nusabali

Bakteri Wolbachia Bisa Cegah Virus DBD

  • www.nusabali.com-bakteri-wolbachia-bisa-cegah-virus-dbd

Satu penemuan baru untuk mencegah wabah demam berdarah dengue (DBD) kini dikembangkan di Indonesia melalui penelitian Eliminate Dengue Project (EDP).

MANGUPURA, NusaBali

Prof Adi Utarini MSc MPH PhD, peneliti utama EDP dalam seminar EDP yang digelar Yayasan Tahija Indonesia di Hotel Ayana, Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Sabtu (3/3) mengungkapkan penelitian ini menggunakan bakteri alami wolbachia pada serangga.

Bakteri ini tak terdapat dalam tubuh nyamuk aedes aegypti sebagai penyebab utama DBD. Langkah yang dilakukan dalam penelitian ini jelas Utarini adalah bakteri wolbachia dari serangga yang memiliki wolbachia, seperti lalat buah, capung, dan kumbang dimasukkan ke dalam telur serangga nyamuk aedes aegypyti. Setelah itu dilepas untuk dikawinkan dengan nyamuk liar lainnya. Kalau yang jantan memiliki bakteri wolbachia sementara yang betina tak memilikinya, nanti telurnya tak akan menetas. Jadi populasi nyamuknya bisa berkurang. Tetapi jika sebaliknya maka telur yang menetas akan memiliki wolbachia.

Bakteri wolbachia cara kerjanya adalah menghambat perkembangan virus DBD yang ada pada tubuh nyamuk aedes aegypti. Jadi kalau nyamuknya menggigit manusia, virusnya tak ikut masuk ke dalam tubuh manusia. Virus DBD tak bisa keluar dari dalam sel nyamuk aedes aegypti tersebut karena ada wolbachia-nya. Jadi penelitian ini mengembangbiakan nyamuk ber- wolbachia untuk ditebarkan hidup di lingkungan. Dari hasil penelitian juga dinyatakan bakteri wolbachia aman bagi tubuh manusia.

“Temuan ini sebenarnya pertama kali di Australia, yakni di Monash University dan kini dikembangkan di Indonesia sejak 2011. Kami tertarik untuk mengembangkannya karena terbukti pada negara lainm seperti Brasil dan Kolombia bisa menekan kasus DBD. Pusat penelitian kami berada di Jogjakarta. Di kota Yogyakarta kami telah melakukan percobaan dengan menebarkan 8.000 embrio telur nyamuk yang telah mengandung bakteri alami wolbachia. Kami memilih Jogjakarta sebagai pusat penelitian karena daerah ini salah satu yang paling banyak menedrita DBD, yakni 2,8 juta kasus,” ungkapnya. *p

Komentar