Semester I, Kredit Sulit Agresif
Perbankan diperkirakan tidak akan mampu agresif dalam menyalurkan kredit pada semester I 2018 karena masih terbebani kualitas aset dan risiko kredit yang tinggi, kata Lembaga Penjamin Simpanan.
JAKARTA, NusaBali
"Beberapa sektor rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) masih tinggi jadi perbankan saya rasa sampai pertengahan tahun kegiatan ekspansi kredit belum akan cepat," kata Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah di Jakarta, Kamis.
Halim mengatakan stimulus dari belanja pemerintah yang dapat menaikkan penyaluran kredit perbankan juga masih minim di awal tahun. Hal itu ditambah sikap perbankan yang masih hati-hati untuk menyalurkan intermediasi karena masih konsolidasi perbaikan aset. "Apabila pertumbuhan ekonomi di 5,3 persen atau 5,4 persen pun agak sulit saya rasa perbankan untuk kuat dalam menyalurkan kredit," ujarnya dilansir antara.
Indikator risiko kredit perbankan juga belum sehat. Halim menyebutkan "credit at risk" perbankan di Januari masih tinggi di sekitar 10 persen. "Kalau melihat tahun 2014-2015 'credit at risk' ini ada disekitar 6-7 persen. Untuk beberapa bank sudah berhasil menurunkan. Secara nasional angkanya harus dibawah yang sekarang," ujar dia.
Risiko kredit atau "credit at risk" merupakan indikator yang mencerminkan risiko dari kredit kolektabilitas II sampai V ditambah dengan kredit yang direstrukturisasi. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan pertumbuhan kredit memang masih lemah di kuartal I 2018. Namun, hal itu karena pola tahunan di mana permintaan kredit masih lemah.
"Nanti di kuartal II baru mulai, kuartal III lebih kencang dari kuartal II, kuartal IV lebih kencang lagi," ujar dia. Bank Sentral memproyeksikan pertumbuhan kredit 2018 dapat sebesar 10-12 persen (tahun ke tahun/yoy). *
"Beberapa sektor rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) masih tinggi jadi perbankan saya rasa sampai pertengahan tahun kegiatan ekspansi kredit belum akan cepat," kata Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah di Jakarta, Kamis.
Halim mengatakan stimulus dari belanja pemerintah yang dapat menaikkan penyaluran kredit perbankan juga masih minim di awal tahun. Hal itu ditambah sikap perbankan yang masih hati-hati untuk menyalurkan intermediasi karena masih konsolidasi perbaikan aset. "Apabila pertumbuhan ekonomi di 5,3 persen atau 5,4 persen pun agak sulit saya rasa perbankan untuk kuat dalam menyalurkan kredit," ujarnya dilansir antara.
Indikator risiko kredit perbankan juga belum sehat. Halim menyebutkan "credit at risk" perbankan di Januari masih tinggi di sekitar 10 persen. "Kalau melihat tahun 2014-2015 'credit at risk' ini ada disekitar 6-7 persen. Untuk beberapa bank sudah berhasil menurunkan. Secara nasional angkanya harus dibawah yang sekarang," ujar dia.
Risiko kredit atau "credit at risk" merupakan indikator yang mencerminkan risiko dari kredit kolektabilitas II sampai V ditambah dengan kredit yang direstrukturisasi. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan pertumbuhan kredit memang masih lemah di kuartal I 2018. Namun, hal itu karena pola tahunan di mana permintaan kredit masih lemah.
"Nanti di kuartal II baru mulai, kuartal III lebih kencang dari kuartal II, kuartal IV lebih kencang lagi," ujar dia. Bank Sentral memproyeksikan pertumbuhan kredit 2018 dapat sebesar 10-12 persen (tahun ke tahun/yoy). *
1
Komentar