nusabali

Elegi Sang Guru

  • www.nusabali.com-elegi-sang-guru

Kehidupan guru di era reformasi ini berada di antara zona nyaman dan ancaman. 

Nyaman karena sebagian guru kesejahteraannya sudah mulai diperhatikan, namun banyak juga (utamanya) guru-guru honor yang mendapatkan imbalan jauh lebih kecil dari profesi seorang pembantu rumah tangga, dengan kisaran honor Rp 200.000 s.d. 500.000. Ancaman biasanya muncul dari zona internal dan eksternal.

Seperti kita ketahui bahwa kekebasan menyampaikan pendapat seakan menjadi mimbar bebas oleh masyarakat (termasuk siswa) untuk menyampaikan pendapatnya, termasuk jika berhubungan dengan dunia pendidikan. Berbagai protes/hujatan terhadap guru atau lembaganya sering mengalir, baik melalui media sosial, media cetak maupun secara langsung. Sayangnya, mereka-mereka yang protes atau menghujat sesungguhnya tidak paham kondisi yang sebenarnya dan tidak memahami tugas dan kewajiban seorang guru di sekolah.

Kelahiran otonomi daerah juga turut memberikan akses guru dalam zona kurang nyaman. Guru sering merasa dalam tekanan dalam bertugas karena bila salah sedikit atau sedikit keras dalam mendidik, bisa menjadi laporan kepada orangtua/wali murid. Buntutnya, bisa menjadi laporan kepada “penguasa” untuk bahan kajian membuat kebijakan, seperti mutasi. Apalagi, jika orangtua/wali murid tersebut adalah orang kuat, orang dekat, atau tim sukses dari “penguasa”. Hal ini pulalah yang menyebabkan guru terkadang menjadi apatis, skeptis, dan mengesampingkan tugas mendidiknya dari pada bersentuhan dengan pihak-pihak eksternal yang sekiranya dapat mengancam ketentraman dan kenyamanan batinnya saat bertugas. Terlebih bagi guru yang bukan berasal dari daerah setempat, maka semakin khawatirlah untuk bertindak dengan maksud mendidik.

Salahkah para guru bersikap seperti itu? Jika dilihat dari sisi aturan, bahwa tugas dan kewajiban guru adalah mendidik, mengajar, dan juga mengevaluasi tentu sikap seperti itu merupakan sikap yang salah. Akan tetapi, jika melihat potensi yang kemungkinan muncul dari niat mendidik lalu bisa menimbulkan perkara baru justru dengan pihak-pihak eksternal, tentu bisa diamini jika mereka memilih zona nyaman.

Hadirnya Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, junto Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta lembaga HAM, seolah-olah menjadi angin segar bagi para siswa maupun orangtua/wali yang kurang menyadari bahwa niat guru mendidik agar para siswa disiplin dan berakhlak mulia. Mereka yang seperti itu cenderung berkeinginan agar  tidak pernah mendapatkan kemarahan atau tindakan mendidik dari guru-guru yang bermaksud membina atau mendisiplinkannya dengan berlindung di balik Undang-Undang Perlindungan Anak serta HAM. 

Walaupun banyak orangtua/wali yang sadar dan menyerahkan semua proses pendidikan anak-anaknya kepada pihak sekolah, tetapi banyak juga kita temukan adanya ketidakberterimaan dari siswa, orangtua/wali siswa, terkadang sampai berbuntut pada tindakan kekerasan atau pelaporan ke pihak berwajib oleh orang tua siswa. Ancaman kekerasan atau proses hukum yang diterima oleh guru seakan merata terjadi di negeri ini di era reformasi ini. Kasus seorang guru yang mencubit siswanya, misalnya harus berurusan dengan pengadilan. Saya sendiri pernah mengalami; gara-gara memarahi siswa mencuri HP di sekolah saat perkemahan, lalu orangtuanya datang dan marah-marah; gara-gara menegur dan menampar kepala siswa dengan selembar kertas tugas yang dikeluarkan dari saku celananya, berbuntut laporan ke ortu dengan pengakuan yang berbeda dengan fakta yang sebenarnya terjadi.

Kita juga teramat sering menyaksikan, membaca/menonton tayangan di berbagai media cetak, televisi, atau media sosial online tentang kekerasan, ancaman, atau pelaporan yang diterima oleh guru-guru di berbagai daerah. Jika guru-guru tersebut ditengarai melakukan tindakan pembinaan yang berlebihan dan membahayakan keselamatan jiwa siswa, melakukan tindakan asusila (pelecehan seksual, pemerkosaan) tentu sangat wajar untuk menerima balasan, itu pun semestinya melalui sebuah proses penyelidikan dan penyidikan dengan mengedepankan azas praduga tak bersalah. Jika terbukti, pantaslah untuk dikenakan sanksi pidana atau pun dalam jabatan. Jika pengadilan atau proses hukum tidak bisa membuktikan, tentu nama baiknya harus direhabilitasi. Namun, terkadang proses seperti itu tidak berjalan. Tindakan kekerasan dan ancaman sering diterima oleh kaum guru. 

