Tari Topeng Sidakarya, dari Puri ke Pura
Masyarakat Bali memiliki beberapa bentuk seni pertunjukan bertopeng. Namun yang lazim disebut topeng adalah adalah seni pentas ritual Topeng Pajegan.
Pertunjukan topeng yang umumnya dibawakan secara solo oleh seorang penari ini tidak hanya hadir dalam prosesi keagamaan di halaman utama pura namun juga berfungsi dalam upacara perkawinan, potong gigi, hingga ritus ngaben.
Tema-tema kisah yang dibawakan bersumber dari babad, cerita semi sejarah, dengan puncak penampilan figur topeng berkarakter angker yang disebut Sidakarya. Mungkin karena itu, Topeng Pajegan juga disebut Topeng Sidakarya. Diantara sembilan tari Bali yang baru-baru ini diakui oleh Unesco, PBB, sebagai warisan budaya dunia, salah satunya adalah Topeng Sidakarya.
Seni pertunjukan Wayang Wong, Barong Kedingkling, dan Barong Berutuk misalnya, juga memakai tapel tapi tak pernah disebut sebagai topeng. Wayang Wong yang berangkat dari sumber epos Ramayana seluruh pemerannya memakai tapel atau topeng. Barong Kedingkling yang biasanya hadir dalam tradisi ngelawang mempergunakan tapel figur-figur penting Ramayana. Begitu juga Barong Berutuk yang disakralkan di Desa Trunyan, Bangli, semua perannya menggunakan topeng bernuansa primitif. Namun ketiganya tak disebut seni pertunjukan topeng. Rangda dan tari Jauk juga tidak digolongkan genre topeng.
Seni pertunjukan bertopeng tergolong sangat tua dan hampir dapat dijumpai di seluruh dunia. Di Bali, kesenian yang diduga berkaitan dengan topeng termuat dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun 869 Masehi. Dalam prasasti itu disinggung istilah partapukan yang artinya perkumpulan topeng. Sedangkan bagaimana bentuk dan apa lakonnya tidak jelas. Pertunjukan topeng diduga merupakan kreativitas seniman Bali yang bukan pengaruh kesenian Majapahit.
Pada mulanya kesenian ini muncul pada era kejayaan Gelgel, akhir abad ke-17. Konon I Gusti Pering Jelantik membawakan drama tari seorang diri dengan memakai topeng rampasan leluhurnya, Patih Jelantik, ketika Gelgel menaklukkan Blambangan. Saat konflik politik mengguncang Gelgel, topeng-topeng itu diboyong ke Desa Blahbatuh sekitar tahun 1879 yang hinggi kini dikeramatkan di Pura Penataran Topeng.
Pada tahun-tahun berikutnya, setelah pementasan di puri Gelgel tersebut, penampilan Topeng Pajegan itu kemudian menjadi kebiasaan di tengah-tengah masyarakat Bali, terutama ditradisikan saat prosesi keagamaan, odalan misalnya. Perkembangannya kemudian muncul Topeng Panca, drama tari topeng yang dibawakan oleh lima orang penari yang lebih mengarah sebagai seni pentas tontonan non ritual. Perkembangan ini bukannya membuat Topeng Pajegan surut, justru seni pentas ini kian multifungsi dalam beragam tingkatan dan hirarki upacara agama dan ritus kehidupan masyarakatnya.
Pementasan Topeng Sidakarya dimulai dengan penampilan tokoh yang berkarakter keras. Warna tapel-nya gelap kemerah-merahan, mata mendelik dan disertai sepasang kumis hitam tebal. Gerakannnya tangkas, gagah dengan ayunan langkah berwibawa. Sehabis tokoh ini, biasanya disambung dengan kemunculan topeng yang berkarakter tua renta. Rambut, alis, dan kumisnya memutih. Gerakannya lambat terbata-bata namun menampilkan sorot mata yang arif. Kedua figur ini disebut dengan topeng pengelembar, tari lepas, arena tempat pemain mempertontonkan kepiawaannya menari.
Aspek dramatik sebuah pementasan Topeng Pajegan atau Sidakarya baru bergulir ketika muncul tokoh penasar yang lazim memakai tapel setengah terbuka, terutama pada mulut dan matanya. Penasar bertindak selaku narator, komentator, penterjemah, dan pelawak. Tokoh inilah yang mengendalikan alur cerita. Ketika ia kemudian berganti topeng berwatak tampan dengan tata gerakan alus penuh perhitungan, tokoh rajalah yang dibawakannya yang sering disebut topeng dalem atau arsawijaya. Kehadiran topeng dengan ekspresi karismatis ini memberikan perintah sesuatu, mungkin perang dan mungkin perdamaian.
Kisah kemudian berlanjut dengan penampilan tokoh antagonis yang biasanya berwajah ganas dengan gerakan kasar. Menjelang klimaks cerita, akan muncul tokoh-tokoh rakyat jelata dengan aneka tingkah lucunya. Topeng-topeng yang digunakan mengekspresikan cacat fisik seperti mulut sumbing, gigi remuk, mata juling, dan sebagai yang dalam penampilannya disinkronisasikan dengan tata gerak yang mengundang tawa. Penampilan tokoh-tokoh ini berkaitan dengan cerita tapi biasanya sering jauh menyimpang yang cenderung mengarah pada sajian porno-vulgar. Adegan ini biasanya riuh dengan derai tawa penonton.
Apa pun lakonnya dan bagaimana pun alur pendramaannya yang pasti pada akhir pementasan Topeng Pajegan adalah tampilnya figur Sidakarya. Topengnya berwarna putih, matanya sipit, mulut terbuka menyeringai lengkap dengan tonjolan kedua taring atasnya. Sepak terjangnya menakutkan, mengancam, menerjang kiri kanan. Dengus mantra-mantra suci meluncur dari mulutnya. Sembari mengibaskan selembar kain putih, kedua tangannya meragakan gerak-gerak mudra pendeta.
Pada akhirnya, canang sari yang berisi beras kuning dan segenggam pis bolong kemudian ditebar ke segala penjuru. Sering juga seorang anak ditangkap dan kemudian dilepaskan oleh tokoh ini setelah diberi hadiah sekedarnya. Dipercaya tokoh ini simbol dari Wisnu Murti yang memberi anugrah dan atau legitimasi sebuah upacara. Kepercayaan dan justifikasi itulah yang menyangga keberadaan Topeng Pajegan atau Topeng Sidakarya. 7 (Kadek Suartaya SSKar MSi-Dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar)
1
Komentar