nusabali

Bertahan Hidup dengan Buka Usaha Panti Pijat dan Jasa Menjahit

  • www.nusabali.com-bertahan-hidup-dengan-buka-usaha-panti-pijat-dan-jasa-menjahit

Dewa Made Ari Sanjaya tunanetra sejak SMP, setelah divonis dokter menderita glaukoma. Saking terpukulnya, dia pun sempat selama 2 tahun mengurung diri dalam kamar. Sedangkan sang istri, Ni Komang Mustiari, menderita lumpuh kaki kanan, tapi bisa kendarai motor

Kisah Dewa Made Ari Sanjaya-Ni Komang Mustiari, Pasutri Disabilitas Asal Desa Klusa, Payangan


GIANYAR, NusaBali
Kisah mengharukan dialami Dewa Made Ari Sanjaya, 27, dan Ni Komang Mustiari, 28, pasangan suami istri penderita keterbatasan fisik yang tinggal di kos-kosan kawasan Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Gianyar. Meski mengalami keterbatasan fisik, pasutri yang baru menikah pada 12 April 2017 ini bertahan hidup dengan membuka panti pijat dan jasa menjahit.

Sang suami, Dewa Made Ari Sanjaya, menderita tuna netra. Pria asal Banjar Triwangsa, Desa Kelusa, Kecamatan Payangan, Gianyar ini tidak bisa melihat sejak remaja karena divonis glaukoma. Sedangkan sang istri, Komang Mustiari, menderita lumpuh kaki kanan. Dari pernikahannya yang baru berjalan sekitar 10 bulan, pasutri penyandang disabilitas ini telah dikaruniai seorang bayi berusia 6 bulan. Untungnya, bayi perempuan yang diberi nama Dewa Ayu Dila ini lahir normal. Menurut Dewa Made Ari Sanjaya, bayi perempuan yang baru berusia 6 bulan ini menjadi anugerah terindah dan sekaligus penyemangat hidupnya.

Ditemui NusaBali di tempat kosnya di Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan, Senin (12/2), Dewa Ari Sanjaya mengaku dirinya tegar dan tak pernah menyesali hidup. Meski dalam kondisi fisik terbatas, dia ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa berbuat.

Menurut Dewa Ari, semasa kaanak-kanak, dirinya tumbuh normal layaknya anak-anak yang lain. Keluarganya tidak ada yang memiliki riwayat tunanetra. Dewa Ari pun sempat sekolah di SDN 3 Kelusa hingga tamat. Namun, menginjak masa remaja, penglihatan Dewa Ari mulai kabur. Terkadang, dia menabrak segala sesuatu jika malam hari. Sayangnya, ketika mulai muncul gejala itu, dirinya lebih memilih untuk diam. “Bapak dan ibu saya sering bertanya kalau saya nabrak sesuatu. Tapi, selalu saya jawab tidak apa-apa, sengaja saya nabrak,” kenang Dewa Ari.

Karena gangguan penglihatannya sama sekali tak diobati, akhirnya Dewa Ari benar-benar tidak bisa melihat alias buta. Ketika itu, Dewa Ari baru melewati semester awal di SMP Slub B Saraswati Tegallalang, Gianyar. “Saat itu, saya menyerah. Akhirnya, saya mengaku tidak bisa melihat. Barulah setelah itu dibawa ke RS Indra (sekarang RS Mata Bali Mandara di Denpasar, Red),” cerita Dewa Ari.

Sayang sekali, dokter memvonis Dewa Ari terlambat berobat. Dia dinyatakan terkena glaukoma, di mana bagian bola matanya menekan saraf-saraf pada mata. “Dokternya bilang, glaukoma ini sesungguhnya bisa dicegah, kalau saja diperiksakan sejak dini. Tapi, kalau sudah seperti saya, pihak RS pun tidak bisa berbuat apa,” katanya.

Saat dinyatakan positif glaukoma, tindakan operasi pun tidak akan membuahkan hasil. Bahkan, donor mata juga sudah tidak mungkin dilakukan. Maka, sejak itulah Dewa Ari hanya bisa tertuduk sedih. “Tapi, syukurnya waktu itu saya langsung bisa menerima keadaan. Saya sadar, sayalah yang salah, kenapa tidak dari awal memberitahu orangtua,” papar Dewa Ari.

Kendati mencoba tegar, namun Dewa Ari sempat selama 2 tahun mengurung diri di rumah. Hingga pada suatu ketika, ada kabar gembira dari Dinas Sosial Kabupaten Gianyar. Dewa Ari yang hidup dalam keluarga miskin mendapat sejumlah bantuan. Dewa Ari pun harus datang langsung ke Kantor Dinas Sosial di Kota Gianyar untuk menerima bantuan tersebut. Dari sinilah dia mulai mendapat dorongan untuk bangkit. “Ada orang yang menyarankan agar saya sekolah di Panti Sosial Bina Netra Mahatmiya Tabanan,” ceritanya.

Tanpa banyak pikir, Dewa Ari langsung mengikuti saran tersebut. Dia pun belajar kembali selama sekitar 4 tahun. Di Panti Sosial Bina Netra Mahatmiya Tabanan, Dewa Ari lebih mendalami sistem saraf dan cara memijat. Selama itu pula, Dewa Ari jarang pulang ke rumahnya di Desa Kelusa, Payangan. Paling jika hari raya, dia dijemput oleh kakak atau orangtuanya.

Tinggal bersama para penyandang disabilitas lainnya, kesedihan Dewa Ari mulai hilang. Bahkan, kesedihannya berubah menjadi iba ketika menemukan teman yang penderitaannya lebih berat. “Di Panti Sosial Bina Netra Mahatmiya Tabanan, pikiran saya mulai terbuka. Kalau dulu, setiap dikasi makan, baru makan. Tapi sekarang, saya berusaha untuk tidak merepotkan orang lain,” jelasnya anak dari pasutri Dewa Made Suastama dan Sang Ayu Nyoman Kesi ini.

Setelah lulus sekolah khusus di Tabanan, Dewa Ari kemudian membuka usaha pijat di kawasan Desa Bajra, Kecamatan Selemadeg, Tabanan. “Pelanggannya cukup banyak. Tapi, saya yang susah untuk pulang ke Payangan. Jika ingin pulang, harus merepotkan keluarga untuk jemput. Di jalan saja bisa sampai 3 jam,” katanya.

Karena pertimbangan jarak untuk pulang cukup jauh dan sulitnya akses kendaraan, Dewwa Ari kemudian memutuskan untuk buka praktek pijat di Gianyar. Lokasi strategis yang dia pilih adalah kawasan wisata Ubud, Kecamatan Ubud, tepatnya di Banjar Lungsiakan, Desa Kedewatan. “Di tempat ini saya sudah buka panti pijatr sejak tahun 2014.”

Awalnya, Dewa Ari tinggal sendirian di rumah kosnya ini. Kemudian, dia bertemu dengan kekasih hatinya, Komang Mustiari, gadis lumpuh asal kawasan seberang Nusa Penida, Klungkung, yang selanjutnya menjadi istrinya. Pertemuan Dewa Ari dan Komang Mustiari juga terjadi di Panti Sosial Mahatmiya Tabanan. “Awalnya, ngobrol-ngobrol biasa. Lama-lama rasanya cocok, sehingga saya ajak dia untuk menikah,” tutur Dewa Ari.

Komang Mustiari sendiri menderita lumpuh kaki kanan, sementara kaki kirinya normal. Setiap berjalan cukup dibantu dengan sebuah tongkat. Kesehariannya, Komang Mustiari menyokong nafkah keluarga dengan membuka jasa menjahit. Hanya saja, kehadiran buah hati membuatnya kini harus istirahat menjahit. “Kami di sini cuma berdua. Jadi, kalau ada yang pijat, saya yang ajak si kecil. Pas saya masak atau bersih-bersih rumah, suami yang jaga anak,” ujar Komang Mustiari.

Bukan hanya pintar menjahit, wanita lumpuh ini bisa mengendarai sepeda motor, sehingga kini akses jarak tak lagi menjadi masalah. Pasutri Dewa Ari-Komang Mustiari pun biasa pulang pergi ke Payangan minimal sebulan sekali. “Kalau pulang ke Payangan, istri yang mengemudi, saya boncengan sama anak di belakang,” ungkap Dewa Ari.

Berapa penghasilan Dewa Ari? Dalam sehari, Dewa Ari minimal mendapat 3 pasien pijat. Selain warga lokal, sesekali waktu dia juga dapat pasien orang asing. Sekali pijat, tarifnya cuma Rp 50.000. Jadi, dalam sehari minimal dapat Rp 150.000 atau Rp 4,5 juta dalam sebulan. “Dari hasil pijat inilah saya peroleh penghasilan,” terang Dewa Ari, yang sempat meraih medali perak nomor lari 400 meter putra dalam Pekan Paralimpic Nasional 2016 di Jawa Barat.

Dewa Ari sendiri merupakan pembaca setia NusaBali.com. memanfaatkan aplikasi khusus, sehingga berita bisa disuarakan. Selain gemar membaca, dia juga menjadi fans berat klub sepakbola Bali United. Meski tak bisa melihat, tapi selalu semangat setiapkali ada live pertandingan Bali United di TV. “Tertarik dengan ocehan komentator, seakan saya bisa menyaksikan pertandingan sesungguhnya,” kata Dewa Ari. *nvi

Komentar