Ke Gereja Berbusana Adat Bali, Ada Tradisi Nampah dan Ngejot
Umat Kristiani di Desa Pakraman Piling, Kecamatan Penebel, Tabanan
TABANAN, NusaBali
Perayaan Natal di Desa Pakraman Piling, Desa Mangesta, Kecamatan Penebel, Tabanan, seperti layaknya umat Hindu melaksanakan piodalan di pura. Kemiripannya, umat Kristiani yang datang ke gereja untuk mengikuti misa Natal mengenakan pakaian adat Bali lengkap.
Ada dua gereja di Desa Pakraman Piling. Pertama Gereja Katolik St Mikael di Banjar Piling Tengah dan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Immanuel di Banjar Piling Kawan, Desa Mangesta, Kecamatan Penebel. Desain interior dan eksterior dua gereja di kaki Gunung Batu Karu ini hiasannya lengkap berisi ukiran Bali, pun ada penjor dan umbul-umbul yang terpasang di depan gereja. Sehingga suasana Bali amat kental.
Ketua Dewan Gereja Katolik Stasi Santo Mikael Piling Yosef Ketut Subadi, 45, menjelaskan, umat mengenakan pakaian adat Bali merupakan tradisi leluhur yang pantang untuk ditinggalkan. Terlebih lagi leluhur mereka merupakan warga asli lokal Desa Pakraman Piling.
“Dari dulu sudah tradisi memakai pakaian adat Bali, baik saat Natal maupun perayaan Paskah, supaya nuansa Bali tidak dihilangkan,” ujarnya, Senin (25/12).
Dijelaskannya, sebelum Natal seluruh umat melaksanakan pembersihan dan menghias gereja menggunakan tamiang atapun penjor. Dan pada H-1 Hari Natal, umat Kristiani juga memotong babi atau ayam dan buat lawar. “Setiap tahun seperti ini, membuat berbagai macam olahan, seperti lawar, anyang, dan lainnya,” jelasnya.
Umat Kristiani juga menggelar tradisi ngejot ke krama Hindu. Hal ini sebagai wujud kerukunan umat beragama. Sebab ketika krama Hindu merayakan Hari Raya Galungan mereka juga melakukan tradisi ngejot. Ngejot adalah memberikan/mengantarkan makanan yang dibuat di masing-masing keluarga kepada umat lain.
Subadi menambahkan, umat Hindu, Kristen, dan Islam di Desa Pakraman Piling selalu berjalan harmonis. Setiap ada upacara kematian ketiga umat ini selalu saling bantu dalam mempersiapkan upacara.
Begitu sebaliknya ketika umat Hindu menggelar upacara piodalan di pura, umat Kristen dan Islam ikut membuat upakara. “Bahkan ketua suka duka ada dari umat Kristen sudah saling membaur dan tidak ada masalah,” tambah Subadi. *d
Perayaan Natal di Desa Pakraman Piling, Desa Mangesta, Kecamatan Penebel, Tabanan, seperti layaknya umat Hindu melaksanakan piodalan di pura. Kemiripannya, umat Kristiani yang datang ke gereja untuk mengikuti misa Natal mengenakan pakaian adat Bali lengkap.
Ada dua gereja di Desa Pakraman Piling. Pertama Gereja Katolik St Mikael di Banjar Piling Tengah dan Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Immanuel di Banjar Piling Kawan, Desa Mangesta, Kecamatan Penebel. Desain interior dan eksterior dua gereja di kaki Gunung Batu Karu ini hiasannya lengkap berisi ukiran Bali, pun ada penjor dan umbul-umbul yang terpasang di depan gereja. Sehingga suasana Bali amat kental.
Ketua Dewan Gereja Katolik Stasi Santo Mikael Piling Yosef Ketut Subadi, 45, menjelaskan, umat mengenakan pakaian adat Bali merupakan tradisi leluhur yang pantang untuk ditinggalkan. Terlebih lagi leluhur mereka merupakan warga asli lokal Desa Pakraman Piling.
“Dari dulu sudah tradisi memakai pakaian adat Bali, baik saat Natal maupun perayaan Paskah, supaya nuansa Bali tidak dihilangkan,” ujarnya, Senin (25/12).
Dijelaskannya, sebelum Natal seluruh umat melaksanakan pembersihan dan menghias gereja menggunakan tamiang atapun penjor. Dan pada H-1 Hari Natal, umat Kristiani juga memotong babi atau ayam dan buat lawar. “Setiap tahun seperti ini, membuat berbagai macam olahan, seperti lawar, anyang, dan lainnya,” jelasnya.
Umat Kristiani juga menggelar tradisi ngejot ke krama Hindu. Hal ini sebagai wujud kerukunan umat beragama. Sebab ketika krama Hindu merayakan Hari Raya Galungan mereka juga melakukan tradisi ngejot. Ngejot adalah memberikan/mengantarkan makanan yang dibuat di masing-masing keluarga kepada umat lain.
Subadi menambahkan, umat Hindu, Kristen, dan Islam di Desa Pakraman Piling selalu berjalan harmonis. Setiap ada upacara kematian ketiga umat ini selalu saling bantu dalam mempersiapkan upacara.
Begitu sebaliknya ketika umat Hindu menggelar upacara piodalan di pura, umat Kristen dan Islam ikut membuat upakara. “Bahkan ketua suka duka ada dari umat Kristen sudah saling membaur dan tidak ada masalah,” tambah Subadi. *d
1
Komentar