'Rasa Bahasa' Meningkatkan Harga
Tidak ada suatu batasan mengenai kata yang sahih bagi semua bahasa di dunia. Dalam mendeskripsi, banyak bahasa di dunia memerlukan sebuah unit yang disebut kata.
Di Balik Makna Sebuah Kata
Namun bagi sebagian bahasa pengertian kata dibatasi secara fonologis, sedangkan bagi bahasa yang lain dibatasi secara morfologis. Kata merupakan unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan mobilitas posisional, yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah fonologis, entah morfologis) dan secara relatif memiliki distribusi yang bebas (Keraf, 1986: 21).
Dalam kegiatan komunikasi, kata-kata dijalinsatukan dalam suatu konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah-kaidah yang ada dalam suatu bahasa. Namun, terkadang kata itu dipergunakan secara mandiri tanpa dijalin dengan kata-kata yang lainnya.Terpenting dari kata atau rangkaian kata itu adalah pengertian yang tersirat di balik kata yang digunakan. Setiap orang yang terlibat komunikasi selalu berusaha agar orang lain dapat memahami pesannya, begitu pula sebaliknya. Dengan cara ini, komunikasi terjalin dua arah dengan baik dan harmonis, dengan harapan masing-masing pihak mampu menangkap pesan yang disampaikan.
Pengertian yang tersirat dalam sebuah kata, mengandung makna bahwa tiap kata mengungkapkan sebuah ide atau gagasan. Kata-kata ibarat “pakaian” yang dipakai oleh pikiran kita. Setiap kata memiliki jiwa agar dapat menggerakkan orang lain dengan jiwa dari kata-kata yang dipergunakan.
Oleh karena itu, pilihan kata yang dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide ataugagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap persoalan pilihan kata adalah persolan yang sederhana.
Di era globalisasi ini, komunikasi di setiap sisi kehidupan dengan memakai kata adalah hal yang sangat mutlak diperlukan. Percampuran berbagai kosa-kata dari berbagai bahasa seakan tak terbendung lagi. Apalagi, sistem bahasa Indonesia yang sangat terbuka mengadopsi dan mengadaptasi berbagai kata dari bahasa daerah maupun bahasa asing sebagai dampak pergaulan global. Setiap kata akan memiliki struktur leksikal yang merupakan relasi semantik yang terdapat pada kata itu, seperti: sinonim, polisemi, homonimi, hiponimi, dan antonim.
Menarik sekali kita seorang teman di group WA mengirimkan tautan tentang kata-kata yang sesungguhnya memiliki struktur leksikal “sinonim” antara bahasa daerah/bahasa Indonesia dengan istilah asing (bahasa Inggris) yang mampu mengangkat “nilai rasa” kata tersebut, sekaligus menimbulkan gengsi bagi pendengarnya. Jika dikaitkan dengan dunia bisnis, pemakaian sinonim dari bahasa asing tersebut telah mampu mengangkat harga/nilai yang dirujuk oleh makna kata tersebut, misalnya: “Kopi Selem” dalam bahasa Bali atau “Kopi Hitam” dalam bahasa Indonesia) harganya Cuma 2000 rupiah di warung-warung. Lalu, ketika benda yang sama diberi nama “Black Coffee” dan dijual di cafe harganya melonjak menjadi Rp 25000. Ketika kita “pijat” ke tukang pijat ongkosnya sekitar Rp 30.000, tetapi ketika diberi lebel dengan sinonimi “Massage” di pusat-pusat Spa, harganya melonjak tajam sampai kisaran Rp 300.000. Makan di sebuah warung/rumah makan ketika ditanya,“Minumnya apa?” Ketika kita menjawab air putih, bisa gratis atau paling banter Rp 3.000 untuk sebotol air mineral tanggung. Akan tetapi ketika di sebuah restaurant diberi lebel “Cold Drink”, harganya akan terangkat bisa menjadi Rp 20.000 per gelasnya. Contoh lain yang diberikan, “ayam goreng” yang biasa kita beli di warung makan biasa harganya paling banter Rp 10.000, ketika kita belanja di ke Mc'donald/Kfc dengan istilah baru (sinonim) “Fried Chicken” harganya bisa Rp 27.000 bahkan lebih.
Apakah sesungguhnya sinonim itu? Gorys Kraf (1986: 34) sinonim adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama (syn = sama, onoma = nama).Sedangkan Abdul Chaerdalam (https://dosen bahasa.com/jenis-jenis-makna-kata) menyatakan bahwa sinonim sama dengan makna konotatif merupakan makna lain yang ditambahkan pada sebuah kata yang berhubungan dengan nilai rasa seseorang atau kelompok yang menggunakan kata tersebut. Sinonim tidak dapat dihindari dalam suatu bahasa; pertama-tama ia terjadi karena proses serapan (borrowing). Pengenalan dengan bahasa lain membawa akibat penerimaan kata-kata baru yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa sendiri. Penyerapan itu sendiri bukan hanya meyangkut referen yang sudah ada katanya dalam bahasa sendiri, tetapi juga menyangkut referen yang belum ada katanya dalam bahasa sendiri. Sinonim itu terjadi karena menerima dua bentuk atau lebih sebuah bahasa donor, atau menerima beberapa bentuk dari beberapa bahasa donor, seperti: buku, kitab, pustaka; reklame, iklan, adpertensi, yang sesungguhnya bermakna sama.
