TDL Non Subsidi Bisa Naik
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan bahwa tarif listrik untuk nonsubsidi bisa naik sesuai dengan formulasi penyesuaian yang akan tersusun.
JAKARTA, NusaBali
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Andy Noorsaman Someng di Jakarta, Senin (29/1), menjelaskan bahwa formulasi baru akan disusun lagi jika memang ada faktor-faktor yang mempengaruhi harga jual listrik.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mempertimbangkan skema baru untuk memasukkan harga batu bara acuan dalam penetapan tarif dasar listrik. Pertimbangan ini didasari oleh porsi penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik masih menjadi tumpuan hingga tahun 2026 nanti. "Ini akan dicoba untuk reformulasi lagi formula penetapan tarif listrik, bagaimana kalau dengan masuknya harga batubara. Karena pembangkit kita itu 60 persen energi primernya batu bara. Jadi hingga 2026 masih dominan pakai batu bara, karena harganya lebih kompetitif, namun pembangkitnya juga harus yang teknologinya lebih 'environment friendly' " ujar Jonan. Selama ini, harga minyak Indonesia masih jadi faktor utama pengambilan keputusan Tarif Tenaga Listrik.
Sementara saat ini porsi penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel semakin kecil. "Sekarang paling 4 persen. Nah targetnya kan kalau sampai 2026 tinggal 0,05 persen. Masak pakai ICP, kalau mau pake HBA, Harga Batubara Acuan," jelas Jonan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional dari batu bara hingga 2016 sebesar 29.880,23 MW dari total 59.656,30 MW. Sedangkan, pembangkit listrik diesel hanya sebesar 6.274,79 MW secara nasional.
Terkait kepastian skema baru tersebut, Jonan belum memutuskan dan masih mencoba bersikap realistis seiring dengan perkembangan pembangkit listrik. "Belum, ini mau dibahas. Kami berusaha coba realistis," tutup Jonan.
Sebagai informasi, perhitungan Tarif Tenaga Listrik masih menggunakan tiga komponen, terdiri dari harga minyak mentah Indonesia atau ICP, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan laju inflasi.*ant
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mempertimbangkan skema baru untuk memasukkan harga batu bara acuan dalam penetapan tarif dasar listrik. Pertimbangan ini didasari oleh porsi penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik masih menjadi tumpuan hingga tahun 2026 nanti. "Ini akan dicoba untuk reformulasi lagi formula penetapan tarif listrik, bagaimana kalau dengan masuknya harga batubara. Karena pembangkit kita itu 60 persen energi primernya batu bara. Jadi hingga 2026 masih dominan pakai batu bara, karena harganya lebih kompetitif, namun pembangkitnya juga harus yang teknologinya lebih 'environment friendly' " ujar Jonan. Selama ini, harga minyak Indonesia masih jadi faktor utama pengambilan keputusan Tarif Tenaga Listrik.
Sementara saat ini porsi penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel semakin kecil. "Sekarang paling 4 persen. Nah targetnya kan kalau sampai 2026 tinggal 0,05 persen. Masak pakai ICP, kalau mau pake HBA, Harga Batubara Acuan," jelas Jonan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional dari batu bara hingga 2016 sebesar 29.880,23 MW dari total 59.656,30 MW. Sedangkan, pembangkit listrik diesel hanya sebesar 6.274,79 MW secara nasional.
Terkait kepastian skema baru tersebut, Jonan belum memutuskan dan masih mencoba bersikap realistis seiring dengan perkembangan pembangkit listrik. "Belum, ini mau dibahas. Kami berusaha coba realistis," tutup Jonan.
Sebagai informasi, perhitungan Tarif Tenaga Listrik masih menggunakan tiga komponen, terdiri dari harga minyak mentah Indonesia atau ICP, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan laju inflasi.*ant
Komentar