Dari Seminar Fenomena Kerauhan di 'Zaman Now'
Umat Diharapkan Mengetahui Perbedaan Kerauhan, Kerangsukan, dan Kesurupan
DENPASAR, NusaBali
Belakangan ini banyak aksi-aksi kerauhan (trance) yang dikaitkan dengan suatu masalah. Padahal dalam konteks tradisi, ada perbedaan yang jelas antara kerauhan, kerangsukan, dan kesurupan. Hal itu diungkapkan praktisi dalam hal ini pelaku seni Calonarang, Dr Komang Indrawan SSn MFilH, saat menjadi narasumber seminar ‘Fenomena Kerauhan Zaman Now’ yang diselenggarakan oleh Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN) Korda Denpasar di Gedung Wanita Shanti Graha, Jalan PB Sudirman, Denpasar, Minggu (11/2) sore.
“Penting sekali kiranya kita sebagai Umat Hindu di Bali terutama pinandita kita untuk mengetahui perbedaan kerauhan, kerangsukan, dan kesurupan. Sehingga dengan memahami ketiga tersebut, kita akan menemukan solusi atau jalan keluar,” ungkapnya di hadapan ratusan peserta seminar.
Menurutnya, baik kerauhan, kerangsukan, maupun kesurupan, adalah unsur kesengajaan untuk menghadirkan kekuatan. Dalam konteks tradisi, kerauhan yang berasal dari kata ‘rauh’ berarti mendatangkan dalam ranah sakral. Seperti contoh, tradisi yang sudah dijalankan di Bali Selatan, tatkala melakukan upacara yadnya namun tiada berisi kerauhan rasanya kurang sreg. Itu yang dirasakan oleh krama Hindu di Bali Selatan.
“Kerauhan dalam tatanan dunia sakral, ada upakara, ada upacara, dan kejadiannya sering kita jumpai di pura. Ada unsur kesengajaan untuk menghadirkan kekuatan gaib yang merupakan "div" dari dewata. Orang yang kerauhan masih bisa sadar tapi tidak bisa mengendalikan diri,” kata pria yang akrab dipanggil Komang Gases ini.
Sedangkan kerangsukan kebanyakan sifatnya adalah negatif. Kerangsukan yakni adanya kesengajaan memasukkan energi negatif baik berupa roh, dedemit, santet, deluh desti terangjana, bebal dan lainnya oleh orang yang ahli di bidangnya. “Kerangsukan lebih banyak bermain di dunia profan, bukan sakral. Tidak jauh beda dengan kesurupan. Mungkin yang belajar seperti Kanda Pat, Kanda Sari, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Sementara kesurupan biasanya bermain dalam ranah emosi yang mengalami ledakan dan histeria yang melampaui kekuatan kontrik dari pikiran, sehingga meletup menjadi luapan emosi yang tinggi, dan psikologisnya terganggu. Contohnya kesurupan yang terjadi di sekolah karena tidak ada upakara. “Bedanya dengan kerangsukan, kesurupan itu lebih didominasi dengan luapan emosi. Kesurupan terjadi karena otak kanan dan otak kiri tidak dalam kondisi kesadaran penuh,” bebernya.
Disela memberikan materi, Komang Indrawan malah mengundang para peserta yang biasa ngiring untuk maju ke depan. Indrawan pun mulai melakukan ‘ritual’ dan suasana mistis pun sangat kental terasa. Sejumlah peserta berteriak kerauhan. Dari kursi peserta di belakang pun ada juga yang kerauhan, bahkan ada peserta yang mampu membengkokkan keris. “Untuk sadar, Anda sendiri yang bisa melakukannya,” kata Indrawan kepada para peserta yang kerauhan.
Selain Komang Indrawan, PSN Korda Denpasar juga turut mengundang Sulinggih Ida Pandita Mpu Acharya Nanda membahas dari sisi Filsafat, dr I Gusti Rai Putra Wiguna SpKJ dari sisi psikiatri, serta I Gede Wayan Supanca Ariyasa SSI MM CRDB Cht CI yang membahas dari sisi metafisika hypnotherapy.
Menurut Ketua PSN Korda Denpasar Pinandita Ir Putu Gede Suranata MT, dengan dikupasnya Fenomena Kerauhan dari berbagai aspek diharapkan ada suatu kesepahaman di masyarakat sehingga kedepannya tidak lagi ada stigma negatif tentang hal ini. Kegiatan ini tentu sangat dibutuhkan untuk memberikan edukasi, pengetahuan, serta melestarikan kerauhan yang menjadi budaya.
“Adanya edukasi kepada pinandita ini sehingga sadar akan diri bahwasanya sebagai pelayan umat, yang mestinya selalu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk tetap bisa menjaga diri sehingga keyakinan akan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi tetap benar adanya. Adanya pencerahan mana yang benar dan mana yang keliru sehingga tidak melunturkan keyakinan terhadap agama,” jelasnya.
