Siswi SMP Sekolah Sambil Maburuh
Sugiartini sering bawa janur ke sekolah, saat jam istirahat ia ngulat (menganyam) ketupat.
BANGLI, NusaBali
Salah satu siswi SMPN 2 Tembuku, Ni Ketut Sugiantini, 14, jadi buruh angkut buah nangka. Siswi kelas VIIIE ini rela bekerja serabutan agar memiliki bekal untuk ke sekolah. Sebab orangrunya jarang bisa bekerja karena sakit-sakitan. Pihak sekolah sudah mengupayakan beasiswa agar pendidikannya tak terputus, namun terkendala kartu miskin.
Sugiantini merupakan anak ke tujuh dari tujuh bersaudara ini menuturkan, beberapa waktu jarang ke sekolah karena memilih untuk bekerja. Sampai akhirnya pihak sekolah melakukan penjajakan agar Sugiantini bisa tetap melanjutkan pendidikan. Ia menceritakan, orangtuanya I Nyoman Tileh dan Ni Ketut Payu jarang bisa bekerja karena sudah tua. Kalau pun bekerja, hanya sebagi buruh angkut kayu. Sementara dari 6 saudaranya, hanya I Komang Soma Ariada yang belum berumah tangga. Komang Ariada yang diandalkan menafkahi keluarga.
Diceritakan, Komang Ariada juga putus sekolah karena keterbatasan biaya. Kini ia bekerja sebagai buruh di perusahaan kayu. “Kakak saya yang membiayai kebutuhan sehari-hari. Kalau ada uang, saya diberi bekal Rp 5.000 untuk ke sekolah,” ungkap Sugiantini saat ditemui di SMPN 2 Tembuku, Selasa (6/2). Sugiantini lebih sering tidak bawa bekal ke sekolah. Kalaupun dapat bekal, ia berusaha irit, cukup beli nasi Rp 2.000. Ia pun berusaha mencari uang sendiri sebagai buruh angkut buah nangka disekitar rumahnya. Biasanya ia mendapat upah Rp 1.000 untuk satu buah nangka ukuran besar. “Upah tergantung dari ukuran buah nangka yang diangkut,” ujarnya.
Namun kini tidak musim buah nangka, Sugiantini beralih membuat ketupat. Hasil jualan ketupat tidak menent karena cukup banyak orang menjualnya. Bahkan Sugiantini tidak malu membawa jaur ke sekolah. Saat jam istirahat ia ngulat (menganyam) ketupat. “Kadang teman-teman di kelas membantu saya membuat ketupat,” ucapnya. Sugiantini mengaku tidak malu dengan kondisi tersebut, yang terpenting bisa tetap sekolah. Ketupat itu dijual di Pasar Desa, tak jauh dari sekolah. Sugiantini juga terbiasa jadi buruh angkut kayu bakar. Kadang juga membuat canang dan dijual ke Waka Kesiswaan, Sang Nyoman Cakra. “Bapaknya yang minta agar dibawakan canang setiap hari ke sekolah. Dan bapaknya juga yang memberikan modal,” jelasnya.
Sementara Sang Nyoman Cakra menyampaikan awalnya ia memberikan uang Rp 50 ribu. Dalam sangkaannya, uang itu dibelikan makanan, namun uang tersebut dijadikan modal membuat tamas (bahan upakara Hindu dari janur). “Anak ini bisa mempertanggungjawabkan uang tersebut. Kemudian saya minta untuk membawakan canang setiap hari. Selain bisa menambah penghasilan, secara tidak langsung saya mengarahkan anak ini untuk tetap sekolah. Kalau tidak sekolah tentu canangnya tidak terjual,” jelasnya. Sang Nyoman Cakra mengaku sudah mengupayakan beasiswa, hanya saja sejumlah persyaratanya belum lengkap. “Harus ada surat keterangan tidak mampu atau kartu yang menunjukkan yang bersangkutan siswa miskin. Kami terbentur itu, karena siswa kami ini tidak memiliki kartu miskin,” jelasnya.
