Perajin Meja Bambu Menyusut
Dusun Kayang, Desa Kayubihi, Kecamatan Bangli, cukup dikenal sebagai penghasil kerajinan bambu.
BANGLI, NusaBali
Hanya saja jumlah perajin bambu, khusunya yang buat meja bambu terus berkurang, semula 15 orang kini tinggal dua orang. Lesunya pemasaran membuat perajin galar atau meja bambu beralih buat anyaman bambu.
Salah seorang pengrajin bambu, I Made Sintar, mengaku peminat meja bambu tidak begitu banyak. Masyarakat lebih memilih meja berbahan kayu, besi, dan aluminium. Akibat sepi order, perajin beralih buat produk anyaman bambu. Made Sintar yang akrab disapa Pan Sintar sudah menggeluti kerajinan galar (meja bambu) sejak tahun1970. Hasil dari membuat galar mampu menghidupi istri dan dua anaknya. Ia mengaku tidak memiliki ketrampilan lain selain membuat galar. “Saya hanya bisa membuat galar saja, untuk kerajinan anyaman tidak bisa,” ujarnya, Rabu (17/1).
Pan Sintar mengatakan, proses pembuatan galar tidak sesulit membuat anyaman. Diawali dengan memilih bambu yang akan digunakan. Menebang bambu tidak boleh sembarangan, Kajeng Umanis dan Kajeng Wage pantang menebang bambu. Bambu yang ditebang selanjutnya dikeringkan dengan cara dijemur langsung di bawah sinar matahari. Tujuannya agar bambu saat dipaku atau dilubangi tidak pecah. Proses pengeringan tergantung cuaca, kalau cuacanya panas membutuhkan waktu tiga hari, kalau cuacanya agak mendung perlu waktu sepekan.
Setelah bambu kering dilanjutkan dengan memotong bambu sesuai ukuran panjang dan lebar galar yang dibuat. Sementara untuk alas galar, bambu harus dibelah dengan ukuran lebar 5 centimeter, panjang sesuai dengan panjang galar yang dibuat. Bagian kaki galar berbahankan kayu albesia. “Membuat satu buah galar menghabiskan waktu dua hari. Harga jual tergantung ukuran,” terangnya. Galar ukuran 190 centimeter x 1 meter Rp 80 ribu, ukuran 2 meter x 1 meter Rp 100 ribu. Meski pasaran galar sepi, Pan Sintar tidak pernah menyerah dan tetap berusaha menjual galar buatannya. Ia berangkat dari rumah sekitar pukul 05.00 Wita dengan naik angkot, pulang pergi ke Pasar Kidul Bangli menghabiskan Rp 20 ribu. *e
Hanya saja jumlah perajin bambu, khusunya yang buat meja bambu terus berkurang, semula 15 orang kini tinggal dua orang. Lesunya pemasaran membuat perajin galar atau meja bambu beralih buat anyaman bambu.
Salah seorang pengrajin bambu, I Made Sintar, mengaku peminat meja bambu tidak begitu banyak. Masyarakat lebih memilih meja berbahan kayu, besi, dan aluminium. Akibat sepi order, perajin beralih buat produk anyaman bambu. Made Sintar yang akrab disapa Pan Sintar sudah menggeluti kerajinan galar (meja bambu) sejak tahun1970. Hasil dari membuat galar mampu menghidupi istri dan dua anaknya. Ia mengaku tidak memiliki ketrampilan lain selain membuat galar. “Saya hanya bisa membuat galar saja, untuk kerajinan anyaman tidak bisa,” ujarnya, Rabu (17/1).
Pan Sintar mengatakan, proses pembuatan galar tidak sesulit membuat anyaman. Diawali dengan memilih bambu yang akan digunakan. Menebang bambu tidak boleh sembarangan, Kajeng Umanis dan Kajeng Wage pantang menebang bambu. Bambu yang ditebang selanjutnya dikeringkan dengan cara dijemur langsung di bawah sinar matahari. Tujuannya agar bambu saat dipaku atau dilubangi tidak pecah. Proses pengeringan tergantung cuaca, kalau cuacanya panas membutuhkan waktu tiga hari, kalau cuacanya agak mendung perlu waktu sepekan.
Setelah bambu kering dilanjutkan dengan memotong bambu sesuai ukuran panjang dan lebar galar yang dibuat. Sementara untuk alas galar, bambu harus dibelah dengan ukuran lebar 5 centimeter, panjang sesuai dengan panjang galar yang dibuat. Bagian kaki galar berbahankan kayu albesia. “Membuat satu buah galar menghabiskan waktu dua hari. Harga jual tergantung ukuran,” terangnya. Galar ukuran 190 centimeter x 1 meter Rp 80 ribu, ukuran 2 meter x 1 meter Rp 100 ribu. Meski pasaran galar sepi, Pan Sintar tidak pernah menyerah dan tetap berusaha menjual galar buatannya. Ia berangkat dari rumah sekitar pukul 05.00 Wita dengan naik angkot, pulang pergi ke Pasar Kidul Bangli menghabiskan Rp 20 ribu. *e
1
Komentar