Produksi Kakao di RI Masih Rendah
Deputi II Bidang Pertanian dan Pangan, Kementerian Koordinator Perekonomian Musdalifah mengungkapkan produksi kakao di Indonesia tahun lalu sekitar 400 ribu ton, sementara kapasitas industri 2 kali lipatnya.
JAKARTA, NusaBali
Dia mengakui bahwa produktivitas kakao Indonesia memang masih rendah. Salah satu faktor penyebab adalah minimnya wawasan petani kakao dalam memacu produksi. “Selain itu mungkin karena banyak hama. (Selain itu) tanaman kita kan memang sudah tua," katanya ketika ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (9/2) sepeti dilansir detik.
Meski pohon-pohonnya sudah tua, petani kakao di Indonesia belum berpikir ke arah replanting atau peremajaan tanaman. Padahal jika sudah menginjak usia lanjut, produksi kakao akan turun. "Selama tanaman mereka masih berproduksi mereka tidak berpikir direplanting. Kan seberapa pun kan masyarakat kita orangnya sangat humble (rendah hati) ya, pokoknya ada produksi cukup tidak pernah merasa tidak puas," ujarnya.
"Dia punya pohon ada produksinya, bisa menghasilkan, dia merasa memang itu rejeki saya, sehingga effort (usaha) membangun lebih baik atau perbaiki tanaman, itu kalau tidak diberi contoh memang kurang," lanjutnya. Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah menambahkan. Faktor cuaca menurutnya ikut berpengaruh dalam menurunkan produksi kakao.
"Masalah iklim juga belum baik, masih basah, hujan banyak, banjir, itu yang masalah. Kalau banyak hujan kakao bunganya tidak jadi, kalau jadi buah pun buahnya busuk," tambahnya. Pemerintah terus mencari cara meningkatkan produksi kakao dalam negeri. Pasalnya kebutuhan kakao di Indonesia terbilang tinggi. Jika tidak dipenuhi, mau tidak mau Indonesia masih bergantung impor. Adapun negara pengimpor berasal dari Pantai Gading dan Ghana.
"Yang pasti kita sudah punya industri. Industri kita kapasitasnya 800 ribu ton," ujarnya. Namun, kata dia kebutuhan impor ini bukan semata-mata karena produksi kakao dalam negeri tidak mencukupi. Hal lainnya karena Indonesia membutuhkan varian rasa, yang mana itu dapat dipenuhi dari kakao yang berasal dari negara lain.
"Iya ada impor sih, tapi memang kalau itu kadang-kadang kakao kita harus dicampur. Jadi bukan karena kita kurang produksi. Kadang-kadang kita harus impor, tapi karena rasa, karena kita kan industri olahan. Rasa dari masing-masing negara itu beda-beda," terangnya. Sementara, Indonesia belum mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan industri untuk menciptakan rasa dari olahan kakao menjadi beragam.
"Paling enggak kalau kita mau punya daya saing rasa terkait rasa, selera kan kita harus penuhi kan harus kita campur-campur," lanjutnya. Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah menambahkan, berdasarkan data yang dia miliki, pada 2017 kemarin Indonesia impor biji kakao sebanyak 200 ribu ton.
"Kita 2017 impor biji 200 ribu ton, padahal sebelumnya tidak pernah. Kita paling tinggi 2 tahun lalu itu 110 ribu ton. Rata-rata biasanya hanya 60 ribu ton sebelumnya. Jadi kemarin itu yang tertinggi. Kita harus tingkatkan produksi," tambahnya. *
Dia mengakui bahwa produktivitas kakao Indonesia memang masih rendah. Salah satu faktor penyebab adalah minimnya wawasan petani kakao dalam memacu produksi. “Selain itu mungkin karena banyak hama. (Selain itu) tanaman kita kan memang sudah tua," katanya ketika ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat (9/2) sepeti dilansir detik.
Meski pohon-pohonnya sudah tua, petani kakao di Indonesia belum berpikir ke arah replanting atau peremajaan tanaman. Padahal jika sudah menginjak usia lanjut, produksi kakao akan turun. "Selama tanaman mereka masih berproduksi mereka tidak berpikir direplanting. Kan seberapa pun kan masyarakat kita orangnya sangat humble (rendah hati) ya, pokoknya ada produksi cukup tidak pernah merasa tidak puas," ujarnya.
"Dia punya pohon ada produksinya, bisa menghasilkan, dia merasa memang itu rejeki saya, sehingga effort (usaha) membangun lebih baik atau perbaiki tanaman, itu kalau tidak diberi contoh memang kurang," lanjutnya. Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah menambahkan. Faktor cuaca menurutnya ikut berpengaruh dalam menurunkan produksi kakao.
"Masalah iklim juga belum baik, masih basah, hujan banyak, banjir, itu yang masalah. Kalau banyak hujan kakao bunganya tidak jadi, kalau jadi buah pun buahnya busuk," tambahnya. Pemerintah terus mencari cara meningkatkan produksi kakao dalam negeri. Pasalnya kebutuhan kakao di Indonesia terbilang tinggi. Jika tidak dipenuhi, mau tidak mau Indonesia masih bergantung impor. Adapun negara pengimpor berasal dari Pantai Gading dan Ghana.
"Yang pasti kita sudah punya industri. Industri kita kapasitasnya 800 ribu ton," ujarnya. Namun, kata dia kebutuhan impor ini bukan semata-mata karena produksi kakao dalam negeri tidak mencukupi. Hal lainnya karena Indonesia membutuhkan varian rasa, yang mana itu dapat dipenuhi dari kakao yang berasal dari negara lain.
"Iya ada impor sih, tapi memang kalau itu kadang-kadang kakao kita harus dicampur. Jadi bukan karena kita kurang produksi. Kadang-kadang kita harus impor, tapi karena rasa, karena kita kan industri olahan. Rasa dari masing-masing negara itu beda-beda," terangnya. Sementara, Indonesia belum mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan industri untuk menciptakan rasa dari olahan kakao menjadi beragam.
"Paling enggak kalau kita mau punya daya saing rasa terkait rasa, selera kan kita harus penuhi kan harus kita campur-campur," lanjutnya. Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah menambahkan, berdasarkan data yang dia miliki, pada 2017 kemarin Indonesia impor biji kakao sebanyak 200 ribu ton.
"Kita 2017 impor biji 200 ribu ton, padahal sebelumnya tidak pernah. Kita paling tinggi 2 tahun lalu itu 110 ribu ton. Rata-rata biasanya hanya 60 ribu ton sebelumnya. Jadi kemarin itu yang tertinggi. Kita harus tingkatkan produksi," tambahnya. *
Komentar