Pengungsi Mulai Pulang Kampung
Pasca diumumkan secara resmi penurunan radius bahaya erupsi Gunung Agung, pengungsi yang selama ini memondok di posko mulai pulang kampung.
GIANYAR, NusaBali
Terutama para pengungsi yang rumahnya ada di zona aman, di luar radius 6 km dari kawah Gunung Agung.Seperti di Posko Lapangan Sutasoma, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Pengungsi pun mulai pulang ke tempat asal mereka sedikit demi sedikit. Pengungsi berharap situasi gunung bisa kembali normal. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gianyar Anak Agung Gde Oka Digjaya mengatakan, semenjak ada kebijakan penurunan radius bahaya terhadap dampak gunung, mulai ada pengungsi yang kembali. “Mulai ada yang kembali, mereka ingin pulang karena melihat situasi sudah mulai aman,” terang Digjaya, Jumat (5/1).
Dikatakan Digjaya, pengungsi yang pulang kampung tetap dicatat. Nantinya, apabila dikemudian hari situasi gunung kembali bergejolak, maka pengungsi bisa datang lagi ke posko.
Menurut salah satu petugas di Posko Sutasoma, sejauh ini pengungsi ada yang bekerja di wilayah Gianyar dan banyak juga pengungsi yang izin pulang kampung. “Kalau yang pulang kampung ini, mereka akan kembali lagi. Karena rumah mereka di radius terdekat dengan gunung,” jelas Desak Sriati, salah satu petugas perempuan di posko itu.
Data di Posko Sutasoma, pengungsi kini mencapai 217 orang. Jumlah itu bisa terus menyusut seiring banyaknya pengungsi yang berniat kembali pulang. Salah satu pengungsi, Ni Wayan Leni, warga dari Jungutan, Kecamatan Bebandem, Karangasem, mengaku sudah jenuh di pengungsian. “Saya juga mau pulang, karena jenuh di sini. Kasihan anak-anak juga,” ujar Leni sambil mengerjakan pesanan kerajinan ate untuk tempat tisu di Posko Sutasoma, kemarin. Menurut dia, rumahnya berada di luar radius 6 km sehingga tidak terdampak letusan gunung.
Diakui Leni, selama berada di pengungsian yang menjadi kekhawatiran adalah perkembangan mental anak-anak pengungsi. “Saya punya anak kelas 1 SD. Kasihan dia harus adaptasi sekolah di sekolah baru Karangasem, langsung ada kabar gunung mau meletus, akhirnya saya mengungsi,” jelasnya.
Di awal Januari ini, siswa pun kembali sekolah. “Anak saya baru dua hari sekolah di SD di Sukawati (Gianyar, Red). Lagi dia adaptasi, kasihan dia. Anak-anak beda dengan orang dewasa,” jelasnya. Leni sudah dua kali mengungsi ke Posko Sutasoma. “Waktu kabar letusan pertama, saya hanya bawa dua baju. Anak yang kasihan. Lalu saya balik, lalu ada letusan lagi, akhirnya saya siapkan semua barang sampai kerajinan saya bawa,” ungkap perajin ate itu.
Dikatakan Leni, apabila dia tidak kasihan dengan anak, lebih baik tinggal di Karangasem saja. “Karena kondisi gunung tidak langsung meletus, hanya begitu-begitu saja. Ya, mudah-mudahan sih tidak meletus keras lagi,” ungkapnya.
Selama di pengungsian, Leni sendiri mengerjakan pesanan kerajinan ate (rantin rotan) berupa tempat tisu. “Ini ada yang pesan, harganya Rp 100 ribu. Ini termasuk murah karena saya kerjakan sampai 4 hari,” ujarnya. *nvi
Dikatakan Digjaya, pengungsi yang pulang kampung tetap dicatat. Nantinya, apabila dikemudian hari situasi gunung kembali bergejolak, maka pengungsi bisa datang lagi ke posko.
Menurut salah satu petugas di Posko Sutasoma, sejauh ini pengungsi ada yang bekerja di wilayah Gianyar dan banyak juga pengungsi yang izin pulang kampung. “Kalau yang pulang kampung ini, mereka akan kembali lagi. Karena rumah mereka di radius terdekat dengan gunung,” jelas Desak Sriati, salah satu petugas perempuan di posko itu.
Data di Posko Sutasoma, pengungsi kini mencapai 217 orang. Jumlah itu bisa terus menyusut seiring banyaknya pengungsi yang berniat kembali pulang. Salah satu pengungsi, Ni Wayan Leni, warga dari Jungutan, Kecamatan Bebandem, Karangasem, mengaku sudah jenuh di pengungsian. “Saya juga mau pulang, karena jenuh di sini. Kasihan anak-anak juga,” ujar Leni sambil mengerjakan pesanan kerajinan ate untuk tempat tisu di Posko Sutasoma, kemarin. Menurut dia, rumahnya berada di luar radius 6 km sehingga tidak terdampak letusan gunung.
Diakui Leni, selama berada di pengungsian yang menjadi kekhawatiran adalah perkembangan mental anak-anak pengungsi. “Saya punya anak kelas 1 SD. Kasihan dia harus adaptasi sekolah di sekolah baru Karangasem, langsung ada kabar gunung mau meletus, akhirnya saya mengungsi,” jelasnya.
Di awal Januari ini, siswa pun kembali sekolah. “Anak saya baru dua hari sekolah di SD di Sukawati (Gianyar, Red). Lagi dia adaptasi, kasihan dia. Anak-anak beda dengan orang dewasa,” jelasnya. Leni sudah dua kali mengungsi ke Posko Sutasoma. “Waktu kabar letusan pertama, saya hanya bawa dua baju. Anak yang kasihan. Lalu saya balik, lalu ada letusan lagi, akhirnya saya siapkan semua barang sampai kerajinan saya bawa,” ungkap perajin ate itu.
Dikatakan Leni, apabila dia tidak kasihan dengan anak, lebih baik tinggal di Karangasem saja. “Karena kondisi gunung tidak langsung meletus, hanya begitu-begitu saja. Ya, mudah-mudahan sih tidak meletus keras lagi,” ungkapnya.
Selama di pengungsian, Leni sendiri mengerjakan pesanan kerajinan ate (rantin rotan) berupa tempat tisu. “Ini ada yang pesan, harganya Rp 100 ribu. Ini termasuk murah karena saya kerjakan sampai 4 hari,” ujarnya. *nvi
Komentar