Once Srawa, sementara yang merah adalah Nala Sanda,” katanya.
Tarian sakral Sang Hyang Jaran di Desa Jungutbatu merupakan warisan budaya secara turun-temurun. Keberadaan tarian sakral ini memiliki sejarah yang panjang yang dibalut kisah dramatis. Sesuai Lontar Kacacar dan Lontar Tantu Pagelaran, semua terkait dengan kisah Ida Pedanda Gede Punia, sulinggih dari salah satu griya di kawasan Bangli yang dituduh berperilaku ugik (buruk) di lingkungannya.
Karena dituduh berperilaku ugik, Ida Pedanda Gede Punia dijatuhi hukuman keselong (dibuang) dari tempat tinggalnya oleh Raja Bangli yang berkuasa kala itu, sekitar tahun 1894. Nah, dalam perjalanannya yang tanpa tujuan tersebut, tidak seorang pun penguasa wilayah yang bersedia menerima kehadiran Ida Pedanda Gede Punia, karena takut akan risiko yang dihadapi.
Singkat cerita, tibalah Ida Pedanda Gede Punia di sebuah desa terpencil di kawasan sebeerang Nusa Penida, yang kini bernama Desa Jungutbatu. Kala itu, Desa Jungutbatu berada di bawah pemerintahan Jro Mekel I Nyoman Jungut dan wakilnya, I Wayan Batu. Jro Mekel Jungut dan Wayan Batu adalah sosok pemimpin yang pemberani dan sigap dalam perilakunya, meski sadar akan risiko yang dihadapi dengan kedatangan Ida Pedanda Gede Punia. Nama Jro Mekel Jungut dan Wayan batu kemudian diabadkan menjadi Desa Jungutbatu.
“Sejak saat itulah Ida Pedanda Gede Punia tinggal dan berbaur dengan masyarakat di Desa Jungut Batu ini,” ungkap Made Subrita. Setelah Ida Pedanda Gede Punia 6 tahun tinggal di Desa Jungutbatu, turun titah dari Raja Bangli bahwa sulinggih berperilaku ugik ini harus dimusnahkan dari muka bumi. Mendengar titah tersebut, Ida Pedanda Gede Punia hanya bisa pasrah dan siap menjalani hukuman.
Sebelum menjalani eksekusi berupa ditenggelamkan di tengah laut dalam kondisi kaki diikat karung beras, Ida Pendanda Gede Punia memberikan semacam kenang-kenangan kepada krama Desa Jungutbatu. Salah satunya, berupa tarian sakral Sang Hyang Jaran yang diadopsi dari Bangli. “Kisah ini juga masih tercacat di Lontar Kacacar dan Lontar Tantu Pagelaran,” kenang Made Subrita.
Menurut Made Subrita, untuk menghormati pemberian kenang-kenangan dari Ida Pedanda Gede Punia, maka krama Desa Jungutbatu mewariskan tarian sakral Sang Hyang Jaran secara turun temurun hingga saat iini. Tarian sakral ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan yang sudah mendapat mandat secara niskala. Pernah dicoba menggunakan orang dari luar pilihan secarea niskala untuk menarin, namun tidak mau trance di atas pentas. *wan
Komentar