Salah satu kasus teranyar adalah “gugurnya” Ahmad Budi Cahyono guru SMAN 1 Torjun Sampang, yang viral di media sosial dan juga diberitakan oleh beberapa satasiun televisi nasional. Ahmad Budi Cahyono adalah sosok guru honorer dengan pendidikan sarjana bergaji dibawah 500 ribu “gugur” di tangan siswanya sendiri. Kronologi kejadiannya bahwa pada hari Kamis, 1 Februari 2018 pukul 13.00 WIB pada saat sesi jam terakhir, Pak Budi sedang mengajar Mata Pelajaran Seni Rupa di kelas IX materi seni lukis. Pada saat jam pelajaran, siswa a.n. Moh. Holili tidak mendengarkan pelajaran dan justru mengganggu teman-temannya dengan mencoret-coret lukisan mereka. Pak Budi lalu menegur siswa Moh. Holili, namun tidak dihiraukan. Malahan si Holili semakin menjadi-jadi mengganggu teman-temannya. Akirnya, Pak Budi menindak siswa tersebut dengan mencoret pipi Holili dengan cat lukis.  Moh. Holili tidak terima dan memukul Pak Budi, kemudian dilerai oleh siswa dan para guru. Pak Budi kemudian dibawa ke ruang guru lalu menjelaskan duduk perkaranya kepada kepala sekolahnya. Saat itu, Kepsek tidak melihat adanya luka di tubuh dan wajah Pak Budi dan mempersilahkannya agar pulang duluan. Kemudian, kepala sekolahnya mendapat kabar dari pihak keluarga Pak Budi bahwa sesampainya di rumah, Pak Budi istirahat (tidur) karena mengeluh sakit pada lehernya. Selang beberapa saat, Beliau kesakitan dan tidak sadarkan diri (koma) dan langsung dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo-Surabaya. Kondisinya semakin kritis dan nyawanya tidak tertolong. Hasil diagnosa dokter mengatakan bahwa Beliau mengalami MBA (Mati Batang Otak) dan semua organ dalam sudah tidak berfungsi (Oknews.co.id).

Kasus di atas menjadi kisah nyata yang sangat menyayat hati kita, yang mana upaya mendisiplinkan murid mendapat perlawanan terhadap etika dan moral yang merupakan dasar penting bagi pendidikan di Indonesia. Perlindungan bagi guru begitu lemah dan opini publik seakan tidak berpihak pada guru, yang akhirnya membawa korban Pak Budi Cahyono, seorang guru yang tanpa pamrih mau mengajar SMAN 1 Torjun Sampang. Kasus ini pula melecut kepedulian para aktivits PGRI yang sedang Konkernas V di Batam secara spontan berdonasi kepada keluarga Pak Budi Cahyono, sesuai kabar ketua PGRI Kabupaten Karangasem, I Gede Ariyasa lewat pesan WhatsApp.

Apakah ketiadaan aturan atau payung hukum yang menyebabkan guru menjadi tidak nyaman di dalam bertugas? Sesungguhnya, guru terlindungi oleh Peraturan Pemerintah yang melindungi Guru dalam melaksanakan tugasnya adalah PP No. 74 tahun 2008, yang bunyinya seperti berikut ini. 1) Pasal 39 ayat 1. "Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya,". Dalam ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. 2) Pasal 40. "Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing,". Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja. 3) Pasal 41. "Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain." 

Permasalahannya adalah kurangnya sosialisasi peraturan tersebut di kalangan para pengambil kebijakan, masyarakat, para orangtua/wali serta siswa dan di kalangan pendidik sendiri oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak yang memahami peraturan tersebut. Jika tindakan seperti itu dilaksanakan secara masif dan terencana, niscaya kasus-kasus seperti itu bisa dikurangi. Para siswa, orangtua/wali, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) pun sudah semestinya memahami dan mengindahkan peraturan tersebut. 

Akhirnya, selaku guru saya hanya bisa berdoa dan berharap apa yang diperjuangkan dan direkomendasikan oleh PGRI melalui Konkernas V di Batam mendapat respon yang positif dari pemerintah serta mendapatkan tindak lanjut.

Rujukan:
1. http://www. Oknews.co.id.
2. http://www.sinarberita.com/2016/08/mahkamah-agung-guru-tak-bisa-dipidana.html.
3. Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014, tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Penulis : I Wayan Kerti



*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar