nusabali

Bocah SD Luka Bakar Parah

  • www.nusabali.com-bocah-sd-luka-bakar-parah

Orang tua korban meminta pihak SD Lab Undiksha memiliki rasa tanggung jawab terhadap anak didiknya terutama pengawasan anak.

Peristiwa saat Sembahyang di Sekolah


DENPASAR, NusaBali
I Putu Parwata, 44, masih tidak menyangka dengan kondisi anaknya mengalami luka bakar parah. Sudah lebih tiga minggu putra bungsunya, I Ketut Wira Sapta Adi, 6, bocah kelas I SD Lab Undiksha Singaraja harus dirawat di ruang Burn Unit khusus luka bakar di RSUP Sanglah, Denpasar, sejak 22 November lalu.

Pada usianya yang masih sangat belia, bocah kecil asal Desa Kerobokan, Sawan, Buleleng itu harus menanggung beban berat. Dia mengalami luka bakar sekitar 20 persen dengan kedua paha bagian dalam mengalami luka bakar hingga grade III, dimana luka bakar sampai menembus seluruh lapisan dermis dan lapisan yang lebih dalam. Tidak saja di paha, luka bakar grade III juga sampai pada betis kanannya. Sementara ketiak kanan serta perut kanannya juga mengalami luka bakar, namun hanya grade II.

Parwata menunjukkan beberapa foto perawatan bocah Wira Sapta kepada NusaBali. Kondisinya memang sangat memprihatinkan. Kondisi seluruh paha bagian dalam dari bocah mungil itu berwarna merah, persis seperti terpanggang hebat. Parwata mengaku terguncang batinnya dengan kejadian ini. Dia mengaku tidak kuat, karena sehari-hari dia hanya bisa menangis melihat buah hatinya menangis menahan sakit.

“Saya setiap malam hampir tidak dapat tidur. Melihat anak nangis saya ikut nangis. Sakit yang dirasakannya itu seperti saya ikut rasakan juga. Terkadang jika sakitnya mereda, dia bisa tersenyum dan tertawa,” tutur Parwata di ruang tunggu burn unit luka bakar RSUP Sanglah, Senin (11/12).

Bocah mungil itu sampai-sampai harus menjalani operasi skin graft atau pencangkokan kulit terhadap luka bakar grade III. Selama ini sudah dilakukan tindakan skin graft selama dua kali.

Selama perawatan, bocah ini tidak bisa dengan leluasa menggerakkan badannya. Sebab ketika bergerak sedikit saja, dia akan merasakan sakit luar biasa. “Orang tua mana yang tidak sakit melihat anaknya seperti ini. Jujur saya sangat terluka secara psikologis dengan kejadian anak saya ini,” lirihnya.

Parwata menceritakan, anaknya sampai mengalami kejadian mengerikan itu sebulan lalu di sekolahnya di SD Lab Undiksha Singaraja. Peristiwa itu terjadi tepatnya saat perayaan Tilem yang jatuh Sabtu, 18 November 2017.  Anak-anak SD kelas I waktu itu tanpa pendampingan guru dan dibiarkan sembahyang secara mandiri.

Kala itu, salah satu teman anaknya membakar plastik bekas tempat canang. Perlahan plastik itu disulut sambil dipegang hingga tangannya panas. Secara refleks, anak yang membakar sampah plastik itu langsung melempar plastik tersebut dan mengenai kamen anaknya, Wira Sapta. Sontak, api langsung menyambar kamen anaknya.

Tidak ada guru-guru SD yang berupaya segera menyelamatkannya. Beruntung ada guru TK yang memang satu areal dengan sekolah SD hingga SMA Lab Undiksha segera melakukan pertolongan. Menurut informasi yang didapat Parwata dari guru TK, anaknya saat itu terbakar cukup lama. Guru TK itu mengambil udeng (ikat kepala) anak-anak untuk memukul api yang ada di tubuh Wira Sapta. Kamennya juga ingin ditarik, namun sayang kala itu Wira Sapta memakai kamen jadi sehingga sulit untuk dilepas. Beberapa saat setelahnya, seorang staf Yayasan Lab Undiksha yang melihat kejadian itu langsung menyemprotkan air dari selang penyiram tanaman.

Mendengar kejadian tersebut, hati Parwata langsung tersentak. Ketika kejadian, anaknya langsung dilarikan ke RS Kerta Husada untuk mendapatkan pertolongan. Selama di RS tersebut, kata Parwata, para guru SD datang secara personal menyampaikan keprihatinannya. Kepala SD Lab Undiksha juga datang menyampaikan permohonan maaf atas keadian tersebut. Terlebih guru-gurunya tidak ada yang memberikan pertolongan kepada anaknya.

“Kepala sekolah yang bilang, ‘Pak kami mohon maaf atas kejadian ini. Kami prihatin. Kami merasa sedih, sebab mengapa saat kejadian semua guru tidak bisa mengantisipasi bertindak cepat agar yang dialami tidak meluas. Semua guru seperti terhipnotis.’ Kata kepala sekolah gitu,” cerita Parwata.

“Direktur Lab Undiksha juga sempat menjenguk, hanya bilang nggak menyangka separah ini. Saat kejadian beliau tidak ada disitu. Ngakunya ada tugas ke Denpasar. Dari Ketua Yayasan ada juga menjenguk, tapi diwakilkan oleh tiga orang stafnya. Waktu itu diberikan bantuan sebanyak satu juta,” katanya.

Namun setelah empat hari dirawat di RS Kerta Husada, Wira Sapta harus dirujuk ke RSUP Sanglah. Sejak di RS Sanglah, pihak sekolah seolah lepas tangan, tidak lagi menjalin komunikasi dengan Parwata selaku ayah korban. Padahal kasus anaknya terjadi di sekolah, dan seharusnya menjadi tanggung jawab sekolah.

“Tidak ada pembicaraan yang khusus dengan saya tentang kasus ini. Hanya sebatas prihatin. Hampir tidak ada pihak sekolah menjenguk ke sini. Komunikasi pun hampir tidak ada. Cuma wali kelasnya saja yang kadang-kadang tanya keadaan Ketut. Itupun seminggu sekali,” katanya.

“Pihak sekolah tidak tahu bagaimana beratnya beban psikologis anak saya. Termasuk saya sebagai orang tuanya yang harus mendampinginya. Saya bukan mempermasalahkan uang satu juta, tetapi bagaimana bentuk tanggung jawab dan komunikasi sekolah dengan korban jika terjadi masalah di sekolahnya,” beber Parwata.

Bahkan orang tua pelaku juga sepertinya tidak berniat menjenguk anaknya ke RS Sanglah. Awalnya menurut Parwata, orang tua itu berjanji akan menjenguk hari Minggu setelah dirujuk hari Rabu, namun orang tua pelaku beralasan sibuk. “Setelah itu, dia sempat bilang mau jenguk setelah ulangan umum. Tapi ulangan umum sudah selesai waktu ini. Nyatanya tidak datang menjenguk juga. Saya tidak menuntut orang tua pelaku sih, karena anaknya juga anak kecil dan belum tahu apa-apa. Tapi minimal ada empati lah dengan kejadian ini,” imbuhnya.

Parwata mengaku kecewa karena kurangnya pengawasan dari sekolah hingga berbuntut anaknya sendiri sebagai korban. Menurutnya, anak-anak yang masih kelas I mestinya mendapatkan pengawasan yang lebih, mengingat mereka polos dan belum tahu mana yang berbahaya mana yang tidak. Apalagi SD Lab Undiksha memiliki akreditasi yang cukup baik. “Jangankan sembahyang, bermain pun harusnya diawasi. Kalau begini, orang tua kan jadi mikir, sudah bayar mahal tapi tanpa pengawasan seperti ini,” kata Parwata yang mengaku bekerja sebagai pegawai di Undiksha.

Parwata pun meminta pihak sekolah memiliki rasa tanggung jawab terhadap anak didiknya terutama pengawasan anak. “Ke depan paling tidak ada perbaikan terhadap pengawasan. Agar yang dibayar orang tua siswa seimbang dengan yang diterima,” tandasnya. *ind

Komentar