54 Guru Besar Minta Ketua MK Mundur
Sebanyak 54 guru besar dari sejumlah universitas di Indonesia mendesak Ketua MK Arief Hidayat mundur dari jabatannya.
JAKARTA, NusaBali
Desakan mundur ini disampaikan sebagai upaya menjaga marwah MK karena Arief dua kali kena sanksi etik. Ini merupakan sejarah pertama dalam ketatanegaraan Indonesia!
Pernyataan sikap para guru besar ini disampaikan dalam jumpa pers di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Puri Imperium, Jaksel, Jumat (9/2). Hadir dua perwakilan guru besar Prof Sulistyowati Irianto dan Prof Mayling Oey bersama pengajar STHI Bivitri Susanti dan pengajar Unair Herlambang Wiratwaman.
Dalam pernyataannya, para guru besar memandang hakim MK harus diisi oleh orang yang memiliki kejujuran dan keadilan. Tak boleh ada ambisi pribadi terhadap kekuasaan, yang justru akan meruntuhkan martabat lembaga penjaga konstitusi tersebut.
"Sebanyak 54 profesor berpendapat MK harus diisi oleh para hakim yang memahami hakikat kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Tanpa pemahaman hakiki tersebut, hakim tidak bisa menjadi garda penjaga kebenaran. Vested interests dan ambisi pribadi terhadap kekuasaan hanya akan meruntuhkan lembaga konstitusi," demikian sikap resmi dari para guru besar itu.
Selain itu, hakim MK yang melanggar etik dinilai sebagai orang yang tidak memiliki sifat negarawan. Menurut pendapat para guru besar, orang yang telah melanggar etik tak pantas mempertahankan jabatannya.
"Seorang hakim MK yang melanggar etik, dia tidak punya kualitas sebagai negarawan. Negarawan sejati adalah orang yang tidak akan mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi setelah dijatuhi sanksi pelanggaran etika. Negarawan yang sesungguhnya bukan hanya tidak akan melanggar hukum, tetapi dia akan sangat menjaga etika pribadi atau pergaulan dan terutama etika bernegara. Negarawan tanpa etika batal demi hukum kenegarawanannya, dan karenanya, tidak memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi," sambung pernyataan tersebut seperti dilansir detik.
Pernyataan sikap para guru besar ini juga akan disampaikan dalam bentuk surat kepada Ketua MK Arief Hidayat. Surat juga akan ditembuskan kepada delapan hakim konstitusi, Sekretaris Jenderal MK, dan Ketua DPR sebagai lembaga yang mengusulkan Arief Hidayat sebagai hakim MK. Surat akan disampaikan kepada Ketua MK atau yang mewakili pada Selasa, 13 Februari 2018.
Sementara itu, Prof Sulistyowati mengatakan gerakan para guru besar ini tidak semata-mata ada untuk mendesak Ketua MK mundur saja. Jauh sebelum itu, para guru besar juga kerap melakukan aksi untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi dan penguatan demokrasi.
"Aliansi guru besar yang mendukung upaya pemberantasan korupsi itu sudah ada sejak bertahun-tahun lalu. Kami pergi ke KPK, turun ke jalan, pergi ke Kapolri ketika ada persoalan di mana ada upaya pemberantasan korupsi itu, dilemahkan. Nah, kami harus hadir lagi untuk menyerahkan seperti tadi, untuk menyatakan sikap kami yang terkait kasus selama ini sudah kita ketahui bersama," ujar Sulis. *
Pernyataan sikap para guru besar ini disampaikan dalam jumpa pers di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Puri Imperium, Jaksel, Jumat (9/2). Hadir dua perwakilan guru besar Prof Sulistyowati Irianto dan Prof Mayling Oey bersama pengajar STHI Bivitri Susanti dan pengajar Unair Herlambang Wiratwaman.
Dalam pernyataannya, para guru besar memandang hakim MK harus diisi oleh orang yang memiliki kejujuran dan keadilan. Tak boleh ada ambisi pribadi terhadap kekuasaan, yang justru akan meruntuhkan martabat lembaga penjaga konstitusi tersebut.
"Sebanyak 54 profesor berpendapat MK harus diisi oleh para hakim yang memahami hakikat kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Tanpa pemahaman hakiki tersebut, hakim tidak bisa menjadi garda penjaga kebenaran. Vested interests dan ambisi pribadi terhadap kekuasaan hanya akan meruntuhkan lembaga konstitusi," demikian sikap resmi dari para guru besar itu.
Selain itu, hakim MK yang melanggar etik dinilai sebagai orang yang tidak memiliki sifat negarawan. Menurut pendapat para guru besar, orang yang telah melanggar etik tak pantas mempertahankan jabatannya.
"Seorang hakim MK yang melanggar etik, dia tidak punya kualitas sebagai negarawan. Negarawan sejati adalah orang yang tidak akan mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi setelah dijatuhi sanksi pelanggaran etika. Negarawan yang sesungguhnya bukan hanya tidak akan melanggar hukum, tetapi dia akan sangat menjaga etika pribadi atau pergaulan dan terutama etika bernegara. Negarawan tanpa etika batal demi hukum kenegarawanannya, dan karenanya, tidak memenuhi syarat menjadi hakim konstitusi," sambung pernyataan tersebut seperti dilansir detik.
Pernyataan sikap para guru besar ini juga akan disampaikan dalam bentuk surat kepada Ketua MK Arief Hidayat. Surat juga akan ditembuskan kepada delapan hakim konstitusi, Sekretaris Jenderal MK, dan Ketua DPR sebagai lembaga yang mengusulkan Arief Hidayat sebagai hakim MK. Surat akan disampaikan kepada Ketua MK atau yang mewakili pada Selasa, 13 Februari 2018.
Sementara itu, Prof Sulistyowati mengatakan gerakan para guru besar ini tidak semata-mata ada untuk mendesak Ketua MK mundur saja. Jauh sebelum itu, para guru besar juga kerap melakukan aksi untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi dan penguatan demokrasi.
"Aliansi guru besar yang mendukung upaya pemberantasan korupsi itu sudah ada sejak bertahun-tahun lalu. Kami pergi ke KPK, turun ke jalan, pergi ke Kapolri ketika ada persoalan di mana ada upaya pemberantasan korupsi itu, dilemahkan. Nah, kami harus hadir lagi untuk menyerahkan seperti tadi, untuk menyatakan sikap kami yang terkait kasus selama ini sudah kita ketahui bersama," ujar Sulis. *
Komentar