nusabali

Orang Bali Naik Motor

  • www.nusabali.com-orang-bali-naik-motor

Apa beda orang Bali naik sepeda motor dibanding bukan orang Bali? Tingkah polah orang naik motor di Indonesia rata-rata sama: ogah taat aturan lalu-lintas, semau gue, suka mengambil haluan yang bukan haknya, sehingga di kota-kota mana pun di Tanah Air sepeda motor itu pasti memenuhi jalanan.

Di Indonesia, mobil mengalah sama motor. Di jalan-jalan, motor lebih kuasa. Bukan rahasia lagi, ibu-ibu kalau naik motor pasang lampu sein belok kiri tapi tiba-tiba nyelonong belok kanan. Kalau diberitahu mereka salah, ibu-ibu itu ngomel, balik memarahi. Anak muda juga naik motor tak kalah amburadul. Berpelukan mesra bersama pasangan lampu sein mereka menyala terus sepanjang jalan. Kalau naik motor sendiri sibuk dengan main HP, kirim SMS atau membaca WA. Kalau ditegur mereka marah, dongkol setengah mati.

Begitulah orang-orang naik sepeda motor sekarang. Mereka tak gentar diseruduk mobil, karena mobil mengalah. Mereka tak peduli nasib buruk suatu waktu menimpa, terpelanting ke jalan, masuk ke kolong truk. Banyak pengemudi mobil berkomentar, motor-motor itu terselamatkan karena belas kasih pengendara mobil. Jika mobil-mobil itu sangar, bakalan tak henti-henti tabrakan mobil-motor.

Tapi bukan Bali namanya kalau tiada uniknya. Orang Bali punya keunikan kalau berkendara roda dua. Ini sudah terjadi sejak orang Bali naik sepeda, terutama ibu-ibu. Mereka bersepeda menyunggi sesaji ketika ke pura. Beberapa ibu-ibu yang menjual tikar juga menyunggi tikar-tikar itu sembari bersepeda. Kalau ke pasar mereka membawa belanjaan di atas kepala.

Sekarang pun ibu-ibu ini menyunggi sesaji naik motor melaju kencang. Sering kali saab penutup sesaji diterbangkan angin. Ibu-ibu tak kehilangan akal. Sesaji daging ayam, atau mangga, nenas, yang berat-berat dimanfaatkan menindih, sehingga sajen tidak diterbangkan angin.

Ada lagi keunikan orang Bali yang berhubungan dengan naik motor. Ini terjadi di seputaran Desa Batubulan, Gianyar. Seorang anak kelas empat SD, Wayan, ingin sekali mengendarai motor. Anak sepuluh tahun ini selalu ternganga dan tertegun menyaksikan orang di atas motor. Apalagi beberapa rekannya sebaya banyak yang naik motor. Meminjam sama teman, ia malu. Kadang ia meraba-raba motor si teman. “Kapan ya aku bisa naik motor?” pikir Wayan dalam hati.

Memberanikan ia datangi bapaknya, berharap bisa dapat motor. “Belikan saya motor Pak, saya pingin sekali naik motor.”

Boro-boro dikasi motor, Wayan dimarahi habis-habisan. “Kamu masih anak-anak, kalau naik motor ditangkap polisi, belum puya SIM. Awas, kamu naik motor, bisa masuk bui,” ancam si ayah. Wayan enggan berdebat, mengapa teman-temannya sebaya bisa naik motor dan tidak ditangkap polisi.

Tapi akhirnya ia benar-benar berurusan dengan polisi. Suatu petang, ketika ia jalan-jalan ke pasar senggol Batubulan sembari melamunkan naik motor, ia seperti menerima berkah ketika melihat sepeda motor diparkir dengan kunci masih nyantol. Ia tertegun, seakan Ida Batara memberinya peluang. Setelah menolah kiri-kanan, ia naik ke sadel motor dengan kaki masih menjuntai. Tak apa, ia coba gerakkan kunci kontak ke kanan, ahaaaa, hidup, motor itu mendengung halus. Wayan menggerakkan perlahan motor itu ke belakang sembari tetap waspada toleh kiri-kanan.

Sekarang ia memutar gas, ahaaaa, motor itu melaju. Dalam waktu singkat ia meliuk-liuk di jalan bersama pengendara motor lain. Wajahnya diterpa angin malam yang sejuk. Ia tersenyum-senyum sendiri, membayangkan sirkuit balapan dengan Valentino Rossi dan Marc Marquez balapan seperti ia sering tonton di televisi. Beberapa orang di pinggir jalan ia sapa. Orang-orang yang ia kenal mengangkat dagu dan angguk-angguk sembari melambaikan tangan. Wayan bangga.

Menjelang tengah malam, motor curi-pinjam itu ia geletakkan di sebuah tanah kosong sebelah deretan ruko. Tiba di rumah pemilik motor menunggunya, ayahnya membentak-bentak. Orang-orang di jalan tadi yang melihat Wayan naik motor menjelaskan kepada polisi di Batubulan, kalau mereka melihat Wayan naik motor.

Masalah tak berhenti di situ. Wayan tak hanya berurusan dengan polisi, juga dengan kepala sekolah dan guru-guru, yang sesungguhnya sudah sering melarang anak-anak naik motor, tapi tetap saja mereka bermotor. Orangtua Wayan juga diundang hadir. Wayan menunduk terus. Penilik sekolah yang hadir dalam pertemuan itu, menggamit lengan ayah Wayan, mengajaknya bicara berdua di sudut sekolah.

“Pak, maafkan saya menyampaikan usul,” ujar Penilik sekolah itu setengah berbisik. “Belikan saja anak bapak motor Pak, dari pada begini jadinya.” Si ayah terperangah. Ia kira si penilik akan menasihati agar hati-hati mengurus anak, dan jangan sampai anak naik motor lagi. Di Bali, di desa-desa, banyak sekali bisa kita jumpai anak-anak ngebut naik motor. Dan para orang tua bangga. “Lihat tuh, anak saya masih sekolah dasar sudah hebat naik motor.” *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar