Guru Dalam Kenangan
Di antara Masa Lalu dan Masa Kini
Masihkah kita ingat dengan penggalan lirik lagu “Guru Omar Bakri” yang diciptakan dan dinyanyikan oleh penyanyi legendaris Iwan Fals, seperti berikut ini?
...
Itu sepeda butut dikebut lalu cabut,
kalang kabut, cepat pulang
...
Oemar Bakri... Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri
...
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Bikin otak seperti otak Habibie
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri
....
Lagu yang begitu hits di era tahun 80-an tersebut, seolah memberi gambaran secara satire kehidupan orang-orang yang berprofesi sebagai guru pada zaman itu. Profesi guru dianggap sebagai sebuah pengabdian tanpa mendapat imbalan yang memadai atas jasa-jasanya, padahal pemimpin-pemimpin hebat di Negeri ini (termasuk seperti Pak Habibie) maupun aparatur negara lainnya dari masa lalu sampai saat ini sesungguhnya terlahir dari produk guru pada masa lalu. Mereka (para guru) melaksanakan profesinya dengan ketulusan hati.
Saya sendiri yang mulai bersekolah di tahun 1975, mengalami dan mengenal benar potret kehidupan orang-orang yang berprofesi sebagai guru saat itu. Beliau-Beliau yang mengajar saat itu datang ke sekolah dengan berjalan kaki atau naik sepeda pancal. Kondisi sekolah pun sangat memprihatinkan. Belajar pada ruang dengan sekat dinding anyaman daun kelapa, tak ada MCK dan hanya menggunakan alat tulis sederhana (karas dan grip). Baru di kelas tiga SD ke atas, saya kenal dengan alat tulis buku, pensil, serta bolpoin.
Guru-guru di masa itu terlihat menikmati melaksanakan tugasnya walaupun gaji yang mereka terima sekadarnya. Saya tidak pernah melihat guru-guru hadir dengan “segebog” administrasi. Mereka (para guru) hanya mengajar, mendidik, dan mengevaluasi murid-muridnya. Para guru nampak secara leluasa melaksanakan tugasnya secara lugas dan tegas sampai anak didiknya benar-benar mengerti. Apakah saat itu mereka sudah dibebani dengan terget pencapaian kurikulum? Saya juga kurang paham. Guru di mata siswa saat itu benar-benar menjadi sosok yang patut digugu dan ditiru. Para siswa begitu hormat dan taat kepada guru-gurunya. Saya masih ingat benar ketika SD sampai SMP, pagi-pagi akan berjejer berbaris bersama teman-teman untuk sekadar dapat menyapa dan memberi hormat pada “Sang Guru”. Setiap perintah dan anjuran dari Beliau-Beliau itu bak sabda Tuhan yang harus dituruti. Guru menjadi sosok sentral, baik di sekolah maupun di tengah-tengah masyarakat. Jika ada siswa yang nakal, terkadang guru-guru berani bertindak keras dengan niat mendidik, tetapi tidak ada rasa dendam dari para siswa maupun para orang tua/wali murid.
Ketika di tahun 1995, saya sendiri diangkat menjadi guru di SMP Negeri 1 Kubu, Karangasem baru saya sadar bahwa penghasilan seorang guru memang sangat kecil. Selaku CPNS saat itu, gaji saya hanya Rp 120.000,-. Setelah berstatus PNS (100%) barulah mendapat gaji Rp 150.000,-. Dari obrolan dengan sesama guru senior saat itu, bahwa ketika Beliau-Beliau diangkat menjadi guru gajinya malah hanya puluhan ribu rupiah. Tetapi, penghasilan sekecil itu masih cukup untuk makan dan ongkos transport untuk saat itu. Syarat-syarat administratif sudah mulai diperkenalkan dan diwajibkan saat saya mulai menjadi guru, seperti: kewajiban membuat program tahunan dan program semester, soal-soal evaluasi, serta Satuan Pembelajaran (SP). Semua dikerjakan dengan mesin ketik manual, yang tidak bisa cukup ditulis tangan. Pelatihan-pelatihan/diklat bagi guru-guru pun mulai diperkenalkan. Semua dilalui dengan ketulusan.
Kecilnya penghasilan guru-guru di masa lalu menyebabkan tidak banyak anak-anak muda yang mau bersekolah di kejuruan atau kuliah di perguruan tinggi mengambil jurusan guru. Tidak sedikit pula tamatan keguruan yang justru memilih profesi lain, utamanya di sektor pariwisata karena penghasilan yang diperoleh di sektor itu bagai bumi dan langit dengan penghasilan jika mereka menjadi guru.
Akhirnya, profesi guru seakan menjadi domain bagi mereka yang memang memiliki panggilan jiwa untuk mendidik. Terkadang juga sebagai pelarian dari jurusan lain yang tidak mendapatkan kesempatan bekerja, lalu menjadi mencari Akta IV dan banting setir jadi guru.
Komentar