Soroti soal Karyawan, Dewan Sidak Perkebunan Karet di Pekutatan
Jajaran Komisi B DPRD Jembrana melakukan sidak ke perkebunan karet Perusahaan Daerah (Perusda Bali) yang dikelola PT CIPL (Citra Indah Prayasa Lestari), di wilayah Desa Panghyangan dan Desa/Kecamatan Pekutatan, Senin (19/2).
NEGARA, NusaBali
Sidak tersebut dilakukan menyusul pengaduan karyawan setempat, yang mengaku resah dengan berbagai kebijakan perusahaan, terkait pekerjaan maupun kesejahteraan mereka. Ketua Komisi B DPRD Jembrana Nyoman Sutengsu Kusumayasa alias Suheng, bersama 7 anggota Komisi B diterima Admin PT CIPL di perkebunan karet Pekutatan, Komang Wira Susila.
Suheng menanyakan berbagai kebijakan menyangkut nasib karyawan perusahaan yang kebanyakan warga Pekutatan. Salah satunya masalah tuntutan kerja yang dinilai terlau berlebihan. “Kami dengar ada intimidasi. Karyawan terus dituntut hanya kerja, tetapi tidak imbang dengan kesejahteraan mereka,” kata Suheng.
Menurut Suheng, karyawan hanya digaji Rp 1,4 juta per bulan. Sedangkan Upah Minimun Kabupaten (UMK) Jembrana Rp 2,1 juta per bulan. Kemudian tidak ada BPJS. Sedangkan tuntutan perusahaan, karyawan diminta terus menyadap karet tanpa menghiraukan keadaan. Padahal ketika terjadi hujan, karyawan tidak bisa menyadap karet. Namun begitu tidak menghasilkan karet tanpa mengenal alasan faktor cuaca, penghasilan mereka dipotong. Termasuk pemberian jatah beras yang masih dipatok Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan faktanya, untuk beras kualitas medium sudah seharga Rp 11.000 per kilogram.
Selain itu, Suheng juga menyinggung keselamatan karyawan. Saat menyadap karet, karyawan tidak diberikan peralatan. Jangankan seragam khusus, untuk senter, sepatu, maupun alat yang digunakan menyadap karet, tidak disediakan perusahaan. Begitu juga mengenai penarikan 35 karyawan dari PT CIPL ke Perusda Bali, yang juga mengundang keresahan berkenaan kesejahteraan mereka.
“Gajinya Perusda namun kerjanya pada CIPL. Ini bagaimana? Tolong ini agar diperhatikan. CIPL harusnya bisa memperjuangkan. Tolong diperhatikan kesejahteraan karyawan, jangan malah membuat karyawan resah dan tidak nyaman bekerja,” harap Suheng.
Wira Susila mengakui adanya rencana penarikan 35 karyawan dari PT CIPL ke Perusda Bali. Menurutnya, yang ditarik adalah karyawan yang telah bekerja dari tahun 2001 ke atas. Meski ditarik, tetapi mereka dipastikan tetap akan bekerja di lahan perkebunan karet Pekutatan. Untuk sistem penggajiannya, tetap melalui PT CIPL, hanya saja disetorkan dulu ke Perusda Bali. “Sistem penggajian nanti diatur Perusda. Untuk rencana itu, akan disosialisasikan Jumat (23/2) nanti,” ujarnya.
Mengenai masalah kesejahteraan karyawan, pihaknya sepakat perlu diperjuangkan. Tetapi Wira Susila mengaku, itu semua tergantung dengan kebijakan atasan PT CIPL di pusat, dan tidak bisa begitu saja ditentukan manajemen perkebunan karet di Pekutatan. “Semua tergantung direksi pusat. Kami juga ingin semua berjalan baik, dan kami terus akan berusaha perjuangkan ke atasan,” jelasnya. *ode
Sidak tersebut dilakukan menyusul pengaduan karyawan setempat, yang mengaku resah dengan berbagai kebijakan perusahaan, terkait pekerjaan maupun kesejahteraan mereka. Ketua Komisi B DPRD Jembrana Nyoman Sutengsu Kusumayasa alias Suheng, bersama 7 anggota Komisi B diterima Admin PT CIPL di perkebunan karet Pekutatan, Komang Wira Susila.
Suheng menanyakan berbagai kebijakan menyangkut nasib karyawan perusahaan yang kebanyakan warga Pekutatan. Salah satunya masalah tuntutan kerja yang dinilai terlau berlebihan. “Kami dengar ada intimidasi. Karyawan terus dituntut hanya kerja, tetapi tidak imbang dengan kesejahteraan mereka,” kata Suheng.
Menurut Suheng, karyawan hanya digaji Rp 1,4 juta per bulan. Sedangkan Upah Minimun Kabupaten (UMK) Jembrana Rp 2,1 juta per bulan. Kemudian tidak ada BPJS. Sedangkan tuntutan perusahaan, karyawan diminta terus menyadap karet tanpa menghiraukan keadaan. Padahal ketika terjadi hujan, karyawan tidak bisa menyadap karet. Namun begitu tidak menghasilkan karet tanpa mengenal alasan faktor cuaca, penghasilan mereka dipotong. Termasuk pemberian jatah beras yang masih dipatok Rp 6.000 per kilogram. Sedangkan faktanya, untuk beras kualitas medium sudah seharga Rp 11.000 per kilogram.
Selain itu, Suheng juga menyinggung keselamatan karyawan. Saat menyadap karet, karyawan tidak diberikan peralatan. Jangankan seragam khusus, untuk senter, sepatu, maupun alat yang digunakan menyadap karet, tidak disediakan perusahaan. Begitu juga mengenai penarikan 35 karyawan dari PT CIPL ke Perusda Bali, yang juga mengundang keresahan berkenaan kesejahteraan mereka.
“Gajinya Perusda namun kerjanya pada CIPL. Ini bagaimana? Tolong ini agar diperhatikan. CIPL harusnya bisa memperjuangkan. Tolong diperhatikan kesejahteraan karyawan, jangan malah membuat karyawan resah dan tidak nyaman bekerja,” harap Suheng.
Wira Susila mengakui adanya rencana penarikan 35 karyawan dari PT CIPL ke Perusda Bali. Menurutnya, yang ditarik adalah karyawan yang telah bekerja dari tahun 2001 ke atas. Meski ditarik, tetapi mereka dipastikan tetap akan bekerja di lahan perkebunan karet Pekutatan. Untuk sistem penggajiannya, tetap melalui PT CIPL, hanya saja disetorkan dulu ke Perusda Bali. “Sistem penggajian nanti diatur Perusda. Untuk rencana itu, akan disosialisasikan Jumat (23/2) nanti,” ujarnya.
Mengenai masalah kesejahteraan karyawan, pihaknya sepakat perlu diperjuangkan. Tetapi Wira Susila mengaku, itu semua tergantung dengan kebijakan atasan PT CIPL di pusat, dan tidak bisa begitu saja ditentukan manajemen perkebunan karet di Pekutatan. “Semua tergantung direksi pusat. Kami juga ingin semua berjalan baik, dan kami terus akan berusaha perjuangkan ke atasan,” jelasnya. *ode
Komentar