Sewa 8 Hektare Sawah di Pengungsian buat Bisnis Bunga Gumitir
Untuk jalankan usaha bisnis bunga gumitir yang ditanamnya pada sawah seluas 8 hektare di lokasi pengungsian Desa Negari, Klungkung, pasutri Kadek Sudiarta-Kadek Martini pekerjakan 8 KK pengungsi asal sekampung
Pasutri I Kadek Sudiarta-Ni Kadek Martini, Pengungsi Gunung Agung Asal Desa Besakih, Karangasem
SEMARAPURA, NusaBali
Pasangan suami istri (pasutri) I Kadek Sudiarta, 31, dan Ni Kadek Martini, 27, termasuk pengungsi bencana erupsi Gunung Agung yang kreatif dan tak mau menyerah dengan keadaan. Buktinya, pasutri pengungsi Gunung Agung asal Banjar Batang, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem ini berani sewa lahan sawah seluas 8 hektare di tempat pengungsiannya di Klungkung untuk menanam bunga gumitir.
Pasutri Kadek Sudiarta dan Kadek Martini sudah selama hampir 4 bulan mengungsi di Desa Negari, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, sejak Gunung Agung naik status Awas, 22 September 2017 lalu. Mereka mengungsi bersama dua anaknya yang masih kecil: Ni Luh Febriani, 10 (kini siswi Kelas IV SDN 1 Negari) dan I Kadek Ferdi, 9 (siswa Kelas II SDN 1 Negari), serta sejumlah kerabatnya.
Selain keluarga pasutri Kadek Sudiarta-Kadek Martini, ada lagi sekitar 8 kepala keluarga (KK) pengungsi asal Banjar Batang, Desa Besakih yang mengungsi di Desa Negari, Klungkung. Pengungsi berjumlah 31 jiwa dari 8 KK asal sekampung itulah yang dilibatkan pasutri Kadek Sudiarta-Kadek Martini sebagai buruh dalam menanam hingga memanen bunga gumitir di pengungsian.
Selama hampir 4 bulan berada di pengungsian, pasutri Kadek Sudiarta-Kadek Martini berhasil menyulap 8 hektare lahan sawah sewaannya menjadi kebun bunga gumitir yang indah. Saking menawannya keindahan hamparan bungan mitir tersebut, lahan sawah sewaan ini kerap dijadikan tempat selfie oleh kalangan remaja.
Pantauan NusaBali di lokasi lahan sawah sewaan, Jumat (5/1) pagi sekitar pukul 08.00 Wita, Kadek Martini tampak tengah sibuk memanen bunga gumitir bersama puluhan buruh petik yang notabene sesama pengungsi asal Banjar Batang, Desa Besakih.“Kami sudah mengungsi di sini (Desa Negari) sejak terjadi peningkatan status Gunung Agung dari level Siaga menjadi Awas. Kami mengungsi bersama 31 jiwa dari 8 KK asal sekampung,” tutur Kadek Martini.
Martini mengisahkan, saat awal mencari lokasi pengungsian, dia dan suaminya berusaha agar bisa tinggal di dekat lahan sawah. Tujuannya, agar bisa menanam bunga gimitir. Maklum, sebelum harus mengungsi, dia dan suaminya biasa bisnis bunga gumitir dengan menanam sendiri di kampung halamannya.
“Saya bersama suami sudah menekuni bisnis bunga gumitir ini sejak berada di kampung halaman. Di Desa Besakih pun kami menyewa lahan sawah untuk ditanami bunga gumitir. Kalau ditanam di areal tegalan, hasilnya kurang maksimal,” papar Martini.
Makanya, begitu berada di pengungsian, Martini dan suaminya berusaha mencari lahan sawah untuk disewa sebagai kebun bunga gumitir. “Daripada diam sambil menunggu situasi Gunung Agung kondusif, kan lebih baik beraktivitas dengan menanam gumitir,” katanya.
Setelah ketemu lokasi yang tepat di Desa Negari, kata Martini, pihaknya melakukan negosiasi dengan pemilik lahan. Ternyata, awalnya diberikan harga sewa lahan yang tidak terlalu mahal, yakni hanya Rp 30.000 per are. Kontrak sewa berlaku seumur bunga gumitir sejak tanam sampai panen, kisaran 4-5 bulan.
Awalnya, mereka hanya mengontrak lahan sawah seluas 23 are di Desa Negari. Tapi, dalam perkembangannya, lahan yang disewa terus bertambah hingga kini mencapai 8 hektare atau setara 800 are. Lahan seluas 8 hektare itu milik beberapa orang, lokasinya pun berbeda-beda di lingkup Desa Negari.
Martini mengatakan, semua pemilik lahan memberi harga sewa yang smaa, yakni Rp 30.000 per are. Harga kontrak itu berlaku untuk sekali masa tanam bunga gumitir, yang biasanya mencapai 4-5 bulan. Setelah itu, lahan tersebut kembali dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk menanam padi, karena memasuki masa cocok tanam.
Nah, agar bisa terus berkesinambungan menanam bunga gumitir, pasutyri Kadek Sudiarta-Kadek Martini pun kembali akan mencari lahan di sekitarnya untuk dikontrak. Saat ini, 5 hektare lahan sawah yang dikontraknya telah ditanami bunga gumitir. Sedangkan 3 hektare lagi sedang masa pembibitan. Perlu dicatat, bunga gumitir yang ada sebagian sudah dipanen berkali-kali.
Martini menjelaskan, selama hampir 4 bulan menanam bunga gumitir di lahan kontrakan kawasan Desa Negari, pihaknya sudah bisa menikmati hasilnya. Hanya saja, harga bunga gumitir naik-turun dengan tajam. “Kalau pas reahinan (hari baik), harga bunga gumitir mahal, bahkan bisa mencapai Rp 30.000 per kg. Namun, saat hari-hari biasa dan panen bungan gumitir melipah, harganya sempat anjlok menjadi hanya Rp 1.000 per kg,” cerita ibu dua anak ini.
Keuntungan bersih yang diperoleh per are tanaman gumitir mencapai Rp 250.000. Menurut Martini, lahan seluas 23 are yang paling awal disewa dan ditanami bungan gumitir sejak mengungsi, sudah panen hingga 20 kali. Panen dilakukan 4 kali sehari rata-rata, dengan hasilan 100 kg per panen.
Martini mengaku senang bisnis bunga gumitir di lokasi pengungsian bisa menghasilkan uang dan ikut memberikan pekerjaan kepada sesaama pengungsi. Pihaknya juga senang, karena keindahan bunga gumitir yang ditanamnya menjadi lokasi favorit untuk foto selfie kalangan remaja. “Anak-anak remaja banyak yang berfoto selfie dengan latar belakang bunga mitir ini,” ujar Martini.
Sementara itu, untuk tempat tinggal di pengungsian, menurut Martini, diberikan secara cuma-cuma oleh tuan ruamahnya yang notabene pemilik lahan yang dikontrak. Di rumah tanpa sewa itu di Desa Negari itu, Martini tinggal bersama suami, dua anak, dan sejumlah kerabatnya. *wan
Komentar