Dikhawatirkan, Nasib Investasi 2018
Pengusaha menunggu ketidakpastian yang ditimbulkan di tahun politik terindikasi dari penurunan indeks tendensi bisnis.
JAKARTA, NusaBali
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengkhawatirkan mengenai nasib investasi di Indonesia pada tahun politik 2018. Dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/2), Enny mengatakan bahwa tahun politik mengandung kendala yang krusial bagi investasi, yaitu sikap investor yang cenderung menunggu kepastian terlebih dahulu.
INDEF terutama menyoroti penurunan indeks tendesi bisnis (ITB) di kuartal IV-2017 dari 112,39 menjadi 111,02. Hal tersebut, menurut Enny, menggambarkan optimisme pelaku bisnis kian menurun. "Kalau ingin melihat realisasi investasi dan konsumsi rumah tangga, biasanya panduan yang utama adalah ITB dan ITK (indeks tendensi konsumen)," ucap Enny.
Komponen ITB yang menurun di antaranya penggunaan kapasitas usaha dan rata-rata jumlah kerja. Dua komponen tersebut menggambarkan kontraksi dari penambahan tenaga kerja pada tahun ini dan tahun depan. INDEF memperkirakan ITB pada kuartal I-2018 akan turun hingga 108,6. Perkiraan itu dapat lebih rendah apabila pebisnis memilih untuk menunggu (wait and see) karena ketidakpastian yang ditimbulkan tahun politik.
Di sisi lain, Enny memandang peristiwa besar di 2018 seperti misalnya Asian Games, pilkada serentak, dan pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF hanya menggerakkan sektor konsumsi rumah tangga. "Padahal, untuk bisa mengakselerasi ekonomi yang dibutuhkan adalah investasi," kata dia.
Ekonomi nasional saat ini masih mengandalkan pertumbuhannya melalui konsumsi rumah tangga. Data BPS menunjukkan konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi terbesar dalam struktur PDB 2017, yaitu sebesar 56,13 persen.
INDEF memandang bahwa realisasi investasi merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi berkualitas yang dapat dinikmati oleh semua pelaku. Makna pertumbuhan ekonomi berkualitas tergambar dari realisasi investasi yang menyerap tenaga kerja lebih banyak. Enny menilai faktor yang perlu diperbaiki untuk mengatasi persoalan investasi adalah penyelesaian masalah korupsi, efisiensi institusi pemerintah, dan peningkatan akses keuangan.
Di tempat terpisah, pengamat Ekonomi sekaligus mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, membeberkan penyebab ekonomi Indonesia selama beberapa tahun belakangan hanya tumbuh stagnan di angka 5 persen. Ia membandingkan, pada 2017, Malaysia bisa tumbuh 6,2 persen, Filipina 6,9 persen dan bahkan Vietnam melebih angka 7 persen. Padahal, negara-negara tersebut awalnya ada yang memiliki angka pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari Indonesia.
"Yang jadi pertanyaan, Indonesia masih stagnan di 5 persen, mereka mengapa tumbuh melompat lebih cepat?," kata Chatib di sela-sela acara Mandiri Investment Forum 2018 di Fairmont Hotel, Jakarta, Rabu (7/2).
Dia pun membeberkan, kunci negara tersebut bisa tumbuh melompat adalah karena berfokus pada pengembangan industri manufaktur. "Itu karena basisnya mereka itu adalah manufakturing mereka begitu cepat mengalami kenaikan," tegas dia.
Ekonomi Indonesia dinilai belum bisa lari dengan cepat disebabkan karena masih berfokus kepada sisi makro ekonomi. Untuk itu ke depan, Indonesia disarankan mulai fokus pada pengembangan sektor riil. "Dari segi makro sudah oke, kita harus masuk dari yang lebih daripada makro, yaitu riil. Tapi kita juga tidak bisa bertahan dengan manufaktur berbasis buruh (upah) murah," kata dia.
Menurutnya pemerintah harus memulai hilirisasi dan pemberian insentif kepada industri manufaktur yang berorientasi ekspor dan menyerap tenaga kerja. Ketimbang hanya mengandalkan sumber daya alam yang fluktuasi harga komoditasnya sulit diprediksi. "Semua yang ekonominya tumbuh tinggi itu adalah negara yang berbasis industri baik seperti China, Jepang dan lain-lain. Manufacturing itu lebih predictable, itulah kenapa kita harus fokus di sini," ujar dia. *
INDEF terutama menyoroti penurunan indeks tendesi bisnis (ITB) di kuartal IV-2017 dari 112,39 menjadi 111,02. Hal tersebut, menurut Enny, menggambarkan optimisme pelaku bisnis kian menurun. "Kalau ingin melihat realisasi investasi dan konsumsi rumah tangga, biasanya panduan yang utama adalah ITB dan ITK (indeks tendensi konsumen)," ucap Enny.
Komponen ITB yang menurun di antaranya penggunaan kapasitas usaha dan rata-rata jumlah kerja. Dua komponen tersebut menggambarkan kontraksi dari penambahan tenaga kerja pada tahun ini dan tahun depan. INDEF memperkirakan ITB pada kuartal I-2018 akan turun hingga 108,6. Perkiraan itu dapat lebih rendah apabila pebisnis memilih untuk menunggu (wait and see) karena ketidakpastian yang ditimbulkan tahun politik.
Di sisi lain, Enny memandang peristiwa besar di 2018 seperti misalnya Asian Games, pilkada serentak, dan pertemuan tahunan Bank Dunia-IMF hanya menggerakkan sektor konsumsi rumah tangga. "Padahal, untuk bisa mengakselerasi ekonomi yang dibutuhkan adalah investasi," kata dia.
Ekonomi nasional saat ini masih mengandalkan pertumbuhannya melalui konsumsi rumah tangga. Data BPS menunjukkan konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi terbesar dalam struktur PDB 2017, yaitu sebesar 56,13 persen.
INDEF memandang bahwa realisasi investasi merupakan prasyarat pertumbuhan ekonomi berkualitas yang dapat dinikmati oleh semua pelaku. Makna pertumbuhan ekonomi berkualitas tergambar dari realisasi investasi yang menyerap tenaga kerja lebih banyak. Enny menilai faktor yang perlu diperbaiki untuk mengatasi persoalan investasi adalah penyelesaian masalah korupsi, efisiensi institusi pemerintah, dan peningkatan akses keuangan.
Di tempat terpisah, pengamat Ekonomi sekaligus mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, membeberkan penyebab ekonomi Indonesia selama beberapa tahun belakangan hanya tumbuh stagnan di angka 5 persen. Ia membandingkan, pada 2017, Malaysia bisa tumbuh 6,2 persen, Filipina 6,9 persen dan bahkan Vietnam melebih angka 7 persen. Padahal, negara-negara tersebut awalnya ada yang memiliki angka pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari Indonesia.
"Yang jadi pertanyaan, Indonesia masih stagnan di 5 persen, mereka mengapa tumbuh melompat lebih cepat?," kata Chatib di sela-sela acara Mandiri Investment Forum 2018 di Fairmont Hotel, Jakarta, Rabu (7/2).
Dia pun membeberkan, kunci negara tersebut bisa tumbuh melompat adalah karena berfokus pada pengembangan industri manufaktur. "Itu karena basisnya mereka itu adalah manufakturing mereka begitu cepat mengalami kenaikan," tegas dia.
Ekonomi Indonesia dinilai belum bisa lari dengan cepat disebabkan karena masih berfokus kepada sisi makro ekonomi. Untuk itu ke depan, Indonesia disarankan mulai fokus pada pengembangan sektor riil. "Dari segi makro sudah oke, kita harus masuk dari yang lebih daripada makro, yaitu riil. Tapi kita juga tidak bisa bertahan dengan manufaktur berbasis buruh (upah) murah," kata dia.
Menurutnya pemerintah harus memulai hilirisasi dan pemberian insentif kepada industri manufaktur yang berorientasi ekspor dan menyerap tenaga kerja. Ketimbang hanya mengandalkan sumber daya alam yang fluktuasi harga komoditasnya sulit diprediksi. "Semua yang ekonominya tumbuh tinggi itu adalah negara yang berbasis industri baik seperti China, Jepang dan lain-lain. Manufacturing itu lebih predictable, itulah kenapa kita harus fokus di sini," ujar dia. *
1
Komentar