Novanto Tunjuk Aziz Menjadi Ketua DPR
Ketua Umum DPP Golkar Setya Novanto akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR, setelah dijebloskan ke Rutan KPK sebagai tersangka kasus megakorupsi proyek e-KTP yang diduga rugikan negara Rp 2,3 triliun.
JAKARTA, NusaBali
Novanto tunjuk politisi Golkar lainnya, Aziz Syamsudin, menggantikan posisinya sebagai Ketua DPR. Kontan, penunjukan ini menuai kecaman di internal Golkar.
Pengunduran diri Novanto sebagai Ketua DPR dituangkan melalui surat. Hal ini juga diakui Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS, Fahri Hamzah, sebagaimana di-kutip detikcom, Minggu (10/12). Menurut Fahri, pihaknya masih menunggu secara fisik surat resmi dari Novanto tersebut.
Ini untuk kali kedua Novanto mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Sebe-lumnya, Novanto sempat mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR pada 2015 lalu saat terjerat kasus 'papa minta saham'. Saat itu, dia dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD atas dugaan mencatut nama Presiden Jokowi dan JK terkait saham di PT Freeport. Novanto kemudian digantikan Ade Komarudin.
Setelah terbebas dari kasus papa minta saham, Novanto kembali naik jadi Ketua DPR, hingga otomatis melengserkan Ade Komarudin. Kini, setahun pasca naik lagi mengantikan Ade, Novanto kembali undur diri dari jabatan Ketua DPR akibat kasus megakorupsi proyek e-KTP. Novanto tunjuk Aziz Syuamsudin sebagai Ketua DPR. Sebelumnya, Novanto juga telah mundur dari jabatan Ketua Umum DPP Golkar dengan menunjuk Sekjen Idrus Marham sebagai Plt.
Keputusan Novanto tunjuk Aziz sebagai Ketua DPR ini menuai kecaman di internal Golkar. Wasekjen DPP Golkar, Ace Hasan Syadzily, menilai sikap cacat prosedur. "Sebenarnya, boleh-boleh saja Pak SN (Setya Novanto) mengusulkan Pak Aziz, sama halnya dengan kader-kader Golkar lainnya. Tapi, usulan tersebut harus dibawa dan dibahas ke dalam Rapat Pleno DPP Golkar," kritik Ace, Minggu kemarin.
Ace juga mengingatkan kembali soal keputusan Rapat Pleno Golkar, 20 November 2017 lalu. Keputusan yang dimaksud adalah bahwa pengangkatan Ketua DPR dibicarakan setelah praperadilan dan dalam forum Rapat Pleno. "Oleh karena penunjukan itu cacat prosedur dan organisatoris, maka sebaiknya diabaikan saja terutama oleh fraksi partai lain dan Pimpinan DPR lainnya," tegas Ace.
Sementara, calon Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto juga menyoroti langkah Novanto yang menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai Ketua DPR. Menurut Airlangga, langkah Novanto itu di luar jalur. Airlangga mengatakan, Rapat Pleno Golkar sudah menyepakati mekanisme pengambilan keputusan pasca Novanto ditahan KPK. Keputusan harus lebih dahulu dibahas oleh Plt Ketua Umum dengan Ketua Harian dan para Koordinator Bidang.
"Dengan demikian, maka apabila belum melalui proses tersebut dan sampai hari ini belum ada Rapat Pleno DPP yang menunjuk Alat Kelengkapan Dewan, maka tentu ini berproses di luar jalur,” tandas Airlangga. Golkar sendiri baru akan me-ngadakan rapat pleno, Senin (11/12) ini. Namun, kata Airlangga, tidak ada agenda soal pengunduran diri Novanto dan penunjukkan Ketua DPR baru.
Menurut Airlangga, penunjukkan Ketua DPR baru seharusnya dilakukan setelah Munaslub Golkar. Dia juga menilai proses ini tidak sesuai dengan mekanisme di DPR. "Tentu wajarnya itu sesudah Munas Luar Biasa (Munaslub). Kalau itu ma-suk di agenda yang tiba-tiba, tentu tidak sesuai juga dengan mekanisme yang biasa berlaku di DPR. Ingat, DPR adalah lembaga tinggi negara. Wibawa kelembagaan ini jangan dikooptasi oleh keputusan yang sifatnya dadakan."
Paparan senada juga disampaikan Ketua Dewan Pakar Golkar, Agung Laksono. Menurut Agung, sebaiknya Ketua DPR dipilih usai Munaslub. Dengan demikian, keputusan itu memiliki keabsahan. "Lebih baik kami nantikan habis Munaslub, agar ada kepemimpinan yang legitimate biar lebih memudahkan dalam pelaksa-naan," ujar mantan Ketua DPR 2004-2009 ini.
Agung khawatir dengan langkah Novanto yang secara sepihak menunjuk Aziz jadi Ketua DPR, bisa-bisa keputusan itu belakangan dipertanyakan. "Mengingat Ketua Umum Partai Golkar yang sekarang adalah Plt statusnya, maka kami khawatirkan kalau ambil putusan strategis, nanti akan dipertanyakan keabsahannya," tegas Agung. "Dan, berbahaya sekali sebuah lembaga negara yang sangat penting itu ada persoalan di dalam keabsahan proses," imbuhnya. *
Novanto tunjuk politisi Golkar lainnya, Aziz Syamsudin, menggantikan posisinya sebagai Ketua DPR. Kontan, penunjukan ini menuai kecaman di internal Golkar.