Menurutnya, kerauhan merupakan suatu warisan yang hakiki. Namun, tidak jarang ada yang memanfaatkan kerauhan ini sehingga menjadi salah pemahaman di masyarakat. Sebagai sebuah warisan, menurutnya harus tetap dilestarikan. “Ini jika tidak diedukasi dengan baik, cepat lambat akan mengakibatkan punahnya adat dan budaya. Maka para pinandita harus memiliki kualitas pengetahuan ini, sehingga bisa membedakan mana yang benar dan yang keliru,” tandasnya. *ind
“Penting sekali kiranya kita sebagai Umat Hindu di Bali terutama pinandita kita untuk mengetahui perbedaan kerauhan, kerangsukan, dan kesurupan. Sehingga dengan memahami ketiga tersebut, kita akan menemukan solusi atau jalan keluar,” ungkapnya di hadapan ratusan peserta seminar.
Menurutnya, baik kerauhan, kerangsukan, maupun kesurupan, adalah unsur kesengajaan untuk menghadirkan kekuatan. Dalam konteks tradisi, kerauhan yang berasal dari kata ‘rauh’ berarti mendatangkan dalam ranah sakral. Seperti contoh, tradisi yang sudah dijalankan di Bali Selatan, tatkala melakukan upacara yadnya namun tiada berisi kerauhan rasanya kurang sreg. Itu yang dirasakan oleh krama Hindu di Bali Selatan.
“Kerauhan dalam tatanan dunia sakral, ada upakara, ada upacara, dan kejadiannya sering kita jumpai di pura. Ada unsur kesengajaan untuk menghadirkan kekuatan gaib yang merupakan "div" dari dewata. Orang yang kerauhan masih bisa sadar tapi tidak bisa mengendalikan diri,” kata pria yang akrab dipanggil Komang Gases ini.
Sedangkan kerangsukan kebanyakan sifatnya adalah negatif. Kerangsukan yakni adanya kesengajaan memasukkan energi negatif baik berupa roh, dedemit, santet, deluh desti terangjana, bebal dan lainnya oleh orang yang ahli di bidangnya. “Kerangsukan lebih banyak bermain di dunia profan, bukan sakral. Tidak jauh beda dengan kesurupan. Mungkin yang belajar seperti Kanda Pat, Kanda Sari, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Sementara kesurupan biasanya bermain dalam ranah emosi yang mengalami ledakan dan histeria yang melampaui kekuatan kontrik dari pikiran, sehingga meletup menjadi luapan emosi yang tinggi, dan psikologisnya terganggu. Contohnya kesurupan yang terjadi di sekolah karena tidak ada upakara. “Bedanya dengan kerangsukan, kesurupan itu lebih didominasi dengan luapan emosi. Kesurupan terjadi karena otak kanan dan otak kiri tidak dalam kondisi kesadaran penuh,” bebernya.
Disela memberikan materi, Komang Indrawan malah mengundang para peserta yang biasa ngiring untuk maju ke depan. Indrawan pun mulai melakukan ‘ritual’ dan suasana mistis pun sangat kental terasa. Sejumlah peserta berteriak kerauhan. Dari kursi peserta di belakang pun ada juga yang kerauhan, bahkan ada peserta yang mampu membengkokkan keris. “Untuk sadar, Anda sendiri yang bisa melakukannya,” kata Indrawan kepada para peserta yang kerauhan.
Selain Komang Indrawan, PSN Korda Denpasar juga turut mengundang Sulinggih Ida Pandita Mpu Acharya Nanda membahas dari sisi Filsafat, dr I Gusti Rai Putra Wiguna SpKJ dari sisi psikiatri, serta I Gede Wayan Supanca Ariyasa SSI MM CRDB Cht CI yang membahas dari sisi metafisika hypnotherapy.
Menurut Ketua PSN Korda Denpasar Pinandita Ir Putu Gede Suranata MT, dengan dikupasnya Fenomena Kerauhan dari berbagai aspek diharapkan ada suatu kesepahaman di masyarakat sehingga kedepannya tidak lagi ada stigma negatif tentang hal ini. Kegiatan ini tentu sangat dibutuhkan untuk memberikan edukasi, pengetahuan, serta melestarikan kerauhan yang menjadi budaya.
“Adanya edukasi kepada pinandita ini sehingga sadar akan diri bahwasanya sebagai pelayan umat, yang mestinya selalu mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk tetap bisa menjaga diri sehingga keyakinan akan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi tetap benar adanya. Adanya pencerahan mana yang benar dan mana yang keliru sehingga tidak melunturkan keyakinan terhadap agama,” jelasnya.
Menurutnya, kerauhan merupakan suatu warisan yang hakiki. Namun, tidak jarang ada yang memanfaatkan kerauhan ini sehingga menjadi salah pemahaman di masyarakat. Sebagai sebuah warisan, menurutnya harus tetap dilestarikan. “Ini jika tidak diedukasi dengan baik, cepat lambat akan mengakibatkan punahnya adat dan budaya. Maka para pinandita harus memiliki kualitas pengetahuan ini, sehingga bisa membedakan mana yang benar dan yang keliru,” tandasnya. *ind
Komentar