Menanti Pariwisata Dalam Bencana
Bali sedang menangis dan ketakutan akan kehilangan. Kehilangan yang paling ditakuti adalah menurunnya kunjungan wisatawan manca negara (wisman) maupun wisatawan domestik (wisdom).
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Seakan Bali sudah tidak percaya pada kekuatan dirinya. Kemampuan dirinya mulai rapuh. Perasaan tidak mampu, semacam inferior complex sering menggelayut di ruang kehidupan Bali. Kebingungan merebak di kala ada bencana yang mengguyur. Saat ini, gunung tertinggi di Bali, Gunung Agung sedang erupsi. Banyak wisatawan mengubah rencana dari Bali ke lain alamat. Belum lagi guncangan karena narkoba. Bencana ini adalah ulah manusia semata. Bali semakin tidak berdaya, pariwisatanya lumpuh dan manusianya mengungsi.
Bali semakin terasa tergantung pada pariwisata. Bila kunjungan wisdom dan wisman banyak, Bali menjadi sumringah. Sajian materi berlebihan ditebar sebagai pesona. Sebaliknya, bila terjadi penurunan sedikit, ia akan cemberut sedih, tidak percaya diri, tidak yakin akan kekuatan dirinya. Ini adalah penyakit budaya. Suatu perasaan tak mampu, tak berdaya atau sejenisnya. Bali sudah terjebak dalam suatu jeratan materi. Ia terlalu mengandalkan hal-hal duniawi. Orang bijak menyebutnya over indulgence in senses, tidak percaya pada kekuatan diri lagi. Sesungguhnya, kekuatan diri Bali terletak pada keadiluhungan spiritualitasnya. Bukan materialitas yang membuat Bali kesohor. Tetapi, Bali kini disibukkan dengan eksploitasi alam yang asri untuk kepentingan pariwisata belaka. Rekayasa fisik sudah sangat mengancam eksistensi spirit mendasar. Sinyal-sinyal kehidupan diterima hanya yang berasal dari luar. Sedangkan, sinyal-sinyal dari dalam dirinya sering diabaikan.
Sesungguhnya, sinyal-sinyal kehidupan dari keluhuran budaya Bali selalu ada. Sinyal-sinyal itu selalu hidup, hanya saja krama Bali sering tidur atau ketiduran. Di saat tidur kadang-kadang sebagian krama terpengaruh oleh keindahan duniawi. Kealfaan terhadap diri menyebabkan kita berhubungan dengan dunia di luar diri. Kita lebih percaya pada dunia empiri. Ada sampah di mana-mana, bau pesing di mana-mana. Tetapi, karena tidak terlihat oleh mata dan tidak tercium oleh hidung, kita mengira keduanya itu tidak ada. Di saat wisdom dan wisman banyak, bencana budaya dianggap tidak ada. Kenapa? Karena kita tidak dapat bersaksi dengan panca indera. Tetapi, ketika ada orang tertinfeksi HIV/AIDS, baru kita gelisah. Bahkan, ketakutan amat sangat menyusup dalam diri setiap krama. Apakah bencana itu tidak berjangkit pada yang lainnya?
Kerusakan fisik di luar diri mudah diperbaiki. Baju yang kotor bisa dicuci. Atap bocor, panggil tukang untuk memperbaiki. Mobil yang mogok bisa dibawa ke bengkel. Sampah bertumpuk, panggil petugas kebersihan dan beri imbalan untuk jerih payahnya. Sangat sederhana pemecahannya, tidak melibatkan konsep tata kelola batiniah. Tetapi, bila desa, kala, dan patrum Bali terusik, bagaimana solusinya? Apa bisa memanggil bengkel budaya? Apa bisa tukang pateri sosial didatangkan? Apa mumpuni mendatangkan pedharmawacana kesohor? Tidak mudah membersihkan jiwa. Kebudayaan adalah jiwa krama Bali. Toko besar dan megah, hotel luas bagai istana, ketenaran, kedudukan, dan harta duniawi adalah tambahan. Di masa silam, Bali tidak memiliki semua itu, tetapi ia eksis. Eksistensi tidak terbantahkan, dan bahkan memiliki keberlanjutan. Saat ini, Bali memiliki ‘aset’ materi berlimpah, tetapi justru eksistensinya diragukan dan sedang terguncang.
