nusabali

Efektifitas Media Sosial di Pilkada Bali

  • www.nusabali.com-efektifitas-media-sosial-di-pilkada-bali

Tahun 2018 disebut sebut sebagai tahun politik di Indonesia, bagaimana tidak hampir diseluruh daerah di Indonesia melaksanakan pemilu kepala daerah serentak pada tahun 2019.

Berbagai strategi mulai dicanangkan untuk menjaring suara, mulai dari pemasangan baliho, mengadakan lomba-lomba, mengontrak beberapa sesi program di Televisi maupun di surat kabar, dan yang beberapa tahun ini sering dimanfaatkan oleh politisi adalah dengan memanfaatkan media sosial seperti facebook, instagram dan yang popular tahun ini adalah Vlog. Pencitraan politik melalui media sosial pertama kali booming ketika pemilu tahun 2008 di AS yang saat itu Barrack Obama merupakan calon presiden AS dari partai demokrat menggunakan facebook dalam kampanyenya dan ternyata cara ini terbukti jitu dan efektif dalam memenangkan Barrack Obama untuk menjabat sebagai orang nomor satu di AS.

”Siapa yang menguasai teknologi dan informasi, Dialah sesungguhnya yang akan menguasai dunia.” Demikian pepatah yang melukiskan akan besarnya pengaruh teknologi dan informasi.  Facebook, instagram, maupun media sosial lainnya merupakan terobosan dari perkembangan teknologi dan informasi. Para pengguna media sosial ini kebanyakan adalah generasi milenial yang memiliki kemampuan didalam penggunaan teknologi. Dalam perannya media sosial pada pemilu kepala daerah memiliki kemampuan dalam menggiring opini serta menampilkan citra positif dari seorang politisi. Selain pencintraan, media sosial memiliki kelebihan lainnya yaitu dapat langsung menyampaikan dan menyebarkan ide termasuk isi kampanye. 

Efektifitas Komunikasi Politik di Media Sosial
Menurut R. Shari Veil, Tara Buehner, dan Michael J. Palenchar (2011) bahwa Media sosial pada intinya merupakan komunikasi antar manusia yang memiliki karakteristik partisipasi, terbuka, percakapan, komunitas, dan keterhubungan. Lalu seberapa efektifkah penggunaan media sosial dalam pemilihan kepala daerah? Marilah kita menoleh kembali tahun 2012 pada pilkada DKI Jakarta dimana salah satu andil kemenangan dari pasangan jokowi-ahok tidak lepas dari dukungan media sosial dalam menyampaikan pesan-pesan politis selama masa kampanye. Tim sukses tahu betul bagaimana memanfaatkan media sosial secara massif untuk menggalang suara dari generasi milenial yang mana secara demografi politik para generasi milenial dimasukkan kedalam pemilih pemula atau pemilih mengambang (swing voters). Pergeseran kampanye konvensional menjadi kampanye di dunia maya ternyata memberikan lebih banyak ruang dari para politisi dalam menyampaikan gagasan, ide, simpati maupun empati kepada warganet. 

Komunikasi politik yang menjadi isu penting adalah imej/citra diri yang ada pada sosok politik tersebut (Prisgunanto-2014). Kontestan politik memanfaatkan efektifitas media sosial sebagai alat kampanye politik saat ini dan masa depan dalam menggapai pemilih dan pendukung langsung dengan menunjukan ikon mereka.

Kampanye Hitam (Black Campaign)
Sifat media sosial yang fleksibel dan banyaknya ruang dalam menyampaikan isi kampanye, maka semakin banyak celah yang dimanfaatkan oleh lawan politik. Bahayanya media sosial itu sendiri dapat dijadikan alat untuk melakukan kampanye hitam berupa penyampaian berita bohong atau hoax sehingga mampu menjatuhkan lawan politik di mata publik. Faktanya sudah banyak politisi yang merasakan ganasnya media sosial dalam menyerang karakternya termasuk kepala negara kita bapak Joko Widodo tak luput dari serangan hoax media sosial. 

Di akhir tahun 2017 terbongkarnya Saracen sindikat penyebar isu SARA membuktikan bahwa media sosial mampu berimplikasi buruk terhadap persatuan bangsa demi keuntungan pribadi atau golongan. Kampanye hitam dapat merusak demokrasi yang sudah ada dan imbasnya masyarakat tidak menemukan sosok yang tepat di pemerintahan karena informasi yang diterimanya salah.

Media Sosial dan Budaya Politik Bali
Bali memiliki kontur politik yang mengakar kuat akan budaya dan kekerabatan yang erat. Kenyataannya pengguna internet di Bali masih di dominasi di Bali selatan yang notabenenya merupakan pusat kota, pariwisata dan pendidikan tinggi. Memang terlihat perkembangan internet  terjadi kesenjangan di daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan). Fakta lainnya adalah mayoritas pemilih tradisional di Bali berlandaskan “menyama braya” dan mau tidak mau ikut menjadi faktor dalam penyampaian informasi di media sosial. 

Generasi milenial di Bali hampir dibilang sudah melek teknologi serta kritis terhadap isu-isu aktual dan mulai keluar dari budaya politik “Koh Ngomong”. Dilihat dari hal tersebut semestinya  pada pemilu kepala daerah Bali bisa dijadikan ajang unjuk kepandaian tim sukses dalam mengemas dan mengkomunikasikan para kandidat melalui media sosial. 

Terbukanya keran informasi dari masing-masing calon, semestinya memberikan ruang bagi para pengguna media sosial untuk mampu memilah dan memilih yang tepat. Jika sukses perjalanan pilkada Bali di tahun 2019 maka dampaknya tidak hanya di rasakan Bali saja, Indonesia dan di Duniapun terkena imbasnya. Memberikan informasi yang benar dengan tidak menjatuhkan lawan politik menjadikan cerminan positif bagi panggung demokrasi.

Pemerhati Teknologi Dan Budaya Kemendikbud RI


*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar