nusabali

Orang Bali Demo

  • www.nusabali.com-orang-bali-demo

Turun ke jalan berdemonstrasi bukan tradisi orang Bali. Tapi, tidak berarti mereka malas turun ke jalan. Bali punya beragam kesenian yang digelar di jalanan, sehingga pawai kesenian ketika pembukaan Pesta Kesenian Bali, misalnya, sangat meriah, disanjung banyak orang, mencengangkan, dan selalu dilakoni penuh semangat.

Aryantha Soethama
Pengarang
 
Boleh jadi banyak orang Bali menganggap berdemonstrasi untuk urusan politik, menentang kemapanan, mempersoalkan ketidakberesan, tidak beda jauh dengan berkesenian. Mereka melakukannya dengan tulus, dengan gembira, dan penuh penghormatan, tidak atas nama dendam, dengki atau sakit hati. Mereka turun ke jalan melakukan protes karena memang harus memprotes. Demo, seperti juga berkesenian, menjadi tanggung jawab kehidupan.

Jika disuruh memilih, turun ke jalan untuk berpawai seni atau berdemonstrasi, pasti orang Bali memilih yang pertama. Jika kemudian mereka berdemonstrasi, karena demokrasi memberi ruang dan jalan untuk itu. Di zaman kerajaan, tentu tak ada orang Bali berdemonstrasi, karena demo dianggap perlawanan, dan raja segera bersabda untuk menghukum si pelaku. Harta petani dirampas untuk bayar pajak. Tak ada demo untuk itu. Maka demonstrasi di Bali adalah aura baru. Beberapa kali demo terjadi, kecil-kecil, oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat. Demo besar-besaran dialami Bali baru dua kali: ketika Bali menentang Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) (Maret 2006), dan penolakan reklamasi Teluk Benoa, Jumat (29/1).

Demo menentang RUU APP tidak hanya terjadi di Bali, juga di daerah lain, sehingga demo itu menjadi penolakan nasional. Demo menolak reklamasi menjadi cuma milik masyarakat Bali, sehingga lebih kental, fokus, khusus, dan menghujam. Itu mungkin yang menyebabkan Wayan Lunga, seorang pensiunan PNS, datang Jumat pagi itu untuk menyaksikan demo terbesar yang terjadi di Bali, yang ia nilai sebagai gerakan massa dahsyat dalam sejarah Bali modern. Ia diantar keponakannya, mahasiswa semester dua fakultas peternakan. Berboncengan naik motor mereka datang, menyaksikan teriakan-teriakan lantang mengangkasa, tinju diacung-acungkan.

“Tahukah kamu beda demo menentang undang-undang anti-pornografi dengan demo anti-reklamasi ini?” tanya Lunga kepada keponakannya. Si keponakan melongo, kemudian menggeleng.

Lunga menjelaskan, demo menentang RUU APP itu demo yang duniawi, kalau yang kita saksikan sekarang ini demo suci,” jelas Lunga mantap. “Krama Bali sedang membela kesucian wilayah. Ini mirip dengan demo ketika area Pura Tanah Lot dijadikan resor wisata dibanguni vila.” Menurut Lunga, demo anti-resor wisata di Tanah Lot itu digerakkan mahasiswa. Mereka digebuk aparat keamanan ketika demo di depan Kantor Gubernur Jaya Sabha, diburu sampai ke ujung selatan alun-alun Puputan Badung. Kali ini, yang demo itu krama adat. Di Bali, adat selalu dikaitkan dengan kesucian, keheningan, keseimbangan, kekerabatan, gotong royong, dan kedamaian. Maka demo ini adalah upaya orang Bali mempertahankan kesucian dan perilaku arif itu.

Si keponakan tetap melongo, ia seakan mendapat petuah filsafat tentang bumi Bali dibumbui filosofi gerakan menentang kemapanan yang disponsori kapitalisme. Ia mulai berpikir, suatu ketika ia akan ikut menjadi demonstran, bergabung dengan rekan-rekan sebaya.

“Demo-demo besar di Bali punya benang merah,” ujar Lunga sambil menggamit lengan keponakannya, mengajaknya berteduh di bawah pohon akasia. “Kamu tahu apa persamaan demo-demo itu?” Si keponakan tetap diam. Kini baru ia sadari, pamannya laki-laki yang penuh idealisme, kritis, dan pendukung gerakan menentang kemapanan yang mudah menjelma menjadi kesewenangan.

Menurut Lunga, industri pariwisatalah penyebab demo-demo itu. Demo kecil acap dilakukan karyawan penginapan atau biro perjalanan. Mereka menentang kebijakan yang tidak memihak karyawan. Demo-demo besar juga menyangkut bisnis pariwisata. Demo menentang resor wisata di Tanah Lot, demo anti-reklamasi Teluk Benoa adalah demo sikap orang Bali menghadapi mega-kapitalisasi industri plesir. Demo menentang RUU APP juga. Jika undang-undang itu dijalankan dengan ketat, bule-bule yang mandi berbikini di pantai dan kolam renang bakal ditangkapi. Industri pariwisata akan terpuruk, karena tak ada bule piknik ke Bali. Itu sebabnya kurang lebih 38 grup musik menolak RUU APP menggelar konser di Kuta, awal Maret 2006.

“Kalau saja industri pariwisata tidak sehebat ini, jangan-jangan orang Bali tidak mengenal demonstrasi,” ujar si keponakan memberanikan diri. 

“Tapi, bukan di situ masalahnya,” sahut Lunga. “Demo menolak reklamasi Teluk Benoa ini harus diresapi sebagai keinginan rakyat. Jika tidak, apa bedanya pemimpin kini dengan raja-raja zaman dulu, membungkam dan menghukum rakyat yang berani melontarkan pendapat? Ini namanya pemimpin yang meniru sabda raja sebagai sabda Tuhan.”

“Untung ada demokrasi ya, sehingga kita bisa berdemonstrasi,” sahut si keponakan tersenyum.

Wayan Lunga mengelus-elus kepala keponakannya. “Kamu bisa menjadi demonstran hebat, manusia yang menjaga harkat diri, selalu ingin bebas dari belenggu kesewenangan dan kesombongan dari orang-orang yang merasa digdaya karena punya banyak duit.”
Angin berhembus semilir di bawah pohon akasia. Beratus pasang tangan demonstran terkepal terus menghantam angkasa, menentang reklamasi Teluk Benoa. Wayan Lunga terharu. 7

Komentar