Pengunduran diri Novanto sebagai Ketua DPR dituangkan melalui surat. Hal ini juga diakui Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS, Fahri Hamzah, sebagaimana di-kutip detikcom, Minggu (10/12). Menurut Fahri, pihaknya masih menunggu secara fisik surat resmi dari Novanto tersebut.
Ini untuk kali kedua Novanto mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Sebe-lumnya, Novanto sempat mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR pada 2015 lalu saat terjerat kasus 'papa minta saham'. Saat itu, dia dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke MKD atas dugaan mencatut nama Presiden Jokowi dan JK terkait saham di PT Freeport. Novanto kemudian digantikan Ade Komarudin.
Setelah terbebas dari kasus papa minta saham, Novanto kembali naik jadi Ketua DPR, hingga otomatis melengserkan Ade Komarudin. Kini, setahun pasca naik lagi mengantikan Ade, Novanto kembali undur diri dari jabatan Ketua DPR akibat kasus megakorupsi proyek e-KTP. Novanto tunjuk Aziz Syuamsudin sebagai Ketua DPR. Sebelumnya, Novanto juga telah mundur dari jabatan Ketua Umum DPP Golkar dengan menunjuk Sekjen Idrus Marham sebagai Plt.
Keputusan Novanto tunjuk Aziz sebagai Ketua DPR ini menuai kecaman di internal Golkar. Wasekjen DPP Golkar, Ace Hasan Syadzily, menilai sikap cacat prosedur. "Sebenarnya, boleh-boleh saja Pak SN (Setya Novanto) mengusulkan Pak Aziz, sama halnya dengan kader-kader Golkar lainnya. Tapi, usulan tersebut harus dibawa dan dibahas ke dalam Rapat Pleno DPP Golkar," kritik Ace, Minggu kemarin.
Ace juga mengingatkan kembali soal keputusan Rapat Pleno Golkar, 20 November 2017 lalu. Keputusan yang dimaksud adalah bahwa pengangkatan Ketua DPR dibicarakan setelah praperadilan dan dalam forum Rapat Pleno. "Oleh karena penunjukan itu cacat prosedur dan organisatoris, maka sebaiknya diabaikan saja terutama oleh fraksi partai lain dan Pimpinan DPR lainnya," tegas Ace.
Sementara, calon Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto juga menyoroti langkah Novanto yang menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai Ketua DPR. Menurut Airlangga, langkah Novanto itu di luar jalur. Airlangga mengatakan, Rapat Pleno Golkar sudah menyepakati mekanisme pengambilan keputusan pasca Novanto ditahan KPK. Keputusan harus lebih dahulu dibahas oleh Plt Ketua Umum dengan Ketua Harian dan para Koordinator Bidang.
"Dengan demikian, maka apabila belum melalui proses tersebut dan sampai hari ini belum ada Rapat Pleno DPP yang menunjuk Alat Kelengkapan Dewan, maka tentu ini berproses di luar jalur,” tandas Airlangga. Golkar sendiri baru akan me-ngadakan rapat pleno, Senin (11/12) ini. Namun, kata Airlangga, tidak ada agenda soal pengunduran diri Novanto dan penunjukkan Ketua DPR baru.
Menurut Airlangga, penunjukkan Ketua DPR baru seharusnya dilakukan setelah Munaslub Golkar. Dia juga menilai proses ini tidak sesuai dengan mekanisme di DPR. "Tentu wajarnya itu sesudah Munas Luar Biasa (Munaslub). Kalau itu ma-suk di agenda yang tiba-tiba, tentu tidak sesuai juga dengan mekanisme yang biasa berlaku di DPR. Ingat, DPR adalah lembaga tinggi negara. Wibawa kelembagaan ini jangan dikooptasi oleh keputusan yang sifatnya dadakan."
Paparan senada juga disampaikan Ketua Dewan Pakar Golkar, Agung Laksono. Menurut Agung, sebaiknya Ketua DPR dipilih usai Munaslub. Dengan demikian, keputusan itu memiliki keabsahan. "Lebih baik kami nantikan habis Munaslub, agar ada kepemimpinan yang legitimate biar lebih memudahkan dalam pelaksa-naan," ujar mantan Ketua DPR 2004-2009 ini.
Agung khawatir dengan langkah Novanto yang secara sepihak menunjuk Aziz jadi Ketua DPR, bisa-bisa keputusan itu belakangan dipertanyakan. "Mengingat Ketua Umum Partai Golkar yang sekarang adalah Plt statusnya, maka kami khawatirkan kalau ambil putusan strategis, nanti akan dipertanyakan keabsahannya," tegas Agung. "Dan, berbahaya sekali sebuah lembaga negara yang sangat penting itu ada persoalan di dalam keabsahan proses," imbuhnya. *
Komentar