Menonton Wayang
Seorang lelaki punya pengalaman sangat berkesan ketika menonton pertunjukan wayang kulit.
Waktu itu awal 1960-an, dia masih di sekolah dasar. Dari kota tempat tinggalnya di Klungkung, dia acap pulang kampung, sebuah dusun di Gianyar. Kendati Gianyar–Klungkung cuma 12 kilometer, tapi pulang kampung kala itu sungguh peristiwa berkesan, peristiwa yang ditunggu-tunggu, naik bus antar–kota yang tak lebih sepuluh bus pergi–pulang sehari.
Kakek di kampung selalu menghubunginya, titip pesan lewat sopir bus, agar si cucu pulang kampung kalau ada pertunjukan wayang kulit dengan dalang-dalang terbaik. Si kakek meminta si cucu tidur dulu malam hari sebelum pertunjukan wayang kulit digelar. Begitu gender ditabuh, si cucu akan dibangunkan oleh kakek. Terkantuk-kantuk anak lanang itu dipangku kakek menonton wayang.
Anak itu senang sekali pada adegan perang. Jika wayang melakonkan Bharatayudha, dia pasti girang. Kalau ada adegan cuma omong-omong dalam bahasa Kawi, si anak sering tertidur. “Kalau sudah ada perang, bangunkan saya ya Kek,” pintanya.
Saking senang sama adegan perang, si anak berpikir, ke mana mayat-mayat itu dibawa? Ketika Bima memukulkan gada pada raksasa yang akhirnya terkapar, ke mana mayat raksasa itu pergi? “Mayat-mayat wayang itu ada di sana, di antara dalang,” jawab si kakek ketika ditanya. Dan si anak percaya mayat-mayat wayang memang ada.
“Saya ingin melihat mayat-mayat itu, boleh Kek?”
“Ooooo bisa-bisa. Kita lihat besok pagi-pagi saja, jika dalang dan penabuh gender sudah pulang.”
Keesokan hari, subuh si anak bangun, mengajak kakeknya mencari mayat-mayat wayang. Tentu, tak dia temukan satu wayang pun. “Wah, sudah ada yang mendahului kita mengambil jasad-jasad itu,” jelas si kakek, berpura-pura kaget. Dan si cucu percaya.
Saat lain, ketika si anak pulang kampung dan menonton wayang kulit, dia kembali meminta kakeknya mengantar mencari jasad wayang. Ketika bangkai wayang tak ditemukan, si kakek selalu menjelaskan ada yang mendahului mereka mengambil mayat wayang-wayang itu.
Pengalaman menonton wayang, mencari bangkai wayang yang kalah perang, menjadi kenangan sangat berkesan bagi laki-laki yang sudah bercucu itu. Dia berniat mengajak cucu-cucunya menonton wayang kulit, namun tak seorang pun menyukai pertunjukan itu. Padahal sekarang banyak wayang yang dikemas modern, dengan sinar laser, wayang listrik, dan pantulan bermacam bayangan hasil rekayasa teknologi cahaya ke kelir. Cucu-cucu itu tak seorang pun yang suka.
Untuk apa menonton wayang kulit? Menikmati karawitannya? Atau menatap bagaimana selembar kulit ditatah dan diukir? Atau menikmati tatahan-tatahan kulit itu diproyeksikan ke kelir dengan sapuan muram lampu blencong?
Orang Bali, dulu, menonton wayang tidak semata untuk hiburan, bukan cuma pelepas penat, tapi yang utama untuk menikmati cerita. Dalam kisah-kisah Mahabharata banyak bisa ditemui kisah menggetarkan. Dalam Bharatayuda yang sengit, menyuguhkan tidak cuma perang hebat, tapi juga bagaimana waktu memutuskan sosok-sosok sakti mandraguna tunduk dan takluk pada takdir.
Wayang menyodorkan cerita yang berulang-ulang, sama, dan orang Bali tak bosan-bosan menikmatinya penuh gairah. Wayang memberi penokohan yang kuat, sudut pandang yang memikat, tak pernah habis diperbincangkan. Tapi wayang menghadapi tantangan zaman karena teknologi menyodorkan hiburan lebih berbinar. Jika kemudian orang-orang masih menonton wayang kulit, karena para pekerja kesenian memanfaatkan teknologi itu.
Tapi, apakah karena keterbukaan semata wayang sebagai kesenian tradisi terhadap seni masa kini menyebabkan ia masih ditonton? Kini kita mengenal wayang listrik, yang dinilai sebagai kreativitas mentakjubkan. Namun, banyak yang lebih menyukai wayang asli, yang klasik, dengan lampu blencong.
Ada yang berpendapat, orang menonton wayang kini tidak lagi mengutamakan cerita. Mereka menonton untuk menikmati celetukan-celetukan sehari-hari yang hidup di masyarakat. Mereka menonton wayang karena ada suguhan-suguhan sindiran. Sindiran-sindiran itu semakin meriah dan berdenyar karena kaya dengan gosi-gosip nyerempet-nyerempet seks.