Krama Bali harus benar-benar memahami roh kebudayaannya yang sejati. Mereka harus konsisten pada jati diri. Roh lain di luar dirinya hanyalah roh kesasar. Jiwa yang asing akan membuahkan bencana pada diri. Eksistensi kebudayaan Bali hanya bergantung pada diri krama Bali. Bukan oleh wisdom atau wisman. Mau eksis atau tidak, kita sendiri yang menentukan. Mau eksis sebagai pengemis budaya atau eksis sebagai suku berdaulat adalah pilihan kita. Orang lain tidak berhak membuat pilihan untuk kita. Renungkan dan camkan itu baik-baik, jangan salah melangkah dan bila salah pasti akan kesandung. Semoga. *
Seakan Bali sudah tidak percaya pada kekuatan dirinya. Kemampuan dirinya mulai rapuh. Perasaan tidak mampu, semacam inferior complex sering menggelayut di ruang kehidupan Bali. Kebingungan merebak di kala ada bencana yang mengguyur. Saat ini, gunung tertinggi di Bali, Gunung Agung sedang erupsi. Banyak wisatawan mengubah rencana dari Bali ke lain alamat. Belum lagi guncangan karena narkoba. Bencana ini adalah ulah manusia semata. Bali semakin tidak berdaya, pariwisatanya lumpuh dan manusianya mengungsi.
Bali semakin terasa tergantung pada pariwisata. Bila kunjungan wisdom dan wisman banyak, Bali menjadi sumringah. Sajian materi berlebihan ditebar sebagai pesona. Sebaliknya, bila terjadi penurunan sedikit, ia akan cemberut sedih, tidak percaya diri, tidak yakin akan kekuatan dirinya. Ini adalah penyakit budaya. Suatu perasaan tak mampu, tak berdaya atau sejenisnya. Bali sudah terjebak dalam suatu jeratan materi. Ia terlalu mengandalkan hal-hal duniawi. Orang bijak menyebutnya over indulgence in senses, tidak percaya pada kekuatan diri lagi. Sesungguhnya, kekuatan diri Bali terletak pada keadiluhungan spiritualitasnya. Bukan materialitas yang membuat Bali kesohor. Tetapi, Bali kini disibukkan dengan eksploitasi alam yang asri untuk kepentingan pariwisata belaka. Rekayasa fisik sudah sangat mengancam eksistensi spirit mendasar. Sinyal-sinyal kehidupan diterima hanya yang berasal dari luar. Sedangkan, sinyal-sinyal dari dalam dirinya sering diabaikan.
Sesungguhnya, sinyal-sinyal kehidupan dari keluhuran budaya Bali selalu ada. Sinyal-sinyal itu selalu hidup, hanya saja krama Bali sering tidur atau ketiduran. Di saat tidur kadang-kadang sebagian krama terpengaruh oleh keindahan duniawi. Kealfaan terhadap diri menyebabkan kita berhubungan dengan dunia di luar diri. Kita lebih percaya pada dunia empiri. Ada sampah di mana-mana, bau pesing di mana-mana. Tetapi, karena tidak terlihat oleh mata dan tidak tercium oleh hidung, kita mengira keduanya itu tidak ada. Di saat wisdom dan wisman banyak, bencana budaya dianggap tidak ada. Kenapa? Karena kita tidak dapat bersaksi dengan panca indera. Tetapi, ketika ada orang tertinfeksi HIV/AIDS, baru kita gelisah. Bahkan, ketakutan amat sangat menyusup dalam diri setiap krama. Apakah bencana itu tidak berjangkit pada yang lainnya?
Kerusakan fisik di luar diri mudah diperbaiki. Baju yang kotor bisa dicuci. Atap bocor, panggil tukang untuk memperbaiki. Mobil yang mogok bisa dibawa ke bengkel. Sampah bertumpuk, panggil petugas kebersihan dan beri imbalan untuk jerih payahnya. Sangat sederhana pemecahannya, tidak melibatkan konsep tata kelola batiniah. Tetapi, bila desa, kala, dan patrum Bali terusik, bagaimana solusinya? Apa bisa memanggil bengkel budaya? Apa bisa tukang pateri sosial didatangkan? Apa mumpuni mendatangkan pedharmawacana kesohor? Tidak mudah membersihkan jiwa. Kebudayaan adalah jiwa krama Bali. Toko besar dan megah, hotel luas bagai istana, ketenaran, kedudukan, dan harta duniawi adalah tambahan. Di masa silam, Bali tidak memiliki semua itu, tetapi ia eksis. Eksistensi tidak terbantahkan, dan bahkan memiliki keberlanjutan. Saat ini, Bali memiliki ‘aset’ materi berlimpah, tetapi justru eksistensinya diragukan dan sedang terguncang.
Krama Bali harus benar-benar memahami roh kebudayaannya yang sejati. Mereka harus konsisten pada jati diri. Roh lain di luar dirinya hanyalah roh kesasar. Jiwa yang asing akan membuahkan bencana pada diri. Eksistensi kebudayaan Bali hanya bergantung pada diri krama Bali. Bukan oleh wisdom atau wisman. Mau eksis atau tidak, kita sendiri yang menentukan. Mau eksis sebagai pengemis budaya atau eksis sebagai suku berdaulat adalah pilihan kita. Orang lain tidak berhak membuat pilihan untuk kita. Renungkan dan camkan itu baik-baik, jangan salah melangkah dan bila salah pasti akan kesandung. Semoga. *
1
Komentar