nusabali

Buka 'Kelas Persiapan Perkawinan' bagi Calon Pengantin

  • www.nusabali.com-buka-kelas-persiapan-perkawinan-bagi-calon-pengantin

Ada empat hal yang secara intensif dibahas dalam ‘Kelas Persiapan Perkawinan’, yakni pengetahuan dasar hukum adat Bali dan hukum perkawinan, pengetahuan dasar tentang sosial budaya Bali, mengelola potensi ekonomi keluarga, serta kesehatan reproduksi

Komunitas Banjar Bali Study Club Luncurkan Program Rintisan di Ubud


GIANYAR, NusaBali
Komunitas Banjar Bali Study Club yang diprakarsai ahli Hukum Adat Prof Dr Wayan P Windia buat pertama kalinya melaksanakan kegiatan ‘Kelas Persiapan Perkawinan’ bagi generasi muda calon pengantin. ‘Kelas Persiapan Perkawinan’ pertama dan sekaligus satu-satunya di Bali ini telah dimulai, Minggu (4/2), di Museum Patung Pendet, Desa Nyuh Kuning, Kecamatan Ubud, Gianyar.

Sesuai namanya, ‘Kelas Persiapan Perkawinan’ dengan filosofi 'Guyu Guyu Saja, Uli Cenik Ngae Besik Dadi Liu' ini bertujuan mengedukasi generasi muda tentang segala proses perkawinan. ‘Kelas Persiapan Perkawinan’ ini akan digelar secara rutin, sebulan sekali pada Minggu pertama. Meski disebut kelas, suasana belajarnya tidak sama dengan sekolah maupun kampus. Di kelas ini, para calon pengantin bisa duduk di mana saja, bertanya apa saja, dan mengajak siapa saja.

Ada empat hal yang secara intensif dibahas dalam ‘Kelas Persiapan Perkawinan’ yang diikuti 20 muda-mudi ini. Pertama, pengetahuan dasar hukum adat Bali dan hukum perkawinan. Kedua, pengetahuan dasar tentang sosial budaya Bali. Ketiga, mengelola potensi ekonomi keluarga. Keempat, kesehatan reproduksi.

Menurut Prof Dr Wayan P Windia, perkawinan adalah peristiwa yang penting dan pokok. Maka itu, harus dipersiapkan mengantisipasi kasus rumah tangga semisal KDRT, perceraian, dan sebagainya. "Kami mengundang siapa saja yang berminat untuk belajar mempersiapkan perkawinan yang ideal, terutama bagi generasi muda bahkan yang belum punya pacar. Mari lebih hati-hati dalam memilih pasangan," jelas Prof Windia.

Bagi Prof Windia, kawin tidak cukup bermodalkan cinta. Kawin juga perlu didukung modal tambahan, seperti pengetahuan tentang hukum perkawinan, sosial budaya, potensi ekonomi calon pengantin, dan kesehatan.

Prof Windia menekankan, ketika seseorang memutuskan untuk kawin, orang tersebut dianggap sudah dewasa. "Secara hukum, orang yang sudah kawin langsung dianggap dewasa. Meski usianya baru 15 tahun, tapi jika sudah kawin, dia dianggap dewasa," tegasnya.

Status dewasa itu pun melekat pada dirinya, yang mau tidak mau harus menjalani hidup berumah tangga. Namun, pada usia yang sejatinya belum cocok untuk kawin, beberapa masalah akan muncul selama perkawinan. "Berani kawin, artinya berani menghadapi masalah. Mulai dari masalah pribadi dengan pasangan, masalah dengan keluarga suami atau sebaliknya," ujar Prof Windia.

Bukan hanya itu, seseorang yang sudah kawin, selanjutnya akan bermasyarakat. Maka, dengan modal cinta saja, belum cukup menyelesaikan masalah ini. "Kawin itu penting, jangan dianggap enteng. Kawinlah dengan persiapan yang matang," sarannya.

Menurut Prof Windia, banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memasuki tahapan hidup Grheasta Asrama. Apalagi di era globalisasi ini, cukup banyak terjadi perkawinan beda agama, beda budaya. Bahkan, meski perkawinan sesama orang Bali pun, sering terjadi kasus ketika pihak laki-laki dan perempuan adalah anak tunggal. Cukup sering pula ditemui permasalahan nyentana mempelai laki-laki tinggal dan jadi ahli waris di rumah mempelai perempuan.

"Nah, ini yang harus diantisipasi. Sebelum memutuskan untuk pacaran atau kawin, cari informasi dulu. Jika laki-laki nggak mau nyentana, jangan dekati perempuan yang anak tunggal atau saudaranya semua perempuan," pinta Prof Windia.