Orang bilang, wayang zaman kini kaya dengan celetukan seks. Mereka suka dan menunggu-nunggu celetukan seks itu. Tak keliru jika mucul komentar, wayang kulit sekarang itu jaruh, porno, yang justru membuat orang semakin suka. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Kakek di kampung selalu menghubunginya, titip pesan lewat sopir bus, agar si cucu pulang kampung kalau ada pertunjukan wayang kulit dengan dalang-dalang terbaik. Si kakek meminta si cucu tidur dulu malam hari sebelum pertunjukan wayang kulit digelar. Begitu gender ditabuh, si cucu akan dibangunkan oleh kakek. Terkantuk-kantuk anak lanang itu dipangku kakek menonton wayang.
Anak itu senang sekali pada adegan perang. Jika wayang melakonkan Bharatayudha, dia pasti girang. Kalau ada adegan cuma omong-omong dalam bahasa Kawi, si anak sering tertidur. “Kalau sudah ada perang, bangunkan saya ya Kek,” pintanya.
Saking senang sama adegan perang, si anak berpikir, ke mana mayat-mayat itu dibawa? Ketika Bima memukulkan gada pada raksasa yang akhirnya terkapar, ke mana mayat raksasa itu pergi? “Mayat-mayat wayang itu ada di sana, di antara dalang,” jawab si kakek ketika ditanya. Dan si anak percaya mayat-mayat wayang memang ada.
“Saya ingin melihat mayat-mayat itu, boleh Kek?”
“Ooooo bisa-bisa. Kita lihat besok pagi-pagi saja, jika dalang dan penabuh gender sudah pulang.”
Keesokan hari, subuh si anak bangun, mengajak kakeknya mencari mayat-mayat wayang. Tentu, tak dia temukan satu wayang pun. “Wah, sudah ada yang mendahului kita mengambil jasad-jasad itu,” jelas si kakek, berpura-pura kaget. Dan si cucu percaya.
Saat lain, ketika si anak pulang kampung dan menonton wayang kulit, dia kembali meminta kakeknya mengantar mencari jasad wayang. Ketika bangkai wayang tak ditemukan, si kakek selalu menjelaskan ada yang mendahului mereka mengambil mayat wayang-wayang itu.
Pengalaman menonton wayang, mencari bangkai wayang yang kalah perang, menjadi kenangan sangat berkesan bagi laki-laki yang sudah bercucu itu. Dia berniat mengajak cucu-cucunya menonton wayang kulit, namun tak seorang pun menyukai pertunjukan itu. Padahal sekarang banyak wayang yang dikemas modern, dengan sinar laser, wayang listrik, dan pantulan bermacam bayangan hasil rekayasa teknologi cahaya ke kelir. Cucu-cucu itu tak seorang pun yang suka.
Untuk apa menonton wayang kulit? Menikmati karawitannya? Atau menatap bagaimana selembar kulit ditatah dan diukir? Atau menikmati tatahan-tatahan kulit itu diproyeksikan ke kelir dengan sapuan muram lampu blencong?
Orang Bali, dulu, menonton wayang tidak semata untuk hiburan, bukan cuma pelepas penat, tapi yang utama untuk menikmati cerita. Dalam kisah-kisah Mahabharata banyak bisa ditemui kisah menggetarkan. Dalam Bharatayuda yang sengit, menyuguhkan tidak cuma perang hebat, tapi juga bagaimana waktu memutuskan sosok-sosok sakti mandraguna tunduk dan takluk pada takdir.
Wayang menyodorkan cerita yang berulang-ulang, sama, dan orang Bali tak bosan-bosan menikmatinya penuh gairah. Wayang memberi penokohan yang kuat, sudut pandang yang memikat, tak pernah habis diperbincangkan. Tapi wayang menghadapi tantangan zaman karena teknologi menyodorkan hiburan lebih berbinar. Jika kemudian orang-orang masih menonton wayang kulit, karena para pekerja kesenian memanfaatkan teknologi itu.
Tapi, apakah karena keterbukaan semata wayang sebagai kesenian tradisi terhadap seni masa kini menyebabkan ia masih ditonton? Kini kita mengenal wayang listrik, yang dinilai sebagai kreativitas mentakjubkan. Namun, banyak yang lebih menyukai wayang asli, yang klasik, dengan lampu blencong.
Ada yang berpendapat, orang menonton wayang kini tidak lagi mengutamakan cerita. Mereka menonton untuk menikmati celetukan-celetukan sehari-hari yang hidup di masyarakat. Mereka menonton wayang karena ada suguhan-suguhan sindiran. Sindiran-sindiran itu semakin meriah dan berdenyar karena kaya dengan gosi-gosip nyerempet-nyerempet seks.
Orang bilang, wayang zaman kini kaya dengan celetukan seks. Mereka suka dan menunggu-nunggu celetukan seks itu. Tak keliru jika mucul komentar, wayang kulit sekarang itu jaruh, porno, yang justru membuat orang semakin suka. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar