Tata Cara Busana Adat Sembahyang Masuk ke Perarem
Inilah terobosan yang dilakukan Desa Pakraman Gelgel, Desa Gelgel, Kecamatan Klungkung. Pihak desa putuskan untuk memasukkan tata cara berbusana adat ke pura (pakaian sembahyang) dalam Perarem Pengele (aturan adat).
SEMARAPURA, NusaBali
Nantinya, busana adat yang dianggap kurang sopan, seperti kebaya tanpa lengan, tidak dibolehkan untuk dipakai ke pura.
Pembahasan soal tata cara berbusana adat ini telah dibahas dalam paruman (rapat adat) di Wantilan Pura Dasar Buana, Desa Pakraman Gelgel, 10 Januari 2016 lalu. Paruman yang dipimpin langsung Bendesa Pakraman Gelgel, I Putu Arimbawa, kala itu menghadirkan seluruh prajuru dari 28 banjar adat.
Dari paruman tersebut ditelorkan Perarem Pengele (keputasan yang tidak tercatat dalam awig) dengan nomor 01/DP-GTK/SEd/II/2016 tentang Tata Cara Berbusana Adat ke Pura se-Desa Pakraman Gelgel. Pererem Pengele ini kemudian disahkan Bendesa Pakraman Gelgel, 5 Februari 2016.
Menurut Bendesa Putu Arimbawa, dalam Perarem Pengele itu intinya berisi mengenai tata cara penggunaan pakaian adat ke pura yang sopan. Termasuk juga upaya memasukkan perarem tersebut dalam awig-awig.
Berdasarkan Perarem Pengele hasil paruman Desa Pakraman Gelgel tersebut, kaum istri (wanita) tidak diperkenankan mengenakan baju kebaya lengan pendek (di atas siku) untuk sembahyang. Selain itu, ujung bawah kamben (kain) yang dikenakan tidak terlalu tinggi (di atas pergelangan kaki). Sementara bagi kaum lanang (laki-laki), ujung bawah pemakaian kamben minimal sejengkal dari telapak kaki.
“Kami juga tidak akan terlalu saklek dalam menerapkan perarem tata busana ini, yang penting bisa menyesuaikan dan sopan. Aturan ini sejatinya bertujuan untuk mengikat krama internal saja,” ujar Bendesa Putu Arimbawa saat ditemui NusaBali di Desa Pakraman Gelgel, Kamis (11/2).
Menurut Bendesa Arimbawa, tata cara berbusana adat yang telah dituangkan dalam Perarem Pengele ini berlaku untuk persembahyangan ke Pura Tri Kahyangan (Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem) lingkup Desa Pakraman Gelgel, sedangkan bagi pura yang sifatnya lebih mengkhusus seperti Pura Panti, Pura Paibon, dan sebagainya, tata cara berbusana adat diserahkan ke pihak pengempon pura masing-masing.
Bendesa Arimbawa mengisahkan, paruman yang kemudian menghasilkan Perarem Pengele ini dilakukan setelah para pamangku dan tokoh di Desa Pakraman Gelgel menyoroti fenomena cara berbusana adat yang belakangan cenderung kurang sopan. Sorotan itu mencuat sejak 3 bulan lalu.
Kalangan pamangku dan para tokoh menilai cara berpakaian sejumlah krama ketika sembahyang ke pura, cenderung kurang sopan. Maka, persoalan tersebut disampaikan kepada prajuru adat. Kemudian, PHDI Provinsi Bali juga sempat memberikan pemahaman tentang cara tata cara berbusana adat di Pura Watu Klotok, Desa Pakraman Tojan, Kecamatan Klungkung, dua pekan lalu.
Setelah Perarem Pengele dibuat, pihak Desa Pakraman Gelgel selanjutnya bakal melakukan sosialisasi dan pendekatan selama 6 bulan. Salah satunya, sosialisasi melalui baliho yang akan dipasang di wewidangan Desa Pakraman Gelgel, termasuk berisi gambar tetang tata cara berbusana adat ke pura yang sopan. Mengenai sanksi bagi krama yang melanggar Perarem Pengele tentang tata cara berbusana adat, menurut Bendesa Arimnbawa, masih dalam proses.
Sementara itu, seorang teruni (gadis) di Desa Pakraman Gelgel, AA Istri Anom Ratnawati, mengaku sudah mendengar adanya perarem soal tata berbusana adat yang sopan tersebut. “Saya dengar, kalau ada yang melanggar perarem, akan dicatat oleh pecalang,” papar Ratnawati kepada NusaBali, Kamis kemarin.
Bagi Ratnawati sendiri mengaku tidak masalah dengan lahirnya perarem tentang cara berbusana adat yang sopan ini. Jauh sebelum lahirnya perarem, Ratnawati sudah terbiasa mengenakan busana adat yang sopan, di amana kebaya berlengan utuh dan ujung bawah kamben tidak terlalu tinggi. “Saya sejak dulu sudah mengenakan busana adat yang sopan,’ jellas teruni berusia 21 tahun ini.
Dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Ketua Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Kabupaten Klungkung, I Ketut Rupia Arsana, menyatakan pihaknya sangat mendukung langkah prajuru Desa Pakraman Gelgel yang mengeluarkan perarem tentang tata cara berbusana adat. Menurut Rupia Arsana, ketika sembahang ke pura mana pun, sebaiknya sesuai dengan pakemnya.
Sedangkan busana adat untuk kepentingan di luar sembahyang, kata Rupia Arsana, silakan menyesuaikan. ”Baguslah, sudah ada perarem soal tata cara berbusana adat di Desa Pakraman Gelgel. Ini perlu dilakukan sosialsasi dan pendekatan. Jangan ujuk-ujuk langsung melarang orang sembahyang karena masalah pakaian,” tandas Rupia Arsana di Semarapura, Kamis kemarin. 7 w
Komentar