Sementara Kepala SMPN 2 Tembuku, I Made Degdeg akan berkoordinasi dengan desa serta kecamatan. Mengingat Sugiantini tergolong siswa tidak mampu, namun kepala keluarga belum terdata sebagai KK kurang mampu atau miskin. “Kami akan koordinasikan karena kewenangan pihak desa untuk mengeluarkan surat keterangan tidak mampu,” jelasnya. Dikatakan, ada 17 siswa yang diusulkan untuk bisa menerima beasiswa. Ke-17 siswa itu sudah memiliki kartu miskin. “Kami kurang tahu besaranya karena beasiswa diberikan langsung pada siswa melalui rekening masing-masing siswa,” imbuhnya. Degdeg akan mengupayakan membantu atau memfasilitasi siswa yang tidak mampu agar menerima beasiswa, sehingga tidak ada siswa putus sekolah akibat terkendala biaya. *e
Sugiantini merupakan anak ke tujuh dari tujuh bersaudara ini menuturkan, beberapa waktu jarang ke sekolah karena memilih untuk bekerja. Sampai akhirnya pihak sekolah melakukan penjajakan agar Sugiantini bisa tetap melanjutkan pendidikan. Ia menceritakan, orangtuanya I Nyoman Tileh dan Ni Ketut Payu jarang bisa bekerja karena sudah tua. Kalau pun bekerja, hanya sebagi buruh angkut kayu. Sementara dari 6 saudaranya, hanya I Komang Soma Ariada yang belum berumah tangga. Komang Ariada yang diandalkan menafkahi keluarga.
Diceritakan, Komang Ariada juga putus sekolah karena keterbatasan biaya. Kini ia bekerja sebagai buruh di perusahaan kayu. “Kakak saya yang membiayai kebutuhan sehari-hari. Kalau ada uang, saya diberi bekal Rp 5.000 untuk ke sekolah,” ungkap Sugiantini saat ditemui di SMPN 2 Tembuku, Selasa (6/2). Sugiantini lebih sering tidak bawa bekal ke sekolah. Kalaupun dapat bekal, ia berusaha irit, cukup beli nasi Rp 2.000. Ia pun berusaha mencari uang sendiri sebagai buruh angkut buah nangka disekitar rumahnya. Biasanya ia mendapat upah Rp 1.000 untuk satu buah nangka ukuran besar. “Upah tergantung dari ukuran buah nangka yang diangkut,” ujarnya.
Namun kini tidak musim buah nangka, Sugiantini beralih membuat ketupat. Hasil jualan ketupat tidak menent karena cukup banyak orang menjualnya. Bahkan Sugiantini tidak malu membawa jaur ke sekolah. Saat jam istirahat ia ngulat (menganyam) ketupat. “Kadang teman-teman di kelas membantu saya membuat ketupat,” ucapnya. Sugiantini mengaku tidak malu dengan kondisi tersebut, yang terpenting bisa tetap sekolah. Ketupat itu dijual di Pasar Desa, tak jauh dari sekolah. Sugiantini juga terbiasa jadi buruh angkut kayu bakar. Kadang juga membuat canang dan dijual ke Waka Kesiswaan, Sang Nyoman Cakra. “Bapaknya yang minta agar dibawakan canang setiap hari ke sekolah. Dan bapaknya juga yang memberikan modal,” jelasnya.
Sementara Sang Nyoman Cakra menyampaikan awalnya ia memberikan uang Rp 50 ribu. Dalam sangkaannya, uang itu dibelikan makanan, namun uang tersebut dijadikan modal membuat tamas (bahan upakara Hindu dari janur). “Anak ini bisa mempertanggungjawabkan uang tersebut. Kemudian saya minta untuk membawakan canang setiap hari. Selain bisa menambah penghasilan, secara tidak langsung saya mengarahkan anak ini untuk tetap sekolah. Kalau tidak sekolah tentu canangnya tidak terjual,” jelasnya. Sang Nyoman Cakra mengaku sudah mengupayakan beasiswa, hanya saja sejumlah persyaratanya belum lengkap. “Harus ada surat keterangan tidak mampu atau kartu yang menunjukkan yang bersangkutan siswa miskin. Kami terbentur itu, karena siswa kami ini tidak memiliki kartu miskin,” jelasnya.
Sementara Kepala SMPN 2 Tembuku, I Made Degdeg akan berkoordinasi dengan desa serta kecamatan. Mengingat Sugiantini tergolong siswa tidak mampu, namun kepala keluarga belum terdata sebagai KK kurang mampu atau miskin. “Kami akan koordinasikan karena kewenangan pihak desa untuk mengeluarkan surat keterangan tidak mampu,” jelasnya. Dikatakan, ada 17 siswa yang diusulkan untuk bisa menerima beasiswa. Ke-17 siswa itu sudah memiliki kartu miskin. “Kami kurang tahu besaranya karena beasiswa diberikan langsung pada siswa melalui rekening masing-masing siswa,” imbuhnya. Degdeg akan mengupayakan membantu atau memfasilitasi siswa yang tidak mampu agar menerima beasiswa, sehingga tidak ada siswa putus sekolah akibat terkendala biaya. *e
1
Komentar