Antisipasi masalah perkawinan, kata Prof Windia, sejatinya mudah dilakukan. Hanya saja di lapangan, cinta membutakan segalanya. "Kawin itu bukan sekadar cinta. Sesudah kawin, perlu hidup, supaya bisa mengelola keahlian. Juga perlu untuk mengenali penyakit masing-masing. Nah, jika dirasa sudah cocok, barulah melangsungkan perkawinan," jelasnya.

Terkait ‘Kelas Persiapan Perkawinan’ yang baru diluncurkannya, menurut Prof Windia, untuk membahas persiapan perkawinan tidak cukup hanya 4-6 jam per hari. Makanya, kelas ini dibuka secara reguler sebulan sekali. "Setiap saat akan ada instruktur tamu dengan berbagai macam keahlian. Kita akan bahas cara mengelola potensi diri. Targetnya, untuk membangun rumah tangga dan rumah tinggal yang bahagia dan sejahtera," katanya.

Dalam komunitas ini, Banjar Bali Study Club yang diprakarsai Prof Windia juga menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Woman Crisis Centre Bali, Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak (KPPA) Daerah Bali, bidang pendidikan dan kebudayaan, serta praktisi kesehatan.

"Sesekali waktu, kami akan undang keluarga-keluarga sukses yang bahagia dan sejahtera. Mereka akan hadir memberikan testimoni."  Kedepan, Banjar Bali Studi Club ini diproyeksikan sebagai tempat belajar non formal tentang desa adat dan budaya Bali, dilaksanakan dalam waktu terbatas dengan cara sederhana.

Sementara itu, Komisioner Bidang Pendidikan dan Kebudayaan KPPA Daerah Bali, Ir Kadek Ariyasa, mengapresiasi ‘Kelas Persiapan Perkawinan’ yang diluncurkan Komunitas Banjar Bali Stdy Club. Menurut Kadek Ariyasa, kelas ini bagus karena sangat erat kaitannya dengan salah satu upaya pencegahan kekerasan terhadap anak.

"Kasus kekerasan terhadap anak, sebagian besar ditimbulkan dalam rumah tangga. Jadi, kelas ini sangat penting untuk mencegah hal itu. Kami sangat mendukung wadah dengan kegiatan seperti ini, khususnya bidang pendidikan dan kebudayaan," ujar Ariyasa yang hadir dalam acara kemarin. Ariyasa menyatakan, hal seperti ini menjadi bagian penting pendidikan sejak dini, sebelum memutuskan untuk melakukan perkawinan, sehingga calon suami istri siap lahir bathin.

Sedangkan Pengelola Patung Pendet, Desa Nyuh Kuning, I Made Saduarsa, menyatakan ‘Kelas Persiapan Perkawinan’ ini sejalan dengan visi misi museum sebagai tempat edukasi, sosial, dan budaya. Terlebih, museum ini merupakan warisan budaya masyarakat Gianyar.

Menurut Made Saduarsa, museum ini mencerminkan sebuah nilai yang luhur terkait dengan historis yang tinggi, tentang cikal bakal pahatan seni masyarakat Desa Nyuh Kuning. Di dalam museum ini terdapat berbagai koleksi hasil karya seni lukis dan patung yang merupakan buah karya agung seniman Bali ternama, Wayan Pendet, yang notabene ayah kandung dari Sadurasa.

Wayan Pendet telah menghasilkan lebih kurang 80 karya patung dan 29 buah lukisan. Wayan Pendet dikenal sebagai seniman yang menyandang predikat sebagai pematung sekaligus pelukis ulung, yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh orang lain, baik seniman maupun orang awam. “Mengapa patung dan lukisan? Karena antara patung dan lukisan memiliki hubungan yang sangat erat, di mana objek-objek lukisan Wayan Pendet adalah patung-patung hasil karyanya sendiri,” papar putra keenam dari Wayan Pendet ini.

Sadurasa menyebutkan, patung-patung Wayan Pendet tak hanya memiliki nilai estika yang tinggi, namun juga memiliki ciri khas dalam bentuknya sehingga mengundang senyum bagi siapa pun yang melihatnya, seperti Patung Cak dengan tinggi sekitar 2,5 meter, yang menggambarkan kerumunan penari kecak yang tumpang tindih dengan gerak jenaka. Ada juga Patung Garuda setinggi 80 cm dengan mimik menoleh dan bentuk sayap rileks berbeda dengan dari Patung Garuda lainnya yang kaku menatap kedepan. *nvi

Komentar