Sastra Sebagai Media Pendidikan Moral
Ketika tawuran dan perkelahian antar pelajar kerap terjadi utamanya di kota-kota, masyarakat, pemerintah seakan tidak berhenti mencari faktor pemicu terjadinya tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut.
Ujung-ujungnya, seakan menjadikan dunia pendidikan sebagai kambing hitamnya. Mereka seakan lupa bahwa sebagaian besar waktu anak-anak adalah berada di tengah-tengah keluarga dan masyarakatnya. Seakan sekolahlah yang berperan utama untuk mendidik anak-anak mereka.
Krisis moral yang terjadi disikapi oleh pemerintah melalui pendidikan karakter. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan karakter tertuang pada pasal 3, yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Pendidikan di Indonesia diharapkan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, tetapi juga berkepribadian, sehingga akan lahir generasi bangsa yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernafaskan nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Tahun 2011, dijadikan oleh pemerintah sebagai peletak dasar pelaksanaan pendidikan karakter. Kurikulum sekolah dari pendidikan dasar sampai menengah diwajibkan memasukkan pendidikan karakter, yang diimplementasikan ke dalam silabus dan RPP setiap mata pelajaran di semua jenjang pendidikan.
Dengan cara seperti itu, tentu harapan pemerintah krisis moral itu bisa teratasi. Apakah langkah tersebut membuahkan hasil? Tentu masih menyisakan tanda tanya bagi kita semua. Faktanya, hingga kini krisis moral nampaknya masih saja terjadi bahkan semakin kompleks. Tawuran, pesta narkoba, seks bebas, begal yang melibatkan pelajar selalu menghiasi halaman media lokal maupun nasional. Bahkan krisis seperti itu bukan lagi monopoli perkotaan tetapi telah merambah sampai kepedesaan.
Tentu menjadi tugas kita bersama untuk menanggulangi semua itu. Peran pemerintah, mayarakat, orang tua, pendidik dan para pelajar hendaklah bersinergi untuk mengatasinya. Tindakan secara partial kuranglah bijak untuk diterapkan. Sayangnya, dari kalangan public figure yang kita harapkan menjadi panutan bagi para pelajar yang sedang mencari jati diri, justru hampir setiap hari dipertontonkan di tv tertangkap oleh aparat keamanan, baik karena terlibat kasus Narkoba, korupsi, atau tindakan pelanggaran hukum lainnya.
Kita semua menyadari bahwa pada dasarnya peserta didik (pelajar) hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter peserta didik dapat dilakukan dalam lingkungan sosial budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Bertolak dari pemahaman ini, krisis moral dapat diatasi melalui pengajaran sastra yang berdimensi moral. Pengajaran sastra erat kaitanya dengan kehidupan bahasa dan budaya. Pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya satra. Apresiasi sastra berkaitan erat dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Sastra memberikan peluang kepada peserta didik selaku pembaca untuk menjadikannya sumber moral.
Sejatinya pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai penanaman nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral, seperti kecintaan terhadap Tuhan, kejujuran, disiplin, toleransi, kedamaian, mandiri, tolong-menolong, kerja sama, gotong-royong, hormat, sopan-santun, tanggung-jawab, kerja keras,kepemimpinan, keadilan,kreatif, rendah hati, peduli lingkungan, serta cinta bangsa dan tanah air banyak ditemukan dalam karya sastra. Peserta didik (pelajar) tidak hanya terlatih untuk membaca saja tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai dalam sebuah karya sastra. Dengan membaca karya sastra diharapkan sejumlah nilai-nilai moral dapat dipahami, serta ditiru dan diterapkan dalam kehidupan nyata peserta didik, baik di sekolah, rumah, maupun di masyarakat. Peran pendidik mesti mampu mengkondisikan lingkungan belajar siswa dengan baik melalui media sastra. Karya sastra yang paling berperan sebagai media pembelajaran moral adalah; dongeng, cerpen, novel, puisi, dan drama.
Moral yang dimaksud selalu berkaitan dengan hal yang berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik. Moral berkaitan dengan masalah baik buruk, istilah moral itu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang baik. Nurgiyantoro (1995) menyatakan bahwa moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan tentang nilai-nilai benenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca.
Ketika dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah akademik semata, pembelajaran sastra yang merupakan bagian dari mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diberikan di sekolah, ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Dalam hai ini sastra bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan pendidikan moral. Sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa peserta didik kea rah pembelajaran moral. Selain mengandung keindahan, sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca.
Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan, keikhlsan, dan lain sebagainya, yang berhubungan dengan pendidikan karakter, bisa kita terapkan kepada peserta didik melalui sastra. Ragam sastra yang ada mulai berbentuk audio ( sastra lisan; dongeng, cerita rakyat, fable, dll.) visual (sastra tulis; puisi, cerpen, novel, dll.) sampai yang berbentuk audio-visual (film, sinetron, pementasan drama, dsb.). semua bentuk sastra tersebut dapat digunakan untuk mengajarkan pendidikan moral.
Bertolak dari uraian di atas, bahwa sastra memberikan peluang kepada pendidik dan peserta didik untuk menjadikannya sebagai sumber moral dalam pembelajaran. Sastra diyakini mengandung suatu “ajaran” karena tidak mungkin pengarang menulis tanpa pesan moral. Muatan nilai sastra inilah dapat dijadikan “bahan dasar” pendidikan moral. (K-50.)
Penulis : I Wayan Kerti
Komentar