Kembali kepada kiriman tautan di WA dari teman saya yang gara-gara memakai sinonim bahasa asing (bahasa Inggris) di tempat-tempat yang juga diberi istilah dengan bahasa Inggris, menyebabkan nilai benda yang dirujuk oleh kata tersebut menjadi terangkat. Faktor emotif (nilai rasa) dan evaluatif menyebabkan perubahan harga-harga/nilai suatu barang/benda. Padahal, makna kognitif dari kata-kata yang bersinonim itu tetap sama, hanya nilai emotif dan evaluatifnya yang berbeda. Kata Emotif dalam (https://kbbi.web.id/makna) juga bernakna kata/frase yang ditautkan dengan perasasaan (ditentukan oleh perasaan).
Kata sebagai satuan dari pembendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi makna. Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dicerap dengan pancaindra, yaitu dengan mendengar atau melihat. Sebaliknya segi isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran kita karena rangsangan aspek bentuk tadi. Pada waktu mendengar istilah cold drink misalnya timbul reaksi dalam pikiran kita bahwa kita minuman mewah jika kita makan/minum di sebuah restaurant. Jadi, bentuk atau ekspresinya kata cold drink yang diucapkan/tertulis, sedangkan makna atau isinya adalah “reaksi yang timbul pada orang yang mendengar/membaca kata tersebut”.
Jika dikaitkan dengan Psikolinguistik bahwa ada keterkaitan antara bahasa dan “minda” yaitu hubungan antara otak manusia dengan bahasa. “Minda” atau otak beroperasi ketika terjadi pemakaian bahasa. Ketika seseorang mendengar/membaca istilah-istilah yang berbau asing seperti: Black Coffee, Massage, Cold Drink, Fried Chicken, Salad with peanut sauce, Apartment, dsb. yang berbau asing, maka otak mereka akan menangkap bahwa apa-apa yang dirujuk oleh kata-kata dari bahasa asing tersebut memberi kesan mewah dan wah. Padahal jika dicari padanannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah, istilah-istilah asing tersebut sudah ada dan barang/bendanya pun ada. Anehnya, gara-gara pemakain istilah asing tersebut nilai benda/barang tersebut menjadi sangat mahal, dan orang yang terlibat dalam pemakaian bahasa tersebut pun gengsinya menjadi terangkat.
Oleh karena itu, jika kita tidak ingin terjebak oleh permainan kata yang disebut dengan istilah “sinonim” yang hanya karena diadopsi dari bahasa asing lalu menyebabkan harganya melambung tinggi seperti candaan teman saya di atas, maka sebaiknya kita berada pada ranah istilah kosa-kata bahasa kita sendiri (bahasa Indonesia) seperti: kopi hitam, air putih, ayam goreng, cuci muka, dan sebagainya, sehingga kita tidak terjebak faktor emotif (nilai rasa) dan evaluatif dari suatu kata yang membuat otak kita tersihir hanya oleh sebuah istilah yang memberi kesan mewah. Ungkapan: “Bangkrut....!!! Bangkrut...!!!” tidak perlu terjadi, bila kita sadar akan makna kognitif suatu kata, misalnya bahwa antara “cold drink” sama dengan “yeh dingin” (bahasa Bali) atau “air putih” (bahasa Indonesia) adalah sama. Hanya demi gengsi, terkadang menyebabkan kita terhipnotis oleh emotif (nilai rasa) dan evaluatif sebuah kata.
Dalam kancah pergaulan global, biarlah kata-kata yang berbau asing itu tetap dipakai di tempat-tempat yang juga memakai istilah asing. Biarlah benda-benda yang dirujuk oleh kata-kata dengan istilah asing itu dinikmati oleh kaum asing pula yang memang datang dengan “kantong tebal” mencari sensasi dan kenikmatan. Jika kita juga “berkantong tebal” dan ingin sedikit berbau asing, tidak salah juga mencari sensasi dari emotif (nilai rasa) sebuah kata berbau asing tersebut.Di balik makna sebuah kata yang besinonim, ternyata menimbulkan “rasa bahasa” yang meningkatkan nilai/harga dari sebuah barang/benda yang dirujuknya. Mari kita bermain kata dengan memilih kata yang mampu membawa emotif (nilai rasa) dari suatu benda/barang menjadi memiliki nilai/harga menjadi lebih tinggi. Selamat mencoba pilih-pilih kata yang bersinonim! (K.50)
Sumber:
1. Keraf, Gorys. 1986. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.
2. Abdul Chaer. 2017. Jenis-Jenis Makna Kata dan Contohnya dalam Bahasa Indonesia. https://dosenbahasa.com/jenis-jenis-makna-kata.
3. Pranala (link):https://kbbi.web.id/makna.
4. Lis Linawati. 2009. Psikolinguistik dalam Pembelajaran Bahasa, dalam https://lakubijakbajik.wordpress.com/dirasat/psikolingusitika/psikolinguistik-dalam-pembelajaran-bahasa/
5. Tautan informasi WA Group GP Karangasem.
Penulis : I Wayan Kerti
Komentar