Gunung Agung Menguatkan Kualitas Penyamabrayaan
Menjelang akhir tahun 2017, Bali dihentakkan oleh bencana erupsi Gunung Agung di Karangasem.
Bencana ini tentu membuahkan pelbagai cerita, mulai dari kisah Toh Langkir (Gunung Agung) masa silam, lenyapnya materi, ketar-ketir pariwisata Bali, hingga ujian hidup manusia Bali.
Di antara pelbagai jenis dampak erupsi AgungAgung, ujian rasa kemanusiaan dan kegotongroyongan relatif banyak menyita perhatian. Sebab, letusan Toh Langkir di masa-masa silam termasuk tahun 1963, dan mungkin nanti, pasti membuahkan catatan hitam bagi krama Bali. Perangai Gunung Agung sulit ditebak, oleh para ahli gunung api sekalipun. Sulit ditebak, kapan Gunung Agung akan meletus sempurna, sampai kapan ratusan ribu krama Karangasem tidak lagi tersiksa karena kehilangan kerja dan hidup layak.
Terlepas dari semua itu, bencana erupsi Gunung Agung telah dan akan menguji rasa kemanusiaan banyak pihak. Kajian ini penting, karena era globalisasi kini terus membonceng kehidupan materialistik dan pragmatis. Sifat ini menjadikan manusia ke depan makin individualistis (mementingkan diri-sendiri), namun miskin kepribadian. Maka, wajar para sosiolog di zaman now meragukan kualitas kekentalan sifat gotong royong, sebagaimana diagung-agungkan orang timur, termasuk krama Bali.
Orang Bali boleh merasa dan ‘dianggap’ kental dengan kehidupan panyamabrayaan (persaudaraan) dengan dalil sosial salunglulung sabayantara, paras-paros sarpanaya, asah-asih lan asuh. Namun, praktiknya sulit sepadan dengan dalil tersebut. Perubahan dahsyat sifat panyamabrayaan orang Bali menjadi individualistis, tampak dari pelbagai jenis kerja adat dan keagamaan. Krama Bali kini tergerak untuk bergotong royong, karena memenuhi tuntutan tedun makrama (ikut turun kerja bhakti karena sebagai krama banjar/desa adat). Hal ini diperkuat oleh suaran kulkul (bunyi kentongan banjar). Mereka takut melawan awig-awig, takut pula kasepekang (dikucilkan) baik secara fisik maupun mental.
Namun, masih kuatkah sifat panyamabrayaan dan kegotongroyongan itu jika tanpa suaran kulkul dan arah-arahan (pemberitahuan) dari pihak banjar atau desa adat? Jika ‘ketakutan’ pada keadatan itu yang jadi penyebab, maka tudingan tentang kualitas panyamabrayaan di Bali sudah luntur, tentu ada benarnya.
Karena prinsip dasar panyamabrayaan muncul dari kedalaman hati, dilandasi karakter sifat iklhas, jujur, luhur, tanpa pamerih demi menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, mempraktikkan panyabrayaaan tidak pantas karena adanya ‘tekanan’ sosial, melainkan muncul dari sanubari yang menjungjung tinggi martabat kemanusiaan.
Pada posisi itulah, letusan Gunung Agung ini telah menumbuhkan peradabaan baru bagi krama Bali. Karena bencana gunung ini secara langsung telah menyadarkan dan menguatkan krama Bali untuk eling dalam merevitalisasi (menguatkan daya) nilai-nilai kemanusiaan, agar lebih luhur dan hakiki. Hal ini setidaknya tergambar dari semangat krama berbondong-bondong membantu pengungsi, menyediakan ruang atau kamar untuk mengamankan diri.
Teramat banyak pula pribadi atau pelbagai komunitas menyumbangkan pikiran, bahan kebutuhan, bahkan uang. Semua itu dilakukan tanpa syarat. Artinya, mereka bertindak atas nama kemanusian, tanpa perintah suaran kulkul. Mereka tak peduli apakah yang dibantu itu dari soroh mana atau berprofesi sebagai apa? Karena alasan mendasarnya, tak boleh ada manusia tersiksa di bumi ini, terlebih akibat bencana.
Namun, mempraktikkan nilai-nilai panyamabrayaan itu tentu tak selamanya mulus. Karena manusia umumnya adalah makhluk sempurna (punya idep atau akal). Tak jarang manusia punya ‘kepentingaan sampingan’ atau tujuan lain di balik tindakannya. Maka, diakui atau tidak, tak sedikit krama mempraktikkan panyamabrayaan dengan mendatangi posko-posko pengungsian bermuatan kepentingan tambahan. Jika bukan berpromosi diri atau produk, bisa kontestasi (cari panggung), hingga menyenang-nyenangkan diri lewat berfoto selfie. *
---PROYEKSI 2018 Bidang SOSIAL
I Nyoman Wilasa
-----------------------------
Wartawan NusaBali
Komentar