Bawang Putih Terancam Langka Lagi
Sempat bergejolak pertengahan tahun lalu, komoditas bawang putih tahun ini terancam kembali langka dengan harga yang meningkat.
JAKARTA, NusaBali
Pasalnya, komoditas yang tergantung pada impor ini perlahan berkurang pasokannya seiring dengan keengganan importir mengimpor dari negara produsen. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) disinyalir menjadi ihwal keengganan. Bahkan, aturan ini dapat menjadi penyebab minimnya pasokan bawang putih harus kembali dihadapi pada tahun ini.
Hingga 25 Januari 2018, Kementerian Perdagangan menyatakan belum ada izin impor bawang putih yang yang dikeluarkan untuk tahun ini. “Belum ada impor bawah putih untuk tahun 2018 ini. Saya belum ada menandatangani RIPH bawang putih,” tegas Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan dikutip laman okezone, Minggu (28/1). Padahal jika merujuk tahun sebelumnya, pada Januari 2016 sudah ditemukan impor bawah putih sebanyak 41,84 ribu ton. Angka tersebut meningkat 10,22 persen dibandingkan tahun 2015.
Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono di kesempatan berbeda menyatakan, sebenarnya pihaknya sudah menandatangani rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH). Tercatat, ada 29 perusahaan yang mendapat izin untuk pendatangan komoditas yang satu ini dari luar.
Sekadar perbandingan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea Cukai, pada periode 2014—Januari 2017, setidaknya ada 112 importir yang berkecimpung dalam perdagangan bawang putih. “Kami sudah tanda tangan dari dua minggu yang lalu,” ucapnya.
Kunci sekarang berada di tangan Kementerian Perdagangan. Namun, jika berdasarkan pernyataan Oke Nurwan, artinya belum ada importir yang merealisasikan rencana impornya. Belum adanya impor jelas menimbulkan kekhawatiran. Pasalnya, kebutuhan komoditas yang satu ini terus berharap dari impor dari tahun ke tahun.
Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas bahkan menyatakan, kelangkaan di tahun ini sudah mengintip dan bisa lebih parah dibandingkan tahun 2017. Saat itu, harga bawang putih mencapai Rp80 ribu per kilogram karena saking minimnya stok dan tingginya kebutuhan.
Menurut Dwi, salah satu penyebab kelangkaannya adalah munculnya aturan yang Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Di mana terdapat kewajiban bagi para importir untuk menghasilkan 5% bawang putih dari total izin impor yang mereka dapat.
“Importir ya importir, mereka pedagang. Ya masak disuruh bertani,” ujarnya.
Dijelaskannya, jika seorang importir ingin mengeksekusi hak impornya sebanyak 1.000 ton bawang putih dalam setahun, ia harus memproduksi sekitar 50 ton bawang putih dari kebun yang ia tanami. Jika setiap hektare lahan diperkirakan bisa menghasilkan 6 ton bawang putih, maka dibutukan lahan sekitar 8,33 hektare untuk menghasikan 50 ton bawang putih.
Dwi mengestimasi, biaya tanam komoditas ini sampai panen tiap per hektarenya mencapai Rp50—Rp60 juta. Artinya, untuk memproduksi bawang putih sesuai yang diharapkan, dibutuhkan dana sekitar Rp416 juta—Rp500 juta. Apabila ini dikalikan dengan kebutuhan impor sebesar 400 ribu ton, berarti importir secara keseluruhan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp166 miliar – Rp200 miliar.
Di sisi lain, kesiapan lahan, bibit dan tetek bengek lainya juga menambah pusing importir yang biasanya berpikiran praktis. Apalagi tidak ada jaminan keberhasilan panen. Jika pun berhasil panen, hasil panen bawang putih nya juga belum ada jaminan akan ada pembeli.
