Dirut Bantah Tuduhan Dokter
Dirut RSUD Buleleng dr Gede Wiartana kembali menegaskan tidak ada permasalahan seperti yang dituduhan oleh para dokter fungsional.
Soal Kegaduhan di RSUD Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Sebaliknya tuduhan itu dianggap terlalu berlebihan dan provokatif. “Saya rasa hanya beberapa dokter saja yang membuat gaduh, kalau yang lainnya mungkin hanya ikut-ikutan dan tidak tahu persis akar permasalahan yang sesungguhnya,” ungkap Wiartana kepada awak media usai mengikuti rapat dengar pendapat dengan Panja DPRD Buleleng terkait dengan LHP BPK, Rabu (13/12) di Gedung DPRD Buleleng, Jalan Veteran Singaraja.
Wiartana mengungkapkan, masalah stok obat yang dikatakan kosong tidak seluruhnya benar. Karena stok obat yang kosong itu akibat pihak distributor obat tidak mengirim obat sesuai pesanan.
Dijelaskan, pemesanan obat selalu dilakukan sebelum stok obat habis. Bahkan pesanan selalu melebihi stok yang ada. Dalam pemesanan itu, sesuai regulasi harus menggunakan e-katalog. Dengan regulasi itu, pemesanan obat hanya dapat dilakukan terhadap salah satu perusahaan. Sehingga ketika pihak perusahaan kehabisan stok, maka pesanan obat juga terlambat dikirim pihak perusahaan.
“Ini hampir terjadi disemua rumah sakit. Kalau dulu sebelum penggunaan e-katalog, pesanan obat bisa bebas dilakukan terhadap banyak distributor. Tetapi sekarang, harus dengan satu perusahaan. Kalau diluar itu, kita yang salah nanti, dan bisa jadi temuan. Tetapi kita sudah siapkan obat-obat lain yang memiliki dosis dan pemanfaatan yang sama sebagai pengganti,” katanya.
Demikian juga dengan pemberian izin-izin untuk menambah wawasan para dokter. Wiartana menegaskan, izin mengikuti seminar atau pendidikan lainnya bagi para dokter diberikan secara selektif dengan memperhatikan pelayanan kesehatan masyarakat. Karena jika semua dokter dengan spesialis yang sama diberikan izin, dikhawatirkan mengganggu pelayanan di rumah sakit.
“Misalnya ada dua dokter spesialis, nah kalau keduanya kami berikan izin, lantas bagaimana dengan pelayanan. Memang menambah wawasan itu menjadi keharusan bagi para dokter, tidak benar kami menghabat izin itu. Ya kami ingin satu persatu dong, toh tiap tahun itu akan ada seminar atau kegiatan pendidikan lainnya,” jelas Wiartana.
Sedangkan terkait dengan alat kesehatan (alkes) yang disebutkan banyak yang rusak, Wiartana menyatakan, tidak seluruhnya benar. Karena terhadap alkes yang masih rusak karena aset tersebut merupakan bantuan yang belum dihibahkan. Pengadaan alkes tersebut melalui dana Tugas Pembangunan (TP) pada tahun 2014. Sehingga perbaikan alkes tersebut tidak bisa dilakukan pihak rumah sakit. “Terhadap alkes lain, kami punya tim instalasi pemeliharaan sarana rumah sakit (IPSRS) yang sangat resposif, ketika ada kerusakan-kerusakan alkes mereka cepat memperbaiki. Ketika tidak bisa diperbaiki, IPSRS ini akan mencarikan teknisinya di luar,” ungkapnya.
Mengenai tuduhan arogan dalam penempatan personel, Wiartana menyebut penempatan personel apalagi pada tempat yang strategis tidak bisa dilihat dari sisi kompetensi saja. Penempatan itu harus melihat dari sisi komitmen dan kedisiplinan yang bersangkutan. “Banyak yang berkompeten, tapi kita tidak bisa melihat itu saja. Walaupun berkompeten, tapi kalau malas tidak bertanggungjawab, apa bisa kita tempatkan. Intinya kita menempatkan personel tentu harapannya agar menjadi lebih baik, apalagi ini menyangkut pelayanan, tidak mungkin kita menempatkan personil arahnya untuk yang tidak baik,” tandasnya.
Sebelumnya para dokter fungsional mengungkap pelanggaran yang dilakukan oleh Direksi RSUD Buleleng. Dugaan pelanggaran menyangkut standar operasional prosedur (SOP) medik, dimana disebutkan Direktur Utama (Dirut) RSUD Buleleng dr Gede Wiartana melalaikan koordinasi masalah prosedur medis yang memiliki urgensi tinggi.
Dalam surat itu disebutkan menyangkut kosongnya stok obat-obatan yang seharusnya tersedia untuk pasien. Obat-obatan yang dimaksud meliputi obat antibiotik, obat hipertensi, analgetik, kalcium, anti kejang, dan lainnya.
Kemudian poin kedua disebutkan, jika menejemen tidak merespon laporan mengenai kerusakan alat-alat medis yang berdampak pada tidak optimalnya pelayananan kesehatan pada pasien. Pada kasus ini Dirut Gede Wiartana dituding justru hanya menyarankan untuk merujuk pasien yang bersangkutan ke rumah sakit swasta terdekat.
Aat-alat medis yang dimaksud rusak seperti alat Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), alat-alat Neonatal Intensive Care Unit (NICU), Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) yang sudah dua tahun rusak namun tidak diperbaiki, alat rontgen atau RO portable hingga mikroskop yang selama empat tahun tidak terealisasi. Alat-alat Tenggorokan Hidung Telinga (THT) yang tidak tersedia dan kerusakan alat Endoskopi hingga dua tahun. Para dokter juga dituding arogan dalam menempatkan personel. *k19
1
Komentar