Sebagai Simbolik Rasa Syukur Saat Panen Raya Buah
Tradisi ritual ngaturang buah-buahan di Pura Desa Pakraman Sidatapa selalu dilakukan selama tiga hari, yang jatuhnya harus hindari rahina Kajeng. Untuk pelaksanaan tahun 2018, ritual digelar 21 Januari, 24 Januari, dan 27 Januari
Krama Desa Pakraman Sidatapa Laksanakan Tradisi Ngaturang Buah-buahan
SINGARAJA, NusaBali
Krama Desa Pakraman Sidatapa, Desa Sidatapa, Kecamatan Banjar, Buleleng yang berjumlah 835 kepala keluarga (KK) melangsungkan tradisi ritual ‘ngaturang buah-buahan’ di Pura Desa setempat pada Radite Umanis Menail, Minggu (21/1). Tradisi ritual ini digelar sebagai wujud syukur atas panen raya buah-buahan di desa ‘Bali Age’ tersebut.
Jenis buah-buahan yang dipersembahkan dalam tradisi ritual ‘ngaturang buah-buahan’ di Pura Desa Pakraman Sidatapa ini mulai dari durian, rambutan, manggis, ceroring, hingga wani. Jumlah buah yang mesti dibawa ke pura sebagai persembahan, juga sudah ditentukan, seuai pembagian harinya.
Menurut Penyarikan Desa Pakraman Sidatapa, I Nyoman Parma, tradisi ritual ‘ngaturang buah-buahan’ ini diwarisi dari generasi ke generasi, sejak tahun 785 Masehi. “Biasanya, tradisi ‘ngaturang buah-buahan’ kami laksanakan setahun sekali, saat musim panen raya, seperti sekarang,” ungkap Nyoman Parma ditemui NusaBali seusai ritual ‘ngaturang buah-buahan’ di Pura Desa Pakraman Sidatapa, Minggu ke-marin.
Nyoman Parma mengatakan, pelaksanaan tradisi ‘ngaturang buah-buahan’ ini tidak menganut sistem pawukon dan dewasa ayu secara tetap. Desa Pakraman Sidatapa biasanya segera melaksanakan tradisi ini, apabila sudah ada tanda-tanda akan terjadi panen raya buah-buahan. “Saat hari H ritual, seluruh krama datang berbondong-bondong dengan membawa berbagai macam buah yang akan dipersembahkan, sebagai wujud syukur atas panen raya tahun ini,” jelas Nyoman Parma.
Disebutkan, tradisi ngaturang buah-buahan selalu dilakukan selama tiga hari. Untuk pelaksanaan tahun 2018 ini, tradisi ritual ‘ngaturang buah-buahan’ dilakukan 21 Januari 2018, 24 Januari 2018, dan 27 Januari 2018. Hari pelaksanaan ritual selalu hanya menghindari rahina Kajeng.
Sebanyak 835 KK Desa Pakraman Sidatapa yang merupakan krama pengarep, diwajibakan mengikuti tradisi ritual ‘ngaturang buah-buahan’ ini, terlepas apakah mereka memiliki atau tidak kebun buah-buahan. Bagi krama desa yang tidak memiliki kebun buah, mereka melakukan persembahan dengan cara membeli atau meminta kepada keluarganya yang punya hasil panen buah.
Pada hari pertama pelaksanaan tradisi ‘ngaturang buah-buahan’, 21 Januari 2018, krama desa dengan hasil panen buah di kebunnya wajib menghaturkan buah-buahan dengan jumlah serba tiga. Misalnya, 3 butir buah durian, 3 ikat buah rambutan, 3 kilogram buah manggis, 3 kilogram buah ceroring, atau 3 kilogram buah wani.
Sedangkan pada hari kedua, 24 Januari 2018, krama Desa Pakraman Sidatapa menghaturkan buah-buahan berjumlah serba dua. Mereka boleh memilih bawa 2 butir buah durian, 2 ikat buah rambutan, 2 kilogram buah ceroring, 2 kilogram buah manggis, atau 2 kilogram buah wani.
Sebaliknya, pada hari ketiga pelaksanaan tradisi ritual ‘ngaturang buah-buahan’, 27 Januari 2018 nanti, krama Desa Pakraman Sidatapa wajib menghaturkan buah-buahan serba satu. Misalnya, 1 butir buah durian, 1 ikat buah rambutan, 1 kilogram buah ceroring, 1 kilogram buah manggis, atau 1 kilogram buah wani. Sejauh ini, tiodak ada yang tahu pasti apa makna membawa buah dalam jumlah berbeda di hari pertama, kedua, dan ketiga tersebut.
Seluruh krama Desa Pakraman Sidatapa biasanya sudah menyiapkan sarana persembahayan sejak H-1 pelaksanaan tradisi ritual. Pada hari H, mereka membawa hasil panen buah mereka ke Pura Desa Pakraman Sidatapa untuk dihaturkan di pagi hari pukul 07.30 Wita.
Pantauan NusaBali, masing-masing krama yang membawa haturan meletakkan buah yang mereka persembahkan di Bale Piyasan Pura Desa Pakraman Sidatapa. Selanjutnya, dilanjut upacara tradisi ngaturang buah-buahan yang dipuput oleh tiga balian desa, dengan kelengkapan banten Tubungan Bali Taksu dan Bukak Tumpeng. Dalam prosesi upacara ini, satu balian desa selalu mengalami trance (kesurupan) dan memilih beberapa buah-buahan krama di banten utama. Sedangkan buah lainnya masih tetap diletakkan di Bale Piyasan.
Tradisi ritual diakhiri dengan persembahyangan bersama. Habis sembahyang, krama desa dipersilakan pulang ke rumah masing-masing dengan membawa kembali buah yang sudah mereka haturkan. “berdasarkan kepercayaan kami, sebelum ada tradisi ngaturang buah dilakukan, krama tidak boleh menghaturkan buah hasil panennya di rumah ataupun di kebun. Persembahan pertama harus di Pura Desa, se-bagai wujud syukur kepada Sanghyang Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan, dan juga leluhur kami yang berasal dari Gunung Raung,” papar Nyoman Parma.
Menurut Nyoman Parma, tradisi ritual ngaturang buah-buahan ini pernah tidak dilaksanakan ketika memasuki padewasan Lut Tumpek Lulut. Saat itu, di Desa Pakraman Sidataoa dilarang untuk melaksanakan jenis upacara apa pun. Gara-gara abai melaksanakan tradisi ritual, akibatnya malah fatal: krama Desa Pakraman Sidatapa yang sebagian besar bekerja sebagai petani, tidak mengahsilkan panen buah maksimal. *k23
1
Komentar