nusabali

MUTIARA WEDA : Siwaratri, Malam Peleburan Dosa

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-siwaratri-malam-peleburan-dosa

Dia melihat kebenaran, yakni dia yang melihat segalanya berada di dalam Sang Diri seperti pakaian di dalam benang, dan yang mengetahui ‘aku bukan pikiran’.

Mayi sarvam idam protam sutre maniganā iva,

Cittam tu nā ham eveti yah pasyati sa pasyati.
(Yoga Vasistha, 31)


Momentum untuk refleksi diri agar senantiasa terjaga dari mimpi-mimpi terjadi setiap tahun, yakni dalam perayaan Siwaratri. Mengambil cerita Lubdaka, banyak orang percaya bahwa perayaan tersebut adalah sebagai malam peleburan dosa. Dikisahkan bahwa Lubdaka sendiri adalah seorang pemburu yang kesehariannya senantiasa membunuh. Tetapi, oleh karena kebetulan pada malam hari, yakni satu hari sebelum Tilem Kapitu, Lubdaka tidak tidur semalam suntuk di hutan.

Malam itu adalah malam hari dimana Dewa Siwa sedang melaksanakan Samadhi. Diyakini bahwa siapapun yang ikut tidak tidur di malam itu akan mendapat rahmat Siva dan semua dosa akan dihapuskannya. Hal ini terbukti ketika Lubdaka meninggal, Atmanya langsung dijemput oleh pasukan Ganabala untuk dibawa ke Siwaloka.

Masyarakat, agar tidak tidur mereka melakukan berbagai aktivitas seperti menyelenggarakan hiburan, main ceki, minum-minum, ngobrol di bale banjar, diskusi sastra, sembahyang dan makemit di pura, dan yang lainnya. Banyak orang yang berkeyakinan bahwa dosa akan bisa dihapus dengan jalan tidak tidur semalam suntuk dengan cara seperti itu. Namun, ada juga yang berkeyakinan bahwa malam itu lebih tepatnya sebagai malam renungan dosa, yakni mengingat kembali dosa apa yang telah diperbuat dan berjanji akan memperbaikinya di kemudian hari. Ada juga yang percaya bahwa malam itu adalah momentum untuk refleksi diri agar senantiasa menjadi lebih baik di kehidupan yang akan datang.

Dari sekian pemahaman, yang paling menarik adalah mengenai penebusan dosa. Banyak yang mempertanyakannya apakah semudah itu? Kalau semudah itu, nantinya orang akan dengan mudah berbuat dosa, sebab gampang ditebus dengan hanya begadang semalam suntuk di malam Siwaratri. Banyak orang yang meragukannya walaupun tidak sedikit yang masih meyakininya. Jika dikembalikan ke teks-teks yang ada, pertanyaan mengenai apakah dosa bisa ditebus atau tidak sepertinya mudah saja di jawab. Jawabannya adalah memang bisa dengan mudah ditebus dan digaransi benar 100 persen asal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Apa ketentuannya? Ketentuannya adalah sebagaimana dinyatakan oleh teks di atas. Jika dia mampu melihat kebenaran, yakni ketika ia mampu melihat segala sesuatu yang ada sesungguhnya tidak berbeda dengan dirinya dan dia yang menyadari bahwa dirinya bukan pikiran, maka perayaan Siwaratri akan menjadi ajang sebagai penebusan dosa. Mengapa demikian? Pertama, orang yang telah mampu melihat kebenaran adalah dia yang telah mampu memutus rantai ikatan samsara, sehingga jejak vasana masa lalu tidak lagi mengikutinya. Dengan cara ini, dosa akan dengan sendirinya terhapuskan. Kedua, orang ini di dalam melakukan tindakannya akan senantiasa berpatokan pada kebenaran itu sendiri, sehingga apapun yang dilakukannya dosa tidak akan mampu menghampirinya. Orang ini jika melaksanakan brata Siwaratri akan dengan mudah membuat dirinya tidak pernah dilekati oleh dosa.  

Ketiga, orang ini adalah orang yang sadar (jagra) setiap saat. Jadi tidak perlu menunggu momentum Siwaratri untuk me-jagra. Jika setiap saat melakukan jagra, artinya setiap saat dia melakukan penebusan dosa, sehingga dosanya setiap saat terhapus. Saat kapanpun, dia akan terlepas dari dosa. Jadi, dengan ketiga alasan ini, perayaan malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa benar adanya. Tetapi orang biasa yang senantiasa bergelimang dengan perbuatan dosa kemudian melaksanakan brata malam Siwaratri dan berharap dosa-dosa terhapus, sepertinya keinginannya tersebut sangat sulit, dan bahkan bisa menambah dosa. Keinginan menebus dosa justru menjadi perbuatan berdosa, sehingga deretan dosanya bertambah panjang. Maka dari itu, agar malam Siwaratri menjadi malam penebusan dosa, maka kriteria sebagaimana disebutkan oleh teks di atas harus menjadi pertimbangan utama. Jika belum mencapai kondisi itu, berpikir untuk menebus dosa adalah angan-angan penuh dosa. Mengapa penuh dosa? Karena tidak tahu malu. Malu kepada siapa ? Kepada diri sendiri. Tidak mampu mengukur diri dan memahami diri sendiri adalah sebuah dosa.

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar