Guru Masa Kini
Antara Tantangan dan Harapan
Lahirnya Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen terutama pasal 82 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah wajib mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang tersebut; telah memberi “angin surga” khususnya bagi arah kehidupan guru.
Guru-guru menjadi pemimpi akan terealisasinya amanat undang-undang tersebut, sehingga akan memberikan suatu perubahan penghasilan yang akan mengubah nasib mereka menjadi lebih sejahtera, tetapi tidak sedikit juga guru-guru yang “meboye” (tidak percaya) akan terwujudnya amanat undang-undang tersebut.
Dan, mimpi-mimpi kaum guru akan terealisasinya tunjangan sertifikasi guru kian mendekati kenyataan seiring dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan; Pasal 7 menyatakan bahwa guru yang terdaftar sebagai calon peserta sertifikasi guru pada tahun 2006 dan telah memiliki sertifikat pendidik dan nomor registrasi guru dari Departemen Pendidikan Nasional sebelum Oktober 2007 memperoleh tunjangan profesi pendidik terhitung mulai 1 Oktober 2007.
Sejak itulah, gairah dan harapan dari guru-guru menjadi kenyataan. Sesuai bunyi Pasal 4 Permendiknas tersebut, Menteri Pendidikan Nasional menetapkan jumlah dan kuota peserta sertifikasi bagi guru dalam jabatan setiap tahun. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menentukan peserta sertifikasi berdasarkan kuota yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Penentuan peserta sertifikasi sebagaimana dimasud pada ayat (2) berpedoman pada kriteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal PMPTK.
Dinas pendidikan kabupaten/kota lalu mendistribusikan pula kouta tersebut ke semua jenjang pendidikan (dari TK s.d. SMA). Berbagai strategi diterapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota tersebut. Ada yang sudah siap dengan sistem data base (mengurut sesuai dengan usia, masa kerja) sepanjang sudah memenuhi syarat, ada pula yang mengutamakan guru-guru berprestasi yang sudah memenuhi syarat. Tetapi, mungkin juga ada yang menempuh “jalan tikus” demi kesempatan memperoleh tunjangan profesi.
Pada awalnya dilaksanakan dengan penilaian sistem fortopolio (Pasal 2 Permendiknas No. 18 Tahun 2007, ayat 1). Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan: kualifikasi akademik; pendidikan dan pelatihan; pengalaman mengajar; perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; penilaian dari atasan dan pengawas; prestasi akademik; karya pengembangan profesi; keikutsertaan dalam forum ilmiah; pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Guru yang lulus penilaian portofolio mendapat sertifikat pendidik, yang tidak lulus penilaian portofolio dapat: melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai lulus; atau mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan ujian; mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Jika ada guru dalam jabatan yang belum lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru diberi kesempatan untuk mengulang ujian materi pendidikan dan pelatihan yang belum lulus.
Sejak saat itulah mulai ramai dilaksanakan berbagai kegiatan temu ilmiah, semacam: seminar, kolokium, diklat, workshop, dan sebagainya oleh berbagai perguruan tingggi, organisasi profesi, atau pemerintah. Kegiatan ini laris manis bak kacang goreng, walaupun terkadang biayanya ratusan ribu hanya demi selembar piagam/sertifikat. Apalagi jika kegiatan itu berlebel nasional, nilai jual dan nilai pengakuan sertifikatnya lebih tinggi. Praktik jual-beli sertifikat pun sepertinya tak terhindarkan, bahkan tidak jarang yang pinjam untuk difoto kopi dan ganti nama. Guru sibuk mengejar sertifikat/piagam, kadang melalaikan tugas utama. Maklumlah karena mereka juga bermimpi mendapatkan tunjangan profesi.
Tak ada yang abadi selain perubahan. Seiring perjalanan waktu, aturan bagi penerima sertifikasi pun mulai berubah. Aturan yang hanya membolehkan bagi guru yang sudah S-1 dan memiliki Akta-IV, lalu diperlunak dengan memberi kesempatan kepada mereka yang belum ber –S-1 tetapi sudah berusia 50 tahun ke atas dengan pengabdian minimal 20 tahun. Sistem penilaian portofolio hanya berlangsung ±2 tahun, lalu mulai diterapkan dengan sistem diklat (PLPG) oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
SELANJUTNYA...
Komentar