Arja, Drama Gong, Wayang Kulit Dibungkam TV?
Di Bali, menabuh gamelan, menari, melukis, menembang adalah rutinitas keseharian yang mengawal harmoni batin masyarakatnya, baik itu merupakan ekspresi seni religius maupun ia semata sebagai keasyikan presentasi estetik.
Tetapi dalam konteks kekinian, ketika transformasi budaya membawa arus perkembangan dan perubahan yang demikian dinamis, masih percaya dirikah jagat kesenian Bali? Belakangan muncul fenomena kian lesunya perhatian dan apresiasi masyarakat terhadap keseniannya sendiri.
Memang sampai hari ini, di Bali, tiada hari tanpa berkesenian. Lebih-lebih dalam kehidupan keagamaan, seni adalah sebuah persembahan. Bahkan tak ada ritual agama Hindu di pulau ini yang dianggap sempurna tanpa greget dan penampilan nilai-nilai seni. Begitu menyatunya antara agama dan seni sering membuat orang luar Bali kagum sekaligus “bingung” menyaksikan gemuruh pementasan seni ditengah religiusitas upacara agama. Kesenian Bali pada dasarnya adalah seni keagamaan. Karena itu, tak salah bila dikatakan bahwa eksistensi kesenian Bali banyak terkondisi oleh tradisi ngayah dalam konteks aktivitas keagamaan.
Selain disangga motivasi keagamaan, eksistensi kesenian Bali juga mendapat dukungan kuat dari organisasi sosial banjar. Bale banjar arena pengayom seni yang signifikan. Di sini nilai-nilai seni dilestarikan, dikembangkan, didiskusikan, dan diapresiasi. Kecintaan pada jagat seni dan keterampilan warga banjar dalam bidang seni banyak terasah dari aktivitas seni yang berpusat di arena bangunan umum milik banjar tersebut. Keberadaan seni pertunjukan Bali, seni tari, drama, dan karawitan khususnya, sejak dulu umumnya disangga dan dimotivasi oleh komunitas banjar. Sekaa-sekaa gamelan dan tari dilegetimasi oleh organisasi sosial banjar. Seniman-senimannya diakui harkatnya oleh segenap warga banjar. Hasil karya seni atau wujud aktivitas seninya diklaim sebagai milik banjar. Fanatisme terhadap seni babanjaran itu mengkristal kental.
Namun, tarik-ulur, konfrontasi dan proses tawar-menawar kini memang sedang gencar berlangsung dalam masyarakat Bali kontemporer. Ini pula berlangsung dalam bidang kesenian. Merupakan suatu persoalan yang dilematis adalah bagaimana para seniman Bali menyikapi atau mengkompromikan antara budaya "tulus" ngayah dengan budaya "materialistis" ekonomi-uang-pasar yang menggedor hampir dalam setiap lekuk dan sendi kehidupan mereka.
Mungkin itulah sebabnya, kebiasaan mensponsori seni seperti para era kerajaan dulu, kini menjadi romantisme yang rasanya sulit muncul lagi. Padahal di masa lalu, mereka—para dermawan--adalah pelindung seni dan seniman yang cukup penting peranannya bagi keberadaan kesenian. Sponsor seni dan seniman yang umumnya kaum bangsawan ini memiliki perhatian dan respek yang besar bagi eksistensi jagat kesenian. Tak bisa dipungkiri bahwa banyak kelahiran dan kebesaran para seniman didukung oleh kaum bangsawan.
Juga harus diakui tak sedikit cipta seni dan perjalanan suatu kesenian dikondisikan dan “diarahkan” oleh para pelindung seni dan seniman.
Kini model kedermawanan seni memang tidak lagi bersifat personal feodalistis, tapi mengarah kedalam pengejawantahan kolektif komunal dan birokratis formal. Model yang pertama terjadi di tengah masyarakat pemilik atau pendukung kesenian itu, misalnya lewat wadah banjar dengan sekaha-sekaha keseniannya. Merekalah yang melindungi, melestarikan, dan mengembangkan seni tradisinya masing-masing. Itulah sebabnya ekspresi seni dalam konteks keagaamaan akan tetap eksis, sepanjang masyarakat Bali tetap memelihara ritual keagaamaannya. Sedangkan perlindungan seni model kedua yang sangat menonjol adalah Pesta Kesenian Bali (PKB). Pemerintah mejadi mediator pemberdayaan kesenian.
Namun sejauh ini, jika keberadaan seni upacara keagamaan—wali maupun bebali—terus menggeliat sesuai dengan konteksnya, tetapi bagaimana dengan seni tontonan balih-balihan? Rupanya sedang terjadi kelesuan yang cukup memilukan. Seni pertunjukan yang dulu menjadi primadona masyarakat kian terpuruk. Arja yang pada masa kejayaannya mampu mengharu biru penonton kini tembangnya sayup-sayup.
Drama Gong yang pada masa keemasannya mampu mengguncang emosi penonton hingga larut pagi kini satu persatu rontok. Wayang Kulit yang dulu dikunyah-kunyah dengan lezat sebagai seni tontonan dan tuntunan kini jatuh gengsi.
Masa kejayaan “dulu” yang dimaksud di sini taklah jauh. Pada tahun 1970-an, pementasan Wayang Kulit masih karismatik, penonton dengan antusias menyimak kisah, pesan, dan aspek estetik yang disajikan seorang dalang. Sekitar tahun 1980-an, pertunjukan Arja masih mempesona, dimana masyarakat sering mengelu-elukan bintang-bintangnya seperti Ribu, Jro Suli, Sadru, Monjong, dan lain-lainnya. Kemudian pada tahun 1990-an, Drama Gong masih malang melintang mengocok perut penontonnya--berani membayar tiket dengan harga relatif mahal. Bahkan di arena PKB, teater rakyat yang menguak pada tahun 1967 ini mampu menyedot ribuan penggemarnya.
Tanda-tanda mulai suramnya pamor beberapa seni pertunjukan favorit masyarakat itu adalah ketika tampilnya televisi sebagai alternatif tontonan dan hiburan di tengah masyarakat Bali.
Ketika TVRI Denpasar hadir, Wayang Kulit, Arja, Drama Gong, dan seni balih-balihan yang lainnya masih tegar dan segar bugar. Namun begitu secara beruntun, sejak tahun 1980-an, mengudara televisi-televisi swasta yang umumnya dipancarkan dari Jakarta, Wayang Kulit mulai loyo, Arja sempoyongan, dan Drama Gong melolong. Ada kecenderungan masyarakat Bali mulai malas datang menonton keseniannya, sebaliknya lebih betah menongkrongi pesawat televisi, menyuntuki beragam acaranya, di rumah bahkan di kamar masing-masing.
Apakah ini berarti yang menjadi biang keladi lesunya seni pertunjukan Bali, adalah karena hadirnya si kotak ajaib itu? Tidakkah mungkin disebabkan oleh faktor internal para pelaku keseniannya sendiri ? Atau tidakkah karena telah terjadi pergeseran nilai, pola, prilaku masyarakat Bali sebagai konsekuensi dari perubahan zaman? Menghindar dari realita kehadiran televisi sebagai media kehidupan modern kiranya tak mungkin. Seni adalah ekspresi budaya yang hakikatnya mampu berevolusi dan mengelola dirinya seirama dengan keadaan di sekelilingnya, bahkan seni mampu memunculkan inovasi dari perkembangan peradaban. Tentunya semua itu lebih menjanjikan bila distimulasi oleh adanya kesadaran, sensitifitas, rasa percaya diri, dan kreativitas dari insan-insan seninya.
Karena itu, televisi seyogyanya tak usah ditakuti sebagai ancaman, justru dijadikan teman dan “tunggangan” ideal untuk kembali menggairahkan taksu jagat seni pertunjukan. 7 (Kadek Suartaya SSKar MSi-Dosen Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar)
Komentar