Jarak Tempuh Picu Siswa Putus Sekolah
Ratusan siswa putus sekolah jenjang SD dan SMP tercatat oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olaraga (Disdikpora) Kabupaten Buleleng.
SINGARAJA, NusaBali
Sebagian besar siswa yang berhenti sekolah karena akses jarak tempuh dari rumah menuju sekolah cukup jauh. Kepala Disdikpora Buleleng Gede Suyasa, ditemui Selasa (30/1), mengatakan dari ratusan siswa putus sekolah yang terdata di tahun pelajaran 2017/2018 sudah ditarik kembali ke sekolah. 62 orang di antara di jenjang SD dan 136 orang di jenjang SMP. Jumlah itu tersebar di sembilan kecamatan di Kabupaten Buleleng.
Suyasa menyebutkan jumlah itu jika dibandingkan dengan total siswa yang ada di Buleleng yakni SD 72.000 dan SMP 11.000 siswa tentu sangat rendah atau hanya 0,4 persen. Namun mereka yang berstatus sebagai warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. “Dengan posko drop out setiap tahunnya kami mencari, mendeteksi dan mendekati anak-anak yang tidak sekolah untuk dibujuk agar kembali bersekolah. Rata-rata mereka masih terkendala akses jarak tempuh dan juga faktor ekonomi,” kata Suyasa. Dia pun mengatakan persoalan jarak tempuh menuju sekolah yang selama ini menjadi alasan utama anak putus sekolah tidak terlepas dari topografi Buleleng.
Menurutnya daerah berbukit dan juga lembah tidak dapat disamakan penangannya dengan daerah lainnya di Bali. Siswa yang terdata putus sekolah pun di terik kembali dengan memberikan fasilitas yang yang selama ini menjadi hambatan mereka. Seperti misalnya akses jarak tempuh, Disdikpora Buleleng menfasilitasi sarana akomodasi siswa yang bersangkutan.
Baik berupa angkutan pedesaan roda empat, atau ojek jika akses rumahnya tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Sedangkan untuk siswa yang terekendala masalah ekonomi, ditangani dengan tunjangan berupa uang saku setiap bulannya. Solusi akomodasi dan uang saku tidak lantas menyelesaikan masalah anak putus sekolah di Buleleng
Karena tahun lalu ada kasus satu banjar di Desa Sudaji yang terisolir sampai sekarang karena akses jalannya terputus di hantam banjir. Anak-anak dari banjar itu meski kini masih bisa bersekolah dengan berjalan kaki, namun sangat berbahaya karena harus menempuh jalur melingkar di tepian suangai.
“Masalahnya cukup kompleks, khusus tujuh ornag di Sudaji ini mereka tidak bisa dibantu sepeda atau akomodasi karena aksesnya tidak ada. Mereka masih bisa sekolah setiap hari dengan menempuh jalan yang cukup jauh kesekolah dan sangat berbahaya, saat musim hujan seperti sekarang,” imbuh Suyasa.
Masalah itu pun, jelas mantan Kepala Bapeda Buleleng ini, akan dicarikan solusi dengan merevitalisasi mes di sekolah terdekat. Mereka akan disediakan fasilitas layaknya asrama dengan menggunakan mes guru di sekolah tersebut.*k23
Suyasa menyebutkan jumlah itu jika dibandingkan dengan total siswa yang ada di Buleleng yakni SD 72.000 dan SMP 11.000 siswa tentu sangat rendah atau hanya 0,4 persen. Namun mereka yang berstatus sebagai warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. “Dengan posko drop out setiap tahunnya kami mencari, mendeteksi dan mendekati anak-anak yang tidak sekolah untuk dibujuk agar kembali bersekolah. Rata-rata mereka masih terkendala akses jarak tempuh dan juga faktor ekonomi,” kata Suyasa. Dia pun mengatakan persoalan jarak tempuh menuju sekolah yang selama ini menjadi alasan utama anak putus sekolah tidak terlepas dari topografi Buleleng.
Menurutnya daerah berbukit dan juga lembah tidak dapat disamakan penangannya dengan daerah lainnya di Bali. Siswa yang terdata putus sekolah pun di terik kembali dengan memberikan fasilitas yang yang selama ini menjadi hambatan mereka. Seperti misalnya akses jarak tempuh, Disdikpora Buleleng menfasilitasi sarana akomodasi siswa yang bersangkutan.
Baik berupa angkutan pedesaan roda empat, atau ojek jika akses rumahnya tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Sedangkan untuk siswa yang terekendala masalah ekonomi, ditangani dengan tunjangan berupa uang saku setiap bulannya. Solusi akomodasi dan uang saku tidak lantas menyelesaikan masalah anak putus sekolah di Buleleng
Karena tahun lalu ada kasus satu banjar di Desa Sudaji yang terisolir sampai sekarang karena akses jalannya terputus di hantam banjir. Anak-anak dari banjar itu meski kini masih bisa bersekolah dengan berjalan kaki, namun sangat berbahaya karena harus menempuh jalur melingkar di tepian suangai.
“Masalahnya cukup kompleks, khusus tujuh ornag di Sudaji ini mereka tidak bisa dibantu sepeda atau akomodasi karena aksesnya tidak ada. Mereka masih bisa sekolah setiap hari dengan menempuh jalan yang cukup jauh kesekolah dan sangat berbahaya, saat musim hujan seperti sekarang,” imbuh Suyasa.
Masalah itu pun, jelas mantan Kepala Bapeda Buleleng ini, akan dicarikan solusi dengan merevitalisasi mes di sekolah terdekat. Mereka akan disediakan fasilitas layaknya asrama dengan menggunakan mes guru di sekolah tersebut.*k23
1
Komentar