Ketua Asosiasi Pengusaha Bawang Putih Indonesia (APBPI) Piko Nyoto Setiadi menjelaskan, pihaknya sebenarnya cukup setuju dengan ketentuan wajib tanam bagi para importir. Hanya saja, mereka tetap merasa berat karena minimnya bantuan dari pemerintah, khususnya mengenai bibit. Faktanya sampai sekarang, belum ada bantuan dari Kementerian Pertanian terkait penyediaan bibit bawang putih untuk penanaman.*
Pasalnya, komoditas yang tergantung pada impor ini perlahan berkurang pasokannya seiring dengan keengganan importir mengimpor dari negara produsen. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) disinyalir menjadi ihwal keengganan. Bahkan, aturan ini dapat menjadi penyebab minimnya pasokan bawang putih harus kembali dihadapi pada tahun ini.
Hingga 25 Januari 2018, Kementerian Perdagangan menyatakan belum ada izin impor bawang putih yang yang dikeluarkan untuk tahun ini. “Belum ada impor bawah putih untuk tahun 2018 ini. Saya belum ada menandatangani RIPH bawang putih,” tegas Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan dikutip laman okezone, Minggu (28/1). Padahal jika merujuk tahun sebelumnya, pada Januari 2016 sudah ditemukan impor bawah putih sebanyak 41,84 ribu ton. Angka tersebut meningkat 10,22 persen dibandingkan tahun 2015.
Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono di kesempatan berbeda menyatakan, sebenarnya pihaknya sudah menandatangani rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH). Tercatat, ada 29 perusahaan yang mendapat izin untuk pendatangan komoditas yang satu ini dari luar.
Sekadar perbandingan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea Cukai, pada periode 2014—Januari 2017, setidaknya ada 112 importir yang berkecimpung dalam perdagangan bawang putih. “Kami sudah tanda tangan dari dua minggu yang lalu,” ucapnya.
Kunci sekarang berada di tangan Kementerian Perdagangan. Namun, jika berdasarkan pernyataan Oke Nurwan, artinya belum ada importir yang merealisasikan rencana impornya. Belum adanya impor jelas menimbulkan kekhawatiran. Pasalnya, kebutuhan komoditas yang satu ini terus berharap dari impor dari tahun ke tahun.
Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas bahkan menyatakan, kelangkaan di tahun ini sudah mengintip dan bisa lebih parah dibandingkan tahun 2017. Saat itu, harga bawang putih mencapai Rp80 ribu per kilogram karena saking minimnya stok dan tingginya kebutuhan.
Menurut Dwi, salah satu penyebab kelangkaannya adalah munculnya aturan yang Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Di mana terdapat kewajiban bagi para importir untuk menghasilkan 5% bawang putih dari total izin impor yang mereka dapat.
“Importir ya importir, mereka pedagang. Ya masak disuruh bertani,” ujarnya.
Dijelaskannya, jika seorang importir ingin mengeksekusi hak impornya sebanyak 1.000 ton bawang putih dalam setahun, ia harus memproduksi sekitar 50 ton bawang putih dari kebun yang ia tanami. Jika setiap hektare lahan diperkirakan bisa menghasilkan 6 ton bawang putih, maka dibutukan lahan sekitar 8,33 hektare untuk menghasikan 50 ton bawang putih.
Dwi mengestimasi, biaya tanam komoditas ini sampai panen tiap per hektarenya mencapai Rp50—Rp60 juta. Artinya, untuk memproduksi bawang putih sesuai yang diharapkan, dibutuhkan dana sekitar Rp416 juta—Rp500 juta. Apabila ini dikalikan dengan kebutuhan impor sebesar 400 ribu ton, berarti importir secara keseluruhan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp166 miliar – Rp200 miliar.
Di sisi lain, kesiapan lahan, bibit dan tetek bengek lainya juga menambah pusing importir yang biasanya berpikiran praktis. Apalagi tidak ada jaminan keberhasilan panen. Jika pun berhasil panen, hasil panen bawang putih nya juga belum ada jaminan akan ada pembeli.
Ketua Asosiasi Pengusaha Bawang Putih Indonesia (APBPI) Piko Nyoto Setiadi menjelaskan, pihaknya sebenarnya cukup setuju dengan ketentuan wajib tanam bagi para importir. Hanya saja, mereka tetap merasa berat karena minimnya bantuan dari pemerintah, khususnya mengenai bibit. Faktanya sampai sekarang, belum ada bantuan dari Kementerian Pertanian terkait penyediaan bibit bawang putih untuk penanaman.*
